Kakak Beda Ibu

1602 Words
"Kyaaaa! Yongki hebat!" "Yongki emang keren, ya? Lihat aja! Padahal dia keringetan begitu, tapi tetep kelihatan mempesona. Coba kalo orang lain yang keringetan, pasti jadi jelek!" "Lihat matanya, deh! Kalo dia lagi senyum, matanya ilang tinggal segaris. Imut banget!" "Senyumnya, Ya Allah... hamba meleleh!" "Oh my God! Yongki barusan ngelirik gue!" "Ya Allah, Yongki barusan ngelap keringet. Cool banget!" Yongki tersenyum bangga mendengar itu semua. Bukan salahnya terlahir menjadi sosok seflamboyan ini. Bukan salahnya pula memiliki telinga yang tajam. Saking tajamnya, telinganya selalu peka untuk mendengar pujian siswi-siswi yang mengaku sebagai fans-nya. Lapangan basket sekolah ini outdoor. Letaknya tepat di tengah-tengah sekolah. Suasananya rindang, karena banyak pohon besar yang mengitari lapangan. Membuat angin sepoi-sepoi senantiasa datang. Alhasil, selain untuk main basket, tempat ini juga sering digunakan untuk nongkrong para murid saat jam istirahat atau jam kosong. Apalagi lapangan basket ini dikelilingi bangku-bangku berjajar. Pandangan Yongki tertuju pada seseorang yang duduk sendirian di ujung sana. Seseorang yang sedang fokus dengan layar laptop-nya. "Gimana?" tanyanya agak keras pada seseorang itu. Di saat yang bersamaan, para siswi mulai berdesas-desus, membicarakan interaksi mereka. Sang lawan bicara tak menanggapi. Ia tetap anteng, fokus dengan game-nya. Yongki tersenyum miring karena reaksi anak itu. Reaksi yang sudah diduga oleh semua orang termasuk Yongki sendiri. Melihat Kian duduk tenang, Yongki justru tidak tenang. Ia akan selalu gatal mencari gara-gara seperti ini. Alasannya? Yongki sendiri tak terlalu mengerti. Hanya saja, rasanya sungguh asyik mempermainkan murid yang tak menyimpan minat dalam hal apapun--selain game--seperti Kian. Yongki bahkan rela repot-repot mengambil bola basket ke ruang olah raga, hanya demi bermain-main dengan Kian. Untuk menuruti kemauan hatinya, yang sekali lagi... sungguh aneh. Hasrat usilnya selalu timbul setiap kali melihat Kian. Baik dulu ataupun sekarang, semua sama, tak ada yang berubah. Merasa tak ditanggapi, Yongki melepaskan bolanya. Membiarkan bola itu menggelinding jauh. Dengan sigap, ia mengambil laptop di pangkuan Kian. Kali ini, barulah sang Raja Game bereaksi. "Balikin laptop gue!" Berhasil! "Lo boleh ngambil laptop ini, tapi... lo harus lakuin dulu apa yang gue lakukan tadi." Kian mulai gerah. "Kenapa lo selalu kurang kerjaan, sih?" "Sorry, Kian. Salahin aja tampang lo yang bully-able. Misal tampang lo nggak gitu, mungkin gue nggak kayak gini." "b******k!" singkat Kian, disambut dengan senyuman manis seorang Yongki. Dengan malas, Kian mengambil bola yang sudah berhenti menggelinding. "Kalo cuma dribble sama shoot aja, semua orang juga bisa!" Kian bersiap menempatkan dirinya pada posisi yang tepat. "Wah, Kian nerima tantangannya Yongki!" reaksi-reaksi mulai bermunculan lagi. "Iyaaaaaaa! Kian tinggi banget, Ya Allah!" "Kulitnya putih bersih nggak bernoda. Ternyata ada ya, manusia sesempurna Kian?" "Subhanallah, ganteng banget!" "Andai aja Kian murah senyum, pasti lebih manis, deh!" "Halah, nggak apa-apa. Gitu saja dia udah perfect banget kok. Nikmat Tuhan mana lagi yang lo dustain?" Siswi-siswi itu tak terlalu mempermasalahkan siapa yang lebih mereka suka di antara Kian dan Yongki. Karena mereka bingung harus memilih siapa yang lebih baik di antara keduanya. Intinya bila Kian dan Yongki sedang bersama, itu artinya sedang ada hiburan gratis bagi mereka. Si Tampan dan si Flamboyan sedang saling adu pesona.Melihat mereka berdua dalam waktu bersamaan, rasanya sungguh sangat menyenangkan. Kian mulai men-dribble. Terlihat sekali bahwa ia malas dan terpaksa melakukannya. Kalau bukan demi laptop-nya, ia tak akan sudi. Shoot! Bola masuk. Sorakan semakin terdengar kencang dan berisik. Wajah Kian tetap cool--lebih terkesan sombong sebenarnya. Ia berjalan menghampiri Yongki, bertingkah seolah-olah hendak menyerahkan bola itu kembali pada Yongki. Namun sayang, ketika Yongki hendak menerima bola yang diulurkannya, Kian malah menjatuhkan bola itu. Sebuah senyum penuh kemenangan menghiasi wajah Kian. Tanpa menunggu reaksi Yongki, dengan cepat Kian mengambil laptop-nya, lalu pergi dari lapangan basket. ~~~~~TM : Roll Egg - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~ Suasana hari bebas menjelang libur kenaikan kelas, memang selalu begini. Semua murid bebas melakukan apapun. Bahkan bolos pun tak dilarang. "Yan!" seseorang memanggil Kian. Kian tahu siapa orang yang memanggilnya tanpa harus menengok. "Kenapa?" tanyanya begitu si pemilik suara sampai di hadapannya "Ibu... Ibu masuk rumah sakit," ucap Dion dari atas motor gedenya. Wajahnya terlihat gelisah dan khawatir. "Lagi?" hilang sudah mimik datar Kian. Digantikan oleh ekspresi khawatir seperti Dion. Sejak Kian masuk SMA dua tahun yang lalu, Ibu mulai sering sakit-sakitan. Tapi Ibu tak pernah bercerita secara jelas tentang penyakitnya. Ia hanya terus-menerus menjalani pengobatan. Hingga pada suatu hari, Kian menemukan sebuah map coklat di laci--saat itu ia sedang mencari game-nya yang disembunyikan oleh Dion--di kamar orang tuanya. Map itu berisi hasil pemeriksaan medis Ibu. Ternyata Ibu mengidap Leukemia yang sudah parah. Hanya transplantasi sumsum tulang belakang yang bisa menolongnya. Akhirnya, transplantasi itu dilakukan dengan mengambil sumsum tulang belakang Dion. Keadaan Ibu sempat membaik, namun penyakitnya kembali lagi dalam waktu singkat. Terakhir pengambilan sumsum tulang belakang dilakukan dari Kian. Tepatnya baru sebulan yang lalu. Namun kesehatan Ibu tak menunjukkan perkembangan berarti. Kian dan Dion masuk ke kamar Ibu dalam diam. Terlihat Ibu yang tertidur lelap di ranjang. Dion dan Kian saling bertatapan, sebelum akhirnya memutuskan bahwa Kian-lah yang akan bicara pada Ibu duluan. Mengingat Kian memang lebih dekat dengan Ibu dibandingkan Dion. Kian meraih jemari ibunya. Merasakan seseorang menyentuhnya, Ibu terbangun. Ia tersenyum melihat kedua putranya datang. "Ibu nggak apa-apa, kan?" tanya Kian segera. "Nggak apa-apa, Sayang." Ibu mengalihkan pandangannya pada Dion. "Dion, selamat karena kamu diterima di Colombia," ucapnya pelan. Dion hanya mengangguk sembari tersenyum haru. "Lhoh, jadi lo diterima, Yon?" kaget Kian. Kesannya ia sedang meremehkan sang Kakak. Tapi jujur, ia memang belum tahu bahwa kakaknya diterima di Universitas Colombia. Sejujurnya Kian ikut senang dengan berita itu. Masalah rasa kaget yang terkesan meremehkan,  ia hanya pura-pura. Ia sengaja ingin menggoda Dion. Sejak awal, ia yakin bahwa Dion akan diterima. Mengingat ia sudah berusaha keras untuk meraih mimpinya masuk ke universitas impian itu. "Ya iyalah!" Dion mulai menyombongkan diri. "Otak gue tuh encer. Udah jelas gue diterima." "Wah, gue curiga lo main dukun buat jopa-japu pensil ujian. Gimana bisa Colombia nerima mahasiswa baru nggak jelas macem lo?" "Kian!" tegur Ibu seraya mencubit sayang lengan si Bungsu. Ia selalu gemas dengan tingkah nakal Kian yang hobi menggoda kakaknya. Saat di luar, Kian dikenal sebagai anak yang dingin, tapi saat di rumah, ia hanyalah anak biasa yang sangat usil. Kian dan Dion rutin saling mengerjai satu sama lain. Ironisnya, Dion hampir selalu kalah. "Dion itu kakak kamu, Dek. Panggil dia dengan sebutan Mas!" "Nggak mau, Bu. Mana ada adek yang lebih tinggi dari kakak? Aku juga lebih pinter dari dia." Kali ini Kian berhasil mendapat satu jitakan gratis dari Dion. Memang sudah sejak lama Kian tak mau lagi memanggil Dion dengan sebutan Mas. Selain karena dua alasan yang sudah disebutkan Kian, juga karena sifat kekanak-kanakan Dion yang belum juga hilang termakan usia. Ia masih saja manja. Hal itu sering membuat Kian jengkel, dan gemas ingin menendangnya. "Kian nggak boleh begitu! Harus sopan sama Mas Dion!" tegur Ibu lagi. Dion tersenyum puas karena pembelaan sang Ibu. Tapi... Dion baru sadar bahwa ada yang aneh di sini. Seingatnya, ia belum memberitahu siapapun perihal pengumuman Colombia. "Ngomong-ngomong dari mana Ibu tahu kalau Dion diterima?" "Tentu saja Ibu tahu. Kamu kelihatan sumringah semenjak kemarin. Bukannya kemarin adalah hari pengumumannya?" Dion tersenyum, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia salah tingkah sendiri. Ibu memang selalu peka dengan hal-hal seperti ini. "Ah, seharusnya hari ini Ibu belanja dan masak besar untuk merayakan keberhasilan Dion. Tapi Ibu malah sakit," sesal Ibu. "Kan bisa besok atau lusa, Bu. Sekarang yang penting, Ibu sembuh dulu," jawab Dion. Ibu menggeleng. "Sebentar lagi Ayah datang bawa bahan pesta kecil-kecilan. Kita rayakan semuanya di sini." Ibu tersenyum cantik sekali. Tepat setelah Ibu selesai bicara, Ayah datang membawa banyak sekali kue dan bunga. Sejak Ibu sakit, Ayah memang banyak berubah. Ia menjadi lebih perhatian dan peka. Makanya meskipun sakit, Ibu sekarang jauh lebih bahagia dibanding dulu. Mungkin ini adalah hikmah di balik sakitnya. Ia akhirnya mendapat kasih sayang yang sesungguhnya dari seorang suami. Sungguh tak sia-sia ia bertahan. Meskipun Ibu tetap belum bisa merasakan cinta dari Ayah, tapi dengan rasa sayang yang diberikannya, itu sudah lebih dari cukup. Ia sangat bersyukur atas semuanya. Pesta kecil-kecilan itu terasa hangat dan penuh makna. Diakhiri dengan sesi foto keluarga bersama. Mereka membagikan kue ke kamar-kamar lain yang berada di sepanjang lorong, yang sama dengan kamar Ibu. Senyum seakan tak ingin pergi dari wajah Ibu. Meskipun suasana hatinya sedang kurang baik.  Sejak semalam, ia merasa aneh. Ada yang lain di balik rasa sakitnya. Entah hanya perasaannya, atau ini memang sebuah firasat. Firasat bahwa waktunya tak akan lama lagi. Ibu meraih jemari Kian. Membuat anak itu menghentikan aktifitas bermain game-nya. "Kenapa, Bu?" "Sayang!" lirih Ibu. Suara Ibu terdengar tanpa daya.  Membuat Ayah dan Dion juga menghentikan aktivitas mereka. Kini mereka bertiga berdiri mengelilingi Ibu. "Sayang, karena sebentar lagi Mas Dion ke Amerika, maka kamu yang harus menemui dia." "Dia?" Kian mengulangi pertanyaan Ibu. Ibu memandang Ayah, meminta sebuah persetujuan. Sudah jauh-jauh hari mereka berdua membicarakan masalah ini. Cepat atau lambat, Kian dan Dion memang harus tahu. Maka sebelum semuanya semakin terlambat, Ibu ingin memberitahu mereka secepatnya. "Dia... kakakmu, Sayang. Kakak kalian. Temuilah dia!" lanjut Ibu.  Matanya terlihat berkaca-kaca. Kian menatap bingung pada Dion dan Ayah. Setahu Kian, Dion adalah satu-satunya kakak. Lalu siapa kakak yang dimaksud oleh Ibu? "Kalian sudah besar. Ibu harap kalian bisa mengerti. Kalian memang mempunyai seorang kakak. Dia adalah anak Ayah dengan seseorang dari masa lalunya." Ayah tengah menunduk dalam, tak berani menatap kedua putranya. "Apa maksudnya ini?" Kian terdengar marah. Dion pun terlihat sama. Matanya menatap tajam pada sang Ayah. "Dengarkan Ibu dulu, Nak! Jangan gegabah, Maafkanlah Ayahmu!" "Tapi Bu...." "Lagipula semua ini bukan sepenuhnya salah Ayah kalian. Dulu sebelum menikah dengan Ibu, Ayah sudah memiliki seorang kekasih. Seharusnya Ibu tidak datang dan menghancurkan semuanya. Ibu langsung suka pada Ayah semenjak kami dipertemukan dalam perjodohan." Ibu tersenyum di tengah-tengah penjelasannya. "Jadi, Ibu benar-benar mohon. Ibu tidak menyesal memiliki kalian. Ibu juga tidak pernah menyesal menikah dengan Ayah. Ibu justru sangat bersyukur. Kalian adalah kebahagiaan Ibu. Dan... anak itu... namanya Lintang. "Dia juga memiliki hak untuk bahagia, sama seperti kalian. Oleh karena itu, Ibu mohon sama kamu, Kian. Temuilah dia! Saat Dion libur kuliah nanti, kamu juga harus menemui dia, Sayang!" air mata Ibu akhirnya menetes. ~~~~~ TM : Roll Egg - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         -- T B C --.       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD