dua

1257 Words
Tak ada kebahagiaan di wajah Naura, gadis itu hanya di saat wajahnya sedang dirias oleh para penata rias salon. Naura hanya memandang kosong cermin di hadapannya yang saat ini memantulkan gambar wajah yang dipulas. Bahkan baju pengantin sudah melekat indah di tubuhnya, hingga Ia berkilau. Harusnya, hari ini adalah hari kebahagiaan jalan dan Bima. Harusnya hari ini Ia dan Bima resmi menjadi pasangan suami istri. Harusnya hari ini Ia dan Bima memulai kehidupan baru. Bukannya malah Ia dan Andre yang menikah. Ini tak benar, ini tak seharusnya terjadi, ini salah, sangat salah. Tanpa sadar satu cairan bening menetes dari mata indah Naura. Gadis itu mengusap kasar hingga penata rias yang mendandaninya menghela nafas. Riasan yang sudah susah payah mereka buat kembali rusak. Ya, sudah kesekian kalinya Naura merusak riasannya sendiri karena tak dapat mengontrol air matanya. Dua penata rias di sana saling pandang sebelum kemudian kembali membenahi riasan yang dirusak oleh si pengantin sendiri. Sebenarnya Mereka bingung juga penasaran, ada apa sebenarnya dengan gadis yang saat ini mereka dandani? Bukankah seharusnya saat ini Ia tersenyum bahagia karena akan menikah, seperti klien-kliennya yang lain yang pernah menggunakan jasa mereka. Tapi gadis yang saat ini duduk menghadap cermin malah terlihat tertekan dan sedih. Ataukah mungkin, gadis yang saat ini mereka menikah karena sudah menikah, seperti dijodohkan mungkin. Ah, bisa jadi. "Bagaimana? Apa sudah siap?" Pertanyaan dari seorang wanita paru baya yang saat ini berdiri di ambang pintu mengalihkan perhatian dua penata rias itu, tapi tidak untuk Naura. Kedua penata rias wanita itu mengangguk pelan, setelahnya mereka mulai memberesi alat-alat make-up mereka. Sebelum kemudian memutuskan untuk berlalu pergi dari kamar itu. Ana berjalan putrinya yang sama sekali tak bergeming. Wanita dengan kebaya abu-abu dan sanggul di kepala itu pundak Naura pelan. Ana sekuat tenaga menahan laju air matanya, melihat tatapan kosong dari mata anaknya. Hingga --- "Naura maunya sama Bima Ma," isak Naura menangis, mengatur pinggang Ibunya. Menyembunyikan wajahnya berlinang air mata di perut Ibunya. Ana mengusap pelan punggung anaknya, untuk beberapa saat wanita paru baya itu hanya diam. "Bima tidak pantas untukmu," ujarnya, bergumam sangat pelan. Naura menggeleng, menolak ucapan Ibunya. "Nggak Ma!" Ana lelah, Ia lelah melihat keadaan putrinya yang seperti ini. Ia urai pelukannya, Ia memandang wajah anaknya yang sudah basah oleh air mata. "Kamu tahu Bima sudah membatalkan pernikahan kalian, Mama mohon jangan buat Papamu marah karena menolak pernikahan ini. Saat ini hanya Andre harapan kita agar nama keluarga kita tetap terjaga." Jelas Ana berharap Naura dapat memahami keadaan mereka saat ini. "Berhenti merusak riasanmu karena menangis Naura," Ana mengusap air mata di kedua belah pipi anaknya. Lalu mengambil bedak di atas meja dan mulai membenarkan riasan anaknya. "Sekarang kita turun ya? Papamu sudah menunggu," tak ada sahutan, tapi Ana lebih memilih langsung menuntun putrinya untuk bangkit berdiri. *** "Enggeh sekedap nggeh mas," (iya sebentar ya mas,) ujar wanita dengan usia berkisar hampir kepala enam kepada pemuda yang merupakan pembelinya. Wanita itu kemudian berjalan ke belakang menghampiri gadis yang terlihat sibuk berkutat menyiapkan pesanan pembelinya. "Nil sego gudeg e siji," (Nil nasi gudegnya satu) ujarnya kepada Nila yang dibalas anggukan kepala juga senyum tipis oleh gadis itu. "Iki pecel pesenan dekmau?" (Ini pecel pesanan tadi?) Tanya wanita paru baya itu mengangkat nampan berisi piring dengan sayur-mayur. Nila menoleh, memandang nampan yang kini diangkat Budhenya. Sebelum kemudian gadis itu mengangguk. "Enjih budhe," (iya budhe) ujarnya. Mendengar itu, wanita sedikit tambun itu mengangguk pelan. Sebelum kemudian langsung membawa nampan yang sudah berisi beberapa piring pecel itu untuk Ia berikan pada pembelinya. Nila menghela nafas. Setelah melihat Budhe Ngatmi, kakak dari almarhumah Ibunya berlalu mengantarkan pesanan. Wanita itu kembali menyiapkan pesanan yang silih berganti. Syukurlah, warung makan Budhenya hari ini laris, seperti hari-hari biasanya. Jogja, di sinilah Nila sekarang. Menumpang hidup kepada Budhenya. Wanita tambun yang tersenyum cerah saat melihat kedatangannya bersama Jingga. Walau sempat terlihat kebingungan di wajah tua itu, saat melihat bayi dalam gendongannya waktu itu. Sebelum kemudian menggendong anaknya dengan tawa, tak marah ataupun menolak anaknya. Budhenya memang hanyalah tinggal seorang diri di Jogja, suami dan anak Budhe Ngatmi sudah meninggal. Sehingga, wanita paru baya itu sangat senang saat mengetahui Ia dan Jingga memutuskan untuk tinggal menetap di Jogja hinggah entah kapan. "Kowe kesel yo Nil?" (Kamu capek ya Nil?) Tanya Budhe Ngatmi sehabis memberikan pesanan. Ia hampiri keponakannya yang masih asyik menyiapkan pesanan para pembeli. "Ah mboten budhe. kesele ilang mergo waronge rame," (ah enggak Budhe. Capeknya hilang karena warung ramai) ujarnya tersenyum cerah. Membuat Budhenya ikut tersenyum. "Niki pesenan sego gudeg e budhe," (Ini pesanan nasi gudegnya budhe) Ia berikan piring berisi nasi dan sayur gudeg itu pada wanita tua itu. Yang langsung saja di terima oleh Budhe Ngatmi untuk diberikan pada pembelinya. *** "Yee... Mama udah pulang." Ujar Jingga yang berdiri di depan teras rumah Budhe Ngatmi bersama Buming dalam gendongannya. Saat Budhe Ngatmi maupun Nila sampai di hadapannya. Jingga dengan segera menyalimi tangan Budhenya, sebelum kemudian kakaknya. Gadis itu memberikan Buming dalam gendongan kakaknya, saat bayi laki-laki itu berusaha menggapai tubuh Ibunya. "Ulu... ulu... putu lanang wes ganteng tenan..." (ulu... ulu... cucu laki-lakiku sudah tampan sekali.) Budhe Ngatmi menoel-noel pipi gembil Buming, yang dibalas tolakan bayi itu. "Yowes, aku tak seng adus disik ya Nil?" (Yasudah, aku yang mandi duluan ya Nil?) Budhe Ngatmi memandang Nila yang dibalas anggukan oleh Nila. Ketiganya dengan Buming dalam gendongan Nila memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. "Gimana Mbak warung hari ini?" Tanya Jingga saat kakaknya mengambil duduk di sofa usang ruang tamu. Meletakan Buming duduk di antara mereka. Nila tersenyum tipis. "Alhamdulillah ramai," ujar Nila kemudian. Jingga ikut tersenyum mendengar itu. "Buming sendiri gimana?" Tanya Nila memandang anaknya yang kini menarik-narik busa yang keluar dari sofa. Kontan Nila menarik tangan anaknya menjauh, membuat bayi itu memandang wajah Ibunya bingung. "Buming sekarang udah aktif banget Mbak, aku sampe capek. Soalnya dia rambatan kesana rambatan kesini. Mungkin sebentar lagi dia bisa jalan," jelas Jingga tersenyum memandang keponakannya yang kini berusaha untuk turun dari sofa. Dimana Nila mencegahnya. "Wah, anak Mama udah mau bisa jalan ya?" Tanya Nila kepada Anaknya, mengangkat bayi itu di depan wajahnya. Entahlah, mendengar penuturan adiknya, Nila merasa senang. "Akh!" Tangan Bayi itu menolak saat Ibunya menciumi wajahnya berkali-kali, mungkin merasa geli. Tapi tetap, tawa gemlitik terdengar dari bibir mungil penuh milik bayi itu. "Hari inikan Buming juga ulang tahun yang pertama Mbak." Ujar Jingga mengingat jika hari ini keponakannya genap berusia satu tahun. Gadis itu pikir kakaknya lupa, jika Anaknya kini sudah genap satu tahun. Nila terperangah, wanita itu secara perlahan menurunkan anaknya untuk berdiri di lantai dengan berpegangan sofa. Seperti yang bayi itu inginkan. Nila mengangguk pelan dengan senyum getir. "Ya..." gumamnya menyahuti ucapan adiknya. Tepat hari ini juga Bima akan menikah. Jingga bingung saat kakaknya bukannya senang, malah terlihat sedih. "Kenapa Mbak?" Tanya Jingga pelan. Tepat setelah itu, Budhe Ngatmi muncul dari pintu yang terhubung dengan dapur. Wanita paru baya itu terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya. Terlihat berjalan mendekat ke arah Nila dan Jingga. "Wes, gantian kono Nil." (Sudah, gantian kamu sana Nil.) Perintah Budhe Ngatmi pada Nila, menyuruh agar wanita itu gantian mandi. Nila kontan langsung bangkit berdiri. "Enjih Budhe," (iya Budhe,) setelahnya Nila buru-buru berlalu menuju kamar mandi. Jingga memandang kepergian kakaknya dengan wajah bingung dan pandangan lelah. Kakaknya terkadang memang susah ditebak. Membuatnya selalu merasa was-was dan takut. "Putu lanang..." (cucu laki-laki...) Nb. Maaf jika dibagian B. Jawanya terasa kurang sreg atau medok. jujur aja saya bukan orang Jogja, cuman orang Solo. Itu bahasa yang saya gunakan, adalah bahasa sehari-hari saya. Terimakasih untuk pengertiannya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD