1. kembali
Siapa yang tak mengenal Jemma Halim, gadis cantik berusia dua puluh dua tahun. Namun dia tak hanya cantik, Jema juga pintar, mandiri, dan tentu saja berprestasi.
Di usianya sekarang Jema sudah di kenal publik, ia dikenal sebagai salah satu presenter televisi. Sering kali muncul di televisi tak membuat Jema sombong, ia tetap rendah hati serendah rendahnya.
Sore ini dengan mengendarai sepeda motor metiknya Jema melintasi jalanan Jakarta yang begitu ramai. Suara hiruk pikuk perkotaan terasa bising di telinganya. Untunglah cuaca sore ini sudah tak terlalu panas, sehingga ia masih bisa menikmati jalanan sumpek ini.
Ayah Jema Fery Halim, adalah seorang pemilik stasiun televisi tempat Jema bekerja. Namun gadis itu sering kali menolak fasilitas yang diberikan sang ayah. Berbeda dengan kakak tirinya Jasmin, yang selalu saja hidup mewah dengan fasilitas fantastis dari sang ayah.
***
Semangkuk bakso telah tiba di hadapan Jema, gadis itu langsung meracik bakso tersebut sesuai seleranya. Saos yang banyak, kecap yang secuil, cuka yang seakan akan ingin tumpah semua kedalam mangkuk tersebut, tak lupa ia tambahkan cabe beserta pohonnya. Ya itulah selera Jema, manis, asam, pedas dowerrr.
"Neng Jema ga malu makan bakso gerobakan di pinggir jalan begini?" Tanya abang abang bakso yang sudah menjadi langganan Jema.
"Kenapa malu?" Bukannya menjawab Jema malah bertanya balik.
"Neng Jema kan banyak duitnya, presenter terkenal, ayah Eneng kan juga pengusaha, Pemilik stasiun televisi terkenal lagi. Gimana kalau ada yang ngenalin eneng terus di virallin kayak sekarang sekarang." Celetuk bang Ijal.
"Santai bang, lagian yang banyak duit bapakku bukan akunya." Cengir Jema yang tak henti hentinya memasukan makanan ke mulutnya.
Ya begitulah Jema, sosok yang tak pernah mendengar keritik j*****m dari siapapun. Ia hanya memperdulikan masukan orang orang yang peduli terhadap dirinya jika itu baik untuknya.
Drettt....dtretttt....
Ponsel Jema bergetar, panggilan dari sahabatnya itu membuat ia mendelikan matanya.
Baru juga libur sehari ponselnya sudah begitu ramai, namun mau tak mau dia mengangkat panggilan tersebut karena tak mau sahabatnya itu mayun.
"Emm!!"
"Jemaaa,,, Lu dapet undangan penerimaan penghargaan."
"Ada duitnya ga?"
"Astaga Jem, sekelas lu masih tanyain duit?!"
"Gua manusia Mel, bukan patung yang ga perlu duit. "
"Iya ada sayangkuuuuu. Mau di pesanin baju apa? Apa perlu gua jemput lu kita ke butik sekarang?"
"Ga usah Mel, gua ada acara nih. Lu aja yang wakilinnya."
"Baiklah nona super sibukkkk."
Jema mematikan panggilan tersebut setelah Melly berbicara.
Jema berpikir apalah arti sebuah penghargaan tanpa duit, yang terpenting duit, dia sudah kaya namun duit tetap nomor pertama. Realistis saja, Jema mata duitan.
***
Sore itu Jema tak pulang sendiri, hari ini ia dijemput oleh Melly sahabatnya.
Mobil tersebut berhenti tepat di depan gerbang rumah Jema. Namun yang mengherankan Melly tak membuka pintu mobilnya. Yang ada wanita itu tampak melongok ke arah seberang jalan.
"Jem..." Melly menepuk lengan Jema.
"Kenapa?"
"Itu siapa? Ganteng banget?!" Melly masih melihat ke seberang jalan, Jema yang penasaran langsung menoleh.
Dari dalam mobil terlihat sosok laki laki dengan tinggi tubuh sekitar seratus sembilan puluh sentimeter, dengan gaya rambut two block agak sedikit panjang menambah kesan tersendiri.
DEG...
Jema membelalak, melihat ke arah seberang sana. Entah mengapa ia sedikit was was saat melihat lelaki itu.
'Duta !' ucap Jema dalam hati.
"Lu kenal? Bisalah kenalin gua!" Unjar Melly begitu bersemangat.
"Itu adeknya mas Devan !" Unjar Jema memberitahu.
"What?! Seriusan? Kalau gini ga dapet kakaknya adeknya pun okelah !" Ucap Melly.
Melly terlihat mengeluarkan bedaknya, menepuknya tipis di wajahnya. Tak lupa ia juga memoles bibirnya dengan lipstik yang sama.
"Idih, mulai gatelnya." Ucap Jema.
"Jema, sekarang kita itu harus pinter pinter menggatal. Jaman sekarang kalo ga gatel gabakalan dapet suami."
"Percaya?!" Ucap Jema mengangkat alisnya sebelah.
"Percayalah, buktinya lu."
"k*****t lu !" Maki Jema yang di sambut gelak tawa Melly.
Melly keluar terlebih dulu, setelahnya Jema Baru keluar menyusul Melly yang telah terlihat seperti terkena ulat bulu.
Tatapan mata Jema bertemu dengan mata elang Duta. Lelaki itu masih sama, sama stressnya seperti lima tahun lalu.
"Kiw kiw cewe yang pakai baju biru, senggol dong." Ya begitulah Duta menyapa Jema setelah lima tahun tak bertemu.
Jema tak menjawab, ia hanya fokus pada sahabatnya yang mulai meledeknya.
"Sombong amat neng, jangan sombong sombong ngapa. Abang cakar nanti." Duta kembali menggoda Jema.
"Diem lu, sekali gua senggol memar !" Jawab Jema dengan nada ketus.
Melly yang mendengar sahabatnya menyerang terlihat tak percaya. Bagaimana mungkin seekor Jema, eh maksudnya seorang Jema bisa mengulti langsung lawan bicaranya tanpa ampun.
"Jema bukan gitu cara ladenin cowo mah, pantes lu jomblo terus." Unjar Melly yang berbisik.
"Hay, salam kenal ya maafin teman gua." Ucap Melly yang terlihat tak enak hati.
"Ga apa santai, lagian belom lebaran kali masa udah mau maaf maafan. Bener apa betul nih Jem?!" Lagi lagi Duta kembali menggoda Jemma.
Jemma hanya menyunggingkan bibirnya, jika terus di ladenin maka Duta akan semakin menjadi jadi.
Dari belakang, terlihat seseorang yang begitu familiar di mata Jemma. Dia adalah Devan, saudara kandung Duta.
"Baru pulang Jem?" Tanya Devan pada Jemma yang terlihat telah mengembangkan senyumannya.
"Eh mas Devan, iya nih baru pulang." Unjar Jemma begitu manis tak seperti ia berbicara pada Duta.
"Ih mis Divin, Iyi nih biri piling!" Duta mengulang kalimat Jemma dengan nada berbeda.
"Lu kenapa sih, cari masalah terus."
"Siapa yang cari masalah, orang masalah sendiri yang nyariin lu." Ledek Duta yang semakin membuat Jemma emosi.
"Udah Jemma, masuk sana nanti di kawinin warga gimana!" Ucap Melly membuat Jemma bergidik ngeri.
Jemma yang sudah merasa lelah dan kehabisan tenaga, akhirnya memilih masuk dari pada terus bertengkar dengan Duta.
"Kamu jangan gitulah sama Jemma, sampai kapan mau kek kucing sama tikus terus. Udah gede juga!" Unjar Devan pada adiknya itu.
"Abisnya Jemma seru banget kalo di kerjain!" Duta tertawa sendiri sembari mengingat ekspresi wajah Jemma yang kesal karena tingkahnya.
"Awas jodoh!" Goda Devan.
"Kalau jodoh kita makan makan." Jawab Duta seenaknya.
"Dasar bocah !"
"Emang ada bocah umurnya udah dua puluh tujuh tahun."
"Adalah, ini contohnya. Dari kecil sampai besar ga pernah akur sama tetangga sendiri. Suka rusuh, cari masalah terus. Ujung ujung naksir !" Devan kembali menggoda.
"Ga apa lah mas, namanya normal. Kecuali kalo nanti yang aku taksir itu kang Asep, baru lah mas Devan rusuh." Devan hanya menggeleng saja ketika menanggapi adiknya yang begitu tak karuan.
~~~