“Puncak Badai: Penghancuran Sang Racun”

1208 Words
Monster Rohha Sinoda kini menjulang tinggi di atas kami, setinggi sekitar tujuh meter. Seluruh tubuhnya adalah massa racun cair ungu-hitam yang bergolak, memancarkan bau busuk korosif. Raungannya mengguncang sisa-sisa markas, dan setiap tetes yang jatuh dari tubuhnya mendesis menghancurkan batu di bawahnya. [Waktu yang tersisa: sekitar dua puluh menit.] Aku berdiri di hadapan monster itu, perisai Body Storm-ku telah menipis hingga batasnya. Aku tahu, jika aku tidak mengakhirinya sekarang, racun di udara akan membunuh bukan hanya kami, tetapi juga mengancam desa. Meskipun dalam bahaya yang fatal, aku mempertahankan ketenangan yang diberikan oleh Mata Surgawi dan membalas dengan ejekan terakhir. "Kau sudah jelek, sekarang semakin jelek lagi!!!" Ejekan itu, meskipun kekanak-kanakan, berfungsi. Itu adalah pengakuan bahwa aku melihatnya, tetapi tidak takut padanya. Itu memancing amarah mentah, yang aku butuhkan untuk memprediksi tindakannya. GROOOOAAAMMMM.... Monster Rohha merespons ejekanku dengan serangan ganas. Dia melancarkan pukulan kepadaku secara bertubi-tubi. Cakar raksasa yang terbuat dari racun cair itu menghantam tanah tempatku berdiri, satu demi satu. Setiap pukulan menciptakan gelombang kejut racun yang menyebar horizontal. Aku terus menghindari serangan yang dilancarkannya. Dengan bantuan Mata Surgawi, aku mengaktifkan kecepatan transfer kecil, melompat dan bergeser dalam mikro-detik, bergerak di antara hujan pukulan seperti bayangan. Perisai tidak akan berfungsi melawan massa sebesar itu, pikirku. Aku harus menyerang inti, jika ada, atau menghancurkannya berkeping-keping. Aku menunggu celah, mengamati pola gerakannya. Meskipun besar, monster itu tetap terikat pada mekanisme tubuh biologis, mencari keseimbangan. Dalam satu kesempatan—saat monster itu menarik cakar kanannya terlalu jauh ke belakang untuk pukulan ayunan yang menghancurkan—aku bergerak. Aku melompat ke sisi kirinya, menggunakan Body Storm sebagai dorongan singkat, dan meluncur di antara tetesan racun. Pedangku, yang kini dialiri energi angin yang tajam, menebas. CRAK! Aku menyayat belakang lutut dia, yang merupakan titik vital untuk keseimbangan. Meskipun tubuhnya adalah cairan, tebasan yang dilapisi energi Angin Murni (Pure Wind) dapat memotong ikatan molekular racun yang membentuk strukturnya. Monster itu tersentak, raungannya berubah menjadi lengkingan kesakitan yang aneh. Keseimbangan strukturalnya runtuh. BRUUUUUUKKK! Dia terjatuh, massa racunnya menghantam tanah dan menyebar dalam cipratan cairan ungu-hitam. Saat itu aku berpikir itulah peluangku. Rohha kini rentan, terbaring, dan butuh waktu untuk merangkai kembali tubuhnya. Aku melompat maju, melepaskan serangkaian tebasan cepat ke tubuhnya yang tergeletak. Namun, monster Rohha Sinoda jauh lebih tangguh dari yang kuduga. Setiap serangan yang aku arahkan kepadanya, dia selalu bisa merapatkan kembali bagian tubuh yang telah aku serang. Cairan racun itu bergerak dengan kemauan sendiri, menutup luka secepat kilat. Aku membelah dadanya, tetapi cairan di sekitarnya mengalir masuk untuk mengisi kekosongan itu. "Hah! Tidak semudah itu, bocah! Tubuhku adalah lautan, dan kau hanya setetes air di dalamnya!" raung Rohha, suaranya teredam oleh massa cairannya. Aku menyadari strategiku harus berubah. Menghancurkan inti yang tidak ada adalah mustahil. Aku harus melumpuhkannya dengan cepat dan total. Aku harus mengulur waktu. Aku memfokuskan energi anginku, membuat pedangku bersinar biru cemerlang. Aku membidik. SLASSHHH! Aku memotong kedua tangannya, yang merupakan dua cakar raksasa. Tangan-tangan itu jatuh ke tanah, mengeluarkan percikan racun. Tujuanku adalah untuk mengulur waktu dia merapatkan bagian tubuhnya kembali, memaksanya untuk memusatkan energinya pada regenerasi ekstremitas. Kemudian aku tidak berhenti. Aku melompat ke bagian bawahnya. THWACK! s***h! Aku memotong kakinya sehingga dia tak sanggup berdiri dengan benar. Massa racunnya kini terbagi menjadi tiga bagian: badan utama yang tergeletak, dan kedua tangan yang mencoba merangkak. "ARGGGHHH! Sialan kau!" Rohha berteriak, amarahnya membuatnya semakin eksplosif. Aku mengambil jeda singkat, pernapasan terengah-engah. Waktu telah berlalu—delapan menit. Dua belas menit tersisa. Aku harus melenyapkan dia secara berkeping-keping, supaya dia tak bisa menyatukan bagian tubuhnya lagi. Ini adalah satu-satunya cara. Aku harus menciptakan kehancuran total pada tingkat molekuler, menghamburkan dia menjadi partikel yang tidak dapat berkumpul kembali dalam batas waktu ini. Aku mengambil posisi pertempuran, pedangku diangkat tinggi-tinggi. Aku mulai memfokuskan semua energi Angin Murni yang kuterima dari Mata Surgawi. "Tarian Angin" Aku mulai berputar, memegang pedang anginku. Putaranku tidak hanya membelah udara; itu mulai menarik udara di sekitarku, menciptakan pusaran yang semakin kuat. Aku membiarkan energi Angin Murni membanjiri bilah pedang dan tubuhku. Semakin lama semakin kuat dan kencang tornado yang aku ciptakan. Aku kini berada di pusat badai, terlindungi oleh dinding angin yang semakin tebal, pusaran yang menyedot debu, puing, dan—yang paling penting—racun di sekitarnya. Sementara tubuh monster Rohha hampir kembali utuh. Kedua tangan dan kakinya yang terpotong mulai merangkak kembali ke massa utama, didorong oleh kehendak Rune Poison. Rohha telah mengantisipasi seranganku, menyadari niatku untuk menghancurkannya secara total. Dia tidak bisa membiarkan aku menyelesaikan putaranku. Dia mengumpulkan racun dari massa tubuhnya dan membuka mulutnya yang mengerikan. GURGLE! ZZZRRRAAA! Dia mengeluarkan racun dari mulutnya dalam semburan asam pekat. Akan tetapi, karena kencangnya angin disekeliling tubuhku, yang kini telah berubah menjadi tornado kecil, membuat racunnya itu tak bisa menyentuhku. Semburan racun itu terbelokkan dan terlempar kembali, menghantam sisa-sisa markas yang hancur. Rohha terus melontar serangannya kearahku, semburan demi semburan racun cair dan gas mematikan, namun tetap tak mempan. Angin murni yang kubuat bertindak sebagai penyaring dan perisai yang sempurna. "Kau tidak bisa mengalahkanku dengan angin belaka, bocah!" raung Rohha, frustrasi. Aku tidak menjawab. Kekuatanku mencapai puncaknya. Aku tidak lagi mengayunkan pedang; aku adalah pedang. Aku melepaskan kendali, membiarkan Mata Surgawi memandu pusaran Angin Murni itu. Aku menarik tornado yang kubentuk, memadatkan seluruh pusaran, energi rotasi, dan kecepatan tinggi ke dalam bilah pedangku. Tornado itu, yang kini terkonsentrasi di ujung pedang, menjadi senjata pemotong yang tak terbayangkan. "Tornado s***h" Aku mengayunkan pedang yang kini menjadi proyektil energi raksasa. WUUUUUUUUNNNNGGGGGG!!! Seranganku melaju kencang ke arah Rohha. Itu adalah tornado yang dimampatkan, berputar dengan kecepatan yang memotong udara, batu, dan logam. Itu adalah serangan tunggal yang menyalurkan seluruh energi badai. Rohha menyadari bahwa serangan ini adalah yang terakhir. Dia menghentikan proses penyatuan dirinya. Dengan raungan putus asa, dia menahan serangan ku dengan kedua tangannya yang baru setengah beregenerasi. Grreeeppp... Tornado s***h menghantam tangannya. Tidak ada ledakan. Hanya suara yang mengerikan, suara seperti batu yang dihancurkan menjadi debu. Karena begitu kuatnya seranganku, tangannya hancur terkikis, bukan oleh pukulan, melainkan oleh kekuatan pemotong Angin Murni yang berputar tak terhentikan. Cakar racunnya lenyap menjadi asap, tidak sempat beregenerasi. Dan tanpa pertahanan, tubuhnya hancur diterjang oleh seranganku. Tornado s***h menerobos massa racun monster itu. Itu tidak hanya memotongnya; itu mengoyaknya, memecahnya menjadi jutaan tetesan dan partikel, lalu menyebarkannya ke udara, ke segala arah. Tubuh Rohha Sinoda, monster raksasa itu, hancur total, tersebar. Aku berdiri di sana, terengah-engah. Body Stormku runtuh. Pedangku bergetar. Tak ada tanda-tanda dia selamat dari terjangan tornadoku. Hanya tersisa laju tornado saja di tanah, yang perlahan-lahan mereda. Tiba-tiba, udara terasa ringan. Awan racun ungu di atas kami mulai menipis, diserap oleh angin yang telah kuciptakan. Kakek White Sphere melangkah keluar dari gelembung angin bersama pasukan desa. Wajah mereka terkejut, bercampur lega. "Dia... dia sudah lenyap," bisik Gotch, menatap ke tempat di mana monster itu menjulang tinggi. Kakek White Sphere tersenyum. "Kau berhasil, Wing. Kau menghancurkannya berkeping-keping sehingga Rune Poison tidak bisa mengumpulkan intinya lagi. Waktunya... berapa yang tersisa?" Aku melihat ke arah matahari yang kini bersinar terang tanpa terhalang awan racun. "Sekitar dua belas menit," kataku, terengah-engah. Kami menang. Kunci telah dikalahkan. Kini saatnya mengambil alih pusat kendali dan memurnikan desa dari sumber racun yang sebenarnya, mengakhiri penderitaan empat tahun ini. Pertarungan epik telah berakhir, dan kemenangan terasa manis, meskipun tantangan sesungguhnya—mengamankan kemenangan—baru dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD