Satu

1159 Words
Mala! "Bima!" Teriak Wina saat baru saja membuka pintu kamar Putra sulungnya, mendapati keadaan anaknya sudah tak sadarkan diri di lantai atas. Tentu saja wanita hal itu langsung menghambur ke arah putranya. Ia baru akan mengantarkan makan malam untuk anaknya, Ia tahu Bima tak akan dapat makan di meja makan disaat Ayah dan Adiknya memusuhinya. "Bangun Bim! Bangun!" Ia tepuk pelan pipi tirus anaknya dengan perasaan cemas dan air mata berurai, tapi tak ada tanggapan. "PAPA! BINTANG!" Teriaknya meminta bantuan, Ia sangat berharap pasangan dan anak rekomendasi datang. "PAPA! BINTANG !!" Teriaknya semakin tak terkendali, saat menyadari badan Bima sangat panas juga pucat diwajahnya. "Astaga, ada apa Ma?" Tanya Adi yang ikut terkejut akan keadaan Putra sulungnya. Bintang dimana? Tanya Wina saat tak menemukan keberadaan Anak anak. Adi segera ikut memapah tubuh Bima, walau sulit tapi lelaki itu berhasil. "Bintang tadi langsung keluar, saat Bima pulang." Ujarnya menjelaskan kepada Istrinya. "Astaga, anak itu ..." Wina tak dapat membendung air matanya, menyadari sama sekali benci Putra bungsunya pada kakaknya sendiri. Kita harus cepat bawa Bima ke rumah sakit, "ujar Adi mempercepat langkahnya dalam memapah tubuh Bima, tentu saja Wina mengangguk. "Loh, Nya. Den Bima kenapa?" Tanya Bik Ira saat melihat tuan mudanya dipapah oleh kedua majikannya. "Nggak usah banyak ngomong Bik, mending Bibik sekarang tolong bukain pintu, terus suruh Pak Ali siapin Mobil." Perintah Wina yang turun kendali, perasaannya sebagai seorang Ibu mulai khawatir keadaan akan anaknya. "Baik Nya," setelah membungkukan tubuhnya dan mengangguk singkat, Pembantu yang sudah bekerja pada keluarga Khorel selama puluhan tahun itu berlari cepat membukakan pintu utama rumah. Lalu mulai mencari keberadaan supir pribadi tuan Khorel untuk Ia perintahkan siapkan mobil. Adi mengizinkan terlebih dahulu Istrinya untuk masuk ke dalam mobil, setelahnya Bima. Sedangkan dia duduk di kursi depan samping kursi pengemudi. "Pak cepet! Bisakan cepet!" Suara dengan bentakan itu, terdengar bergetar. Setelahnya terdengar isakan, tangan tua wanita itu mengusap wajah anaknya. "Ma, Mama harus tenang. Papa percaya Bima pasti baik-baik aja," Adi berusaha untuk memberikan pengertian pada Istrinya. Ia merasa jika kecemasan istrinya yang berlebihan sama sekali tak membantu. Mata memerah Wina menatap Suaminya dengan berkilat amarah. "Ini semua gara-gara Kamu! Andai Kamu nggak marah sama Bima, nggak memusuhi Bima! Mungkin Bima nggak akan sefrustasi ini! Apa kamu pikir dengan Kamu memusuhi Bima, Nila dan Buming akan kembali, Iya?! Nggak! Lihat! Apa yang terjadi, Bima sekarat... hiks... dia sudah dihantui rasa bersalah atas kepergian Nila dan anaknya... lalu harus ditambahi Kamu dan Bintang yang memusuhinya... hiks..." isakan kesakitan Wina sebagai Ibu melihat anaknya hancur kembali keluar. Ia ikut merasakan bagaimana hancurnya anaknya. Adi terdiam, Ia tahu Ia ikut andil dalam kesakitan Putranya. Tapi, perasaan kecewa atas sikap anaknya masih sangat Ia rasakan. Ia selalu merasa berdosa, karena tak dapat mendidik anaknya hingga menjadi lelaki yang tak bertanggung jawab. "Apa sekarang kalian puas?" Tanya Wina lemah. "Lihat! Dia sudah mendapatkan balasannya," isakan wanita paru baya itu masih terdengar. "Ma, kita bawa Bima ke rumah sakit dulu ya. Kendalikan emosi Mama," Adi tak tahu, apa dia puas atau tidak? Tak ada orang tua yang senang melihat anaknya hancur, tersiksa. Wina mengangguk, Ia kembali menunduk. "Bertahan Bima, kamu harus bertahan untuk meminta ampunan kepada anakmu dan Nila..." bisiknya, berharap agar anaknya mendengarkan ucapannya. *** Beberapa hari kemudian... Bima memandang ramainya jalan dari jendela besar yang tersedia di ruangannya. Pandanga lelaki itu terlihat lelah, hingga terdengar tarikan nafas pelan. Bima menunduk berusaha menghalau rasa panas pada kedua bola matanya. Saat ini Ia sedang berpikir, tentang Anaknya dan juga Nila. Apa yang sedang mereka lakukan? Bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka sedang bahagia saat ini? Dan berbagai pertanyaan lain dibenaknya. Ini, ini terlalu menyesakan untuk Bima. Ia ingin secara langsung memandang kedua orang itu, melihat sendiri bagaimana keadan mereka. Tok! Tok!! Tok!!! Bima mengalihkan pandangannya pada pintu masuk ruangannya yang diketuk dari luar. Lelaki itu menghembuskan nafas sebelum kemudian memberikan perintah agar orang di luar sana masuk ke dalam. "Masuk!" Tak lama setelah teriakan Bima, seorang laki-laki dengan kacamata masuk ke dalam ruangannya. Dimana saat itu Bima langsung menghampiri dengan segera. Ia dengan segera duduk di kursi kebesarannya dan menyuruh laki-laki tadi untuk duduk di hadapannya. "Bagaimana? Apa sudah ada perkembangan?" Tanya Bima to the point, banyak harapan di dalam nada suaranya. Bima harus menelan pil kecewa saat laki-laki di hadapannya menggeleng pelan. "Belum banyak yang bisa kami dapatkan," ujarnya pelan. Bima menahan geraman amarah, saat lagi-lagi orang suruhannya tak mendapatkan kabar yang ingin Ia dengar. Entah mereka yang terlalu bodoh hingga tak dapat menemukan Nila dan anaknya, atau memang Nila yang pintar bersembunyi. "Lalu apa yang kalian dapatkan? Ini sudah hampir seminggu?" Bima mendesis, merasa muak dengan alasan-alasan yang selalu diberikan dari orang di hadapannya. "Kami membutuhkan waktu lebih, tunggu untuk beberapa minggu--" Brak! Bima langsung menggebrak meja dan bangkit berdiri, matanya berkilat marah. "Beberapa minggu? Kenapa lama sekali? Sebenarnya kalian bisa bekerja atau tidak?!" Teriak Bima mengerang frustasi. Tidak, Ia tidak bisa menunggu selama itu. "Maaf Pak, disini kami juga sedang melacak keberadaan dari istri dan juga anak Anda. Kami takut jika ternyata istri Anda pergi ke luar negeri," jelasnya. "Tidak! Nila tidak mungkin sampai ke luar negeri," Bima menolak pemikiran laki-laki di hadapannya. Kerena Ia yakin Nila tak mungkin sampai pergi ke luar negeri. Ia terlalu tahu perekonomian wanita itu, jadi mana mungkin Nila nekat pergi ke luar negeri. Laki-laki yang memiliki nama James itu bangkit dengan sedikit membenarkan jasnya. Memandang Bima paham. "Baik, akan lebih mudah ditemukan jika ternyata memang benar Istri anda tidak ke luar negeri. Kami akan segera menghubungi Anda, jika sudah ada titik terang." Ujarnya. Bima hanya dapat mengangguk pelan, dengan menahan ledakan amarah. Setelah James berlalu keluar dari ruangannya, Bima berteriak kesal dan memukul meja dihadapannya hingga kaca yang melapisi retak. Menjambak rambutnya frustasi, Bima memilih menarik laci mejanya. Ia ambil selembar foto, foto seorang wanita yang mendekap bayi dalam pelukannya. Melihat itu, air mata Bima tak dapat lagi ditahan. "Kalian dimana sebenarnya?" Lirih Bima mengusap gambar dalam foto itu. Drt... drt... drt... Bima menghapus air matanya saat melihat ponselnya bergetar. Lelaki itu meletakan kembali foto itu di tempatnya. Sebelum kemudian mengambil ponselnya. Dimas Tanpa pikir panjang Bima mengangkat panggilan itu. "Ada apa?" Tanya Bima langsung. Terdengar dengusan dari seberang sana. "Biasa aja dong," Bima tak menyahuti, hingga kembali terdengar tarikan nafas. "Lo serius nggak dateng?" Bima cukup tahu maksud dari pertanyaan itu. "Nggak, atau Gue hanya bakal ngacauin suasana." Lirih Bima, laki-laki itu cukup sadar diri. "Gue tahu, cuman ini pernikahan sahabat Lo. Lo nggak mau ngucapin selamat?" Bima menghela nafas. "Nanti Gue telepon Andre aja," katanya kemudian. Lagi-lagi tarikan nafas itu terdengar. "Oke, Gue pikir tadinya bisa berangkat bareng Lo." Bima mendengus, "apa gunanya cewek-cewek Lo?" Cemoh Bima malas. Terdengar suara tawa dari seberang sana. "Hahaha ... Lo tahu," balas Dimas masih terdengar suara tawa. "Ekhem ... kalau gitu Gue tutup, udah telat kayaknya." Bima hanya berdehem, setelahnya panggilan terputus. Bima mendongak dengan mata memejam, kini otaknya kembali masalah lain yang terjadi yang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD