bc

DIA BUKAN SUGAR DADDY, TAPI SUAMIKU

book_age18+
190
FOLLOW
3.0K
READ
family
age gap
fated
friends to lovers
arrogant
badboy
kickass heroine
heir/heiress
drama
sweet
bxg
bold
office/work place
like
intro-logo
Blurb

"Mas," bisik Magika, berusaha melepaskan diri. "Kamu kan harus kerja hari ini."

Juan menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya tetap terpejam, namun bibirnya tersenyum kecil. "Enggak, aku gak akan ke kantor hari ini."

Magika menatapnya bingung. "Kenapa? Kamu kan gak sakit?"

Juan membuka matanya sedikit, lalu berkata santai, "Aku kan bosnya, Sayang. Aku bebas mau masuk atau enggak. Lagipula, aku tipe pekerja keras sebelum menikah. Tapi sekarang perusahaan sedang sangat stabil." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan senyum penuh arti, "Dan aku kan sekarang punya istri aku punya pekerjaan juga."

Magika memiringkan kepalanya, merasa ada yang aneh dengan ucapan Juan. "Memangnya pekerjaannya apa kalau nggak ke kantor?" tanyanya polos.

Magika Zamora si gadis yang mudah jatuh cinta kini jadi tawanan Juan, CEO yang posesif.

chap-preview
Free preview
Ternyata Aku Pelakor?
“Ditolak lagi!” “Kemana lagi aku harus cari kerja?” “Melelahkan sekali,” keluh Magika. Dengan langkah pelan, Magika memarkir motor maticnya di depan rumahnya, menghela nafas panjang setelah menjalani hari yang penuh dengan wawancara kerja. Baru saja lulus kuliah, ia berharap segera mendapat pekerjaan. Tapi hari ini ia kembali kecewa. Ia belum dapat pekerjaan. Sebelum masuk ke dalam rumah Magika melihat sepasang suami istri bersama anak mereka sedang berjalan di depan rumah dengan wajah bahagia. Magika tersenyum getir, keluarganya tak lagi utuh. Perpisahan orang tua nya sejak ia duduk di bangku SMP membuat ia kini hanya tinggal bersama ibunya. Sementara ayahnya sudah menikah lagi dan punya keluarga baru. Entah dimana. Setelah melepaskan helm dan masuk ke dalam rumah, ia langsung menuju kamarnya. Suasana rumah yang sepi. Magika menaruh tasnya di meja dekat jendela, lalu duduk sejenak di tepi tempat tidur, membuka ponsel untuk mengecek pesan. Baru beberapa detik membuka layar, sebuah pesan dari sahabatnya, Jessie, muncul di layar ponselnya. Magika membuka pesan itu dengan penasaran, hanya untuk melihat sebuah foto yang terkirim. Foto itu menunjukkan Gio, kekasihnya dan ia tengah duduk bersama seorang wanita berhijab. Wajah wanita itu tidak jelas terlihat, hanya sebuah siluet samar yang membuat Magika merasa penasaran. Jessie adalah teman curhat Magika. Segala hal tentang Magika, Jessie pasti tahu, termasuk Gio kekasihnya. Tak hanya foto, Jessi juga mengirim pesan. (Jessie: Magi, cepat sini. Ada Mas Gio mu. Kayanya pacarmu itu selingkuh deh.) Magika merasa perutnya berputar, seolah seluruh tubuhnya menjadi kaku. Ia melihat lokasi yang dibagikan Jessie, sebuah tempat yang cukup jauh dari rumahnya. Tanpa pikir panjang, Magika segera melangkah keluar kamar, ingin mencari tahu lebih banyak. Ia memakai Helm dan pergi dengan motor miliknya. Magika melaju di atas motor maticnya, membelah jalan sore yang masih diterangi sinar matahari. Angin menerpa wajahnya, namun rasa dingin itu tidak mampu menenangkan hati dan pikirannya yang penuh gejolak. Sepanjang perjalanan menuju lokasi yang dibagikan Jessie, pikirannya terus melayang pada sosok Gio. Sudah tiga bulan mereka bersama, waktu yang terbilang singkat namun cukup untuk membuat Magika merasa yakin bahwa Gio adalah orang yang tepat untuknya. Pribadi Gio yang dewasa dan penuh perhatian telah memenangkan hatinya sejak awal. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun, Gio memiliki kepercayaan diri dan kedewasaan yang membuat Magika merasa aman. Tak hanya itu, kehidupan finansial Gio yang mapan juga menjadi salah satu hal yang menguatkan keyakinan Magika bahwa masa depannya bersama pria itu akan cerah. Magika teringat dengan jelas bagaimana Gio melamarnya sebulan yang lalu secara pribadi. Ia yang kurang kasih sayang seorang ayah memang langsung jatuh hati pada pesona dan perhatian Gio. Malam itu sangat indah—sebuah makan malam sederhana di restoran favorit mereka. Gio, dengan senyumnya yang meneduhkan, mengeluarkan sebuah cincin dan meminta Magika menjadi istrinya. Magika hampir tak percaya. Air mata haru bercampur kebahagiaan mengalir saat ia mengangguk dan menerima lamaran itu. Sejak saat itu, hidupnya berubah. Mereka mulai merancang pernikahan yang akan digelar bulan depan. Gio bahkan sudah membicarakan rumah yang akan mereka tinggali setelah menikah, lengkap dengan rencana bulan madu yang terdengar seperti mimpi indah. Magika merasa seperti gadis paling beruntung di dunia. Namun sekarang, pikirannya penuh tanda tanya. Foto yang dikirim Jessie tadi tak henti-hentinya berputar di benaknya. Siapa wanita itu? Apakah benar Gio—pria yang sudah merencanakan masa depan bersamanya—bisa melakukan sesuatu seperti ini? "Mungkin ini hanya salah paham," Magika mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, rasa cemas tetap menggelayut di hatinya. Semakin dekat ia ke lokasi yang dimaksud Jessie, semakin cepat detak jantungnya. Hari ini mungkin akan menjadi jawaban dari semua keraguannya—atau justru awal dari kehancuran kebahagiaannya. Setibanya di lokasi yang dikirimkan Jessie, Magika melihat sebuah restoran mewah yang cukup jauh dari rumahnya. Namun, karena ia tak bisa menahan kecemasannya, ia memacu motor maticnya lebih cepat dari biasanya, tak peduli dengan kecepatan. Hatinya berdebar-debar, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Saat ia memasuki area parkir restoran, ia melihat Jessie sudah berdiri di dekat pintu, menunggunya dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca. Begitu Magika berhenti, ia menghampiri Jessie. Jessie langsung menyapa dengan nada sedikit terkejut. "Cepat amat sampenya, Magi. Kamu ngebut!" Seru Jessie. Magika tidak peduli dengan komentar itu. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Dengan nafas yang sedikit terengah, ia bertanya dengan suara sedikit gemetar, "Mana mas Gio?" Jessie mengangguk sambil menunjuk ke arah pintu masuk restoran, "Di dalam." Tanpa menunggu lebih lama, Magika langsung melangkah menuju pintu restoran, diikuti Jessie yang terlihat sedikit lebih tenang namun tetap waspada. Saat mereka melangkah masuk, Jessie berbisik pelan, "Kamu tenang, Magi. Jangan buat keributan, ya." Magika hanya mengangguk, meski hatinya rasanya sudah tak bisa lagi tenang. Kaki-kakinya terasa berat saat melangkah, namun ia tahu ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri. Sesampainya di dalam, matanya langsung mencari-cari sosok Gio di antara meja-meja yang ada. Jantungnya berdebar semakin kencang. Semua yang ia rasakan kini terasa begitu kontradiktif—antara harapan dan rasa takut yang bercampur aduk. Begitu Magika dan Jessie melangkah masuk ke restoran, suasana yang hangat dan mewah di dalam ruangan terasa berlawanan dengan apa yang dirasakan Magika di dalam hatinya. Ia memindai setiap sudut restoran dengan cepat, mencari sosok yang selama ini ia cintai. Jessie, yang berjalan di sebelahnya, mencoba menjaga ketenangan Magika. Namun, hanya dalam hitungan detik, mata Magika tertumbuk pada sebuah meja di sudut ruangan. Di sana, Gio duduk bersama seorang wanita cantik berhijab. Wanita itu tampak tersenyum manis, dan Gio... Gio tengah memegang tangan wanita itu dengan lembut, seolah ada dunia lain yang hanya milik mereka berdua. Dunia Magika seakan berhenti. Darahnya mendidih, jantungnya berdebar kencang, dan tubuhnya terasa panas meski AC restoran menyala dengan dingin. Pandangannya terpaku pada pemandangan itu, seakan sulit percaya dengan apa yang ia lihat. Gio, pria yang telah melamarnya, pria yang berjanji untuk membangun masa depan bersamanya, kini tampak begitu mesra dengan wanita lain. Jessie, yang berdiri di sampingnya, segera menyadari perubahan ekspresi Magika. Ia menahan lengan Magika dengan cemas, berbisik, "Magi, tenang. Jangan bikin ribut di sini." Namun, Magika tak lagi bisa mendengar apa-apa. Suara-suara di restoran seakan memudar, digantikan oleh dentuman kemarahan yang membara di dalam dirinya. Ia mengepalkan tangannya, mencoba meredam emosi, namun pandangannya tetap tertuju pada Gio dan wanita itu. "Bagaimana bisa dia melakukan ini?" pikir Magika. Kata-kata Jessie untuk tetap tenang perlahan tenggelam. Baginya, dunia seakan hanya menyisakan satu pertanyaan yang terus menggema: Mengapa Gio mengkhianati aku? Dengan langkah tegap, Magika berjalan menuju meja Gio, hatinya bergejolak antara amarah dan rasa sakit yang tak tertahankan. Saat ia semakin mendekat, Gio yang sedang berbicara dengan wanita berhijab itu terdiam, matanya langsung tertuju pada Magika yang kini berdiri di hadapannya. "Mas Gio!" suara Magika pecah, seolah memecah keheningan restoran yang mulai terasa mencekam. Semua orang di sekitar mereka berbalik menoleh, terkejut melihat kedatangan Magika yang begitu tegas. Dan suara Magika yang cukup keras menjadi pusat perhatian Gio tampak kaget, wajahnya berubah pucat sejenak, namun ia segera mencoba menyembunyikan rasa paniknya. "Magi, ini bukan seperti yang kamu pikirkan..." Gio berkata, suaranya sedikit bergetar. Magika tidak memberi kesempatan Gio untuk menjelaskan. Ia menatap Gio tajam, seolah setiap kata yang keluar dari bibirnya membawa beban yang luar biasa. "Mas Gio! Tega-teganya ya selingkuh di belakangku!" suaranya menggetar, namun penuh dengan kebencian. "Katanya mau nikahin aku bulan depan!" Wanita berhijab yang duduk bersama Gio terlihat terkejut, lalu dengan cepat berdiri dan meninggalkan meja, wajahnya tampak tertekan. Gio berbalik menatap wanita itu, kebingungan dan cemas, lalu berkata dengan suara rendah, "Sayang, aku bisa jelaskan..." Namun, wanita itu tidak menghiraukan dan berjalan cepat pergi dari restoran, meninggalkan Gio dalam keheningan yang memukul. Magika tak bisa menahan amarahnya lagi. "Dasar pelakor!" serunya dengan penuh kebencian, bibirnya bergetar menahan emosi yang meledak. Tiba-tiba, Gio berdiri dan menatap Magika dengan ekspresi yang sulit dimengerti. "Dia istriku!" Gio berseru, suaranya terdengar tegas, namun penuh kekhawatiran. Magika terkejut dengan pengakuan Gio. Magika tampak terpaku di tempatnya. Mulutnya terbuka lebar, seolah kehilangan kata-kata, dan matanya membulat sempurna, melotot ke arah Gio. Ruang restoran yang semula penuh obrolan ringan langsung senyap. Jessie, yang berdiri di samping Magika, sama terkejutnya, memegang tangan Magika seolah memastikan ucapan itu nyata. Para pengunjung yang semula asyik dengan makanan mereka kini menghentikan aktivitasnya, menatap Magika dengan campuran rasa penasaran dan kaget. Seorang pelayan yang tengah membawa nampan hampir menjatuhkan gelas-gelas karena terhenti mendengar pernyataan itu. Keheningan yang tercipta terasa begitu tegang, hingga akhirnya terdengar gumaman di antara para pengunjung: "Jadi, sebenarnya dia yang pelakor?" Wajah Magika yang sebelumnya dipenuhi rasa percaya diri kini berubah pucat. Dia menggerakkan bibirnya seolah ingin membela diri, tapi tak ada kata yang keluar. Tangannya yang gemetar mulai meremas ujung bajunya. Gio menatap Magika dengan dingin.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
3.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
208.4K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
156.6K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
287.1K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
150.3K
bc

TERNODA

read
191.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
223.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook