BAB 3 - Izin Kuliah

2092 Words
Rasanya Ara ingin sekali loncat ke kolam di belakang rumah. Berenang sore hari dan lupa ingatan tiba-tiba. Ayahnya tiba-tiba sembarangan telepon si Agra dong!! “Kamu belum bangun, Agra? Sudah jam berapa di sana?” Ayah dan ibunya nampak focus dengan putra tampan mereka, sementara Ara berusaha bangkit, lalu kabur. Tapi sayang, “Ara, duduk di sana, pembicaraan kita belum selesai.” Ibunya langsung menghentikan. Menatap Ara tegas, gadis itu tambah kesal. Kembali duduk dengan bibir mengerucut, dan menunggu. Melirik sekilas, Ara baru sadar kalau ayahnya tidak hanya menelpon biasa tapi juga melakukan video call! Astaga. “Mm, sudah jam lima lebih di sini, Ayah. Ada apa tiba-tiba menghubungiku? Apa ada masalah di rumah?” Suara baritone itu kembali terdengar. Agra nampak menghidupkan lampu tidur di dekatnya, memperjelas pandangan di layar. Ruang berwarna temaram dan posisi lelaki itu masih bergulung di atas tempat tidur. “Maaf kalau Ayah mengganggumu. Ayah, hanya ingin mendiskusikan satu masalah penting,” “Masalah penting?” beo Agra bingung. Kali ini kedua orangtuanya menatap Ara kompak. Terdiam sesaat, sampai Imanuel mendehem tipis. “Kau sudah tahu kabar kelulusan adikmu di Universitas Chicago?” “Hm? Sudah ada pengumumannya? Lalu bagaimana? Kalau dia gagal, aku akan belikan boneka nanti,” Seketika suara serak Agra terdengar jelas, lelaki itu nampak membenarkan posisi tidurnya, duduk dan bersender pada headbed. Sementara Ara kembali mendumel, ‘Sialan, belum apa-apa sudah bilang adiknya gagal!’ batinnya kesal. “Coba tanya pada adikmu sendiri,” Tanpa basa-basi Imanuel langsung mengarahkan layar handphone pada Ara. Gadis itu reflek cegukan, dia kaget. Eh, tapi ini kesempatan bagus untuk membujuk Agra agar tidak setuju dengan ide ayah mereka! Membuang rasa kesal dan malunya, Ara mengambil handpnone sang ayah. “Kak Agra, masa ayah dan ibu minta aku tinggal bersama Kakak di sana selama kuliah nanti!” jelas Ara sigap. Ekspresi lelaki itu ikut shock, bahkan ada jeda beberapa detik, “Tinggal bersama? Maksudmu kita berdua?” “Iya! Kakak, pasti tidak setuju ‘kan?! Jelasin sama ayah dan ibu, biar mereka mengerti. Aku inginnya tinggal sendiri di sana, lagipula aku ini ‘kan sudah dewasa!” Mendesak Agra agar satu kubu dan mau membelanya. “Aku bisa mengurus diriku sendiri. Medali bela diri yang aku punya juga sudah banyak!” lanjut Ara penuh semangat. “Ara!” Tidak mengindahkan ucapan sang ibu, sementara Agra terdengar mendesah di seberang sana, dalam keadaan tubuh toples, mengacak rambutnya sekilas. “Benar begitu, Ayah?” tanya Agra pelan. Mengarahkan layar pada ayahnya lagi, Ara tersenyum penuh kemenangan, Imanuel dan Eredesha menggeleng kecil. “Hh, benar, itu rencana awal Ayah. Ibumu tidak setuju Ara tinggal sendiri di sana, berbahaya katanya.” jelas lelaki paruh baya itu, “Kebetulan Ayah ingat kau juga tinggal tak jauh dari Universitas adikmu, jadi ide yang bagus kalau mengajak Ara tinggal bersamamu selama beberapa tahun. Bagaimana menurutmu, Agra?” Menanyakan pendapat putra tunggalnya, Agra terdiam sesaat. “Tinggal bersamaku,” beo lelaki itu sekilas. Menunggu jawaban Agra. Satu hal yang tidak mereka kira tiba-tiba muncul. “Siapa yang menelpon pagi-pagi seperti ini, Ren?” Suara asing ikut masuk ke dalam pembicaraan mereka. Ara melotot dan langsung membalikan layar ke arahnya. Menyipit ke arah temaram lampu ruangan di sana, tapi hanya wajah Agra yang terlihat. “KeluAgraku.” jawab Agra singkat. “Mm, pagi-pagi? Apa ada masalah di sana?” Mereka berbincang sesaat, seolah melupakan ketiga orang di seberang sana. Termasuk Ara yang masih melongo shock. “Tidak ada, hanya masalah adikku saja.” “Hm, adikmu Arabella?” “Ya,” Lalu beberapa detik walau sebentar, Ara melihat bagaimana seorang wanita dengan berpakaian tanktop saja ikut melihat ke arah layar handphone. Kebetulan Ara yang melihat sendiri. “Oh, dia adikmu? Manis sekali, okee silahkan lanjutkan. Aku mau buatkan sarapan dulu,” “Oke.” Pembicaraan mereka selesai. Ara masih shock, maniknya menatap ke arah ayah dan ibu. Tanpa basa-basi menekuk alis kesal. “Ah, ayah dan ibu dengar tadi?! Kak Agra tinggal bersama pacarnya di sana!! Masa aku tinggal sendiri tidak boleh?!” Oke, Ara mulai merasa tidak adil di sini. “Dia tinggal bersama pacarnya dan diperbolehkan?! Sementara aku? Tinggal sendiri saja tidak boleh!” gerutunya lagi. Imanuel mendesah panjang, kalau seperti ini masalah semakin rumit. “Agra, siapa wanita itu? Kenapa kau tidak bilang pada Ayah dulu, apa dia tinggal di sana juga?” tanya lelaki itu. Agra menggaruk tengkuk sekilas, “Hh, iya dia kekasihku, tapi dia hanya sesekali datang dan menginap. Tidak sering,” jelasnya santai. Ara merengut, “Pasti bohong! Ayah, jangan percaya! Pokoknya aku mau tinggal sendiri, aku tidak mau tinggal dengan pasangan kekasih seperti mereka. Bisa –bisa aku malah jadi nyamuk di sana!” tukas Ara kesal. Kali ini ayah dan ibunya kompak diam, berpikir sekali lagi. Mereka tidak ada mempermasalahkan tentang fakta Agra mengajak kekasihnya ikut tinggal di apart karena usia Agra sendiri sudah termasuk matang. Tapi masalahnya, “Kalau kak Agra boleh tinggal sama kekasihnya, itu berarti aku boleh ‘kan mengajak temanku nanti,” Perlahan suara Ara semakin kecil, menunduk malu, “Siapa tahu nanti aku juga tinggal sama kekasihku, hehe,” Polos tersenyum, membayangkan kalau suatu hari nanti dia akan bertemu dengan laki-laki tampan dan menjalin hubungan, Kesempatan Ara dapat pacar bule di sana ‘kan lebih besar. Oh, pintar sekali! “Boleh ya, Ayah?! Aku janji, aku akan belajar yang rajin, terus jaga diri dan berkabar 5 kali 24 jam setiap harinya! Janji!” Semakin mengebu dengan manik menggelora. Melihat ekspresi sang ayah dan ibu yang sedikit bingung, dia hanya perlu mendesak beberapa detik lagi. “Aku janji, ayah, ibu!” “Baiklah,” Kata baiklah berhasil Ia dengar, senyuman Ara hampir melebar. “Ara, akan tinggal bersamaku di sini.” Ha? Manik sang Cassie melirik kaku ke arah layar handphone, bertambah horror saat senyuman tipis muncul di wajah Agra. “Ka-kakak, pasti salah bicara,” ucap gadis itu gugup. Berusaha meyakinkan ayah dan ibunya, “Aku boleh tinggal sendiri ‘kan, aku mohon!!” “Kakak baru bangun, jadi ucapannya ngawur!” tukas Ara kesal. “Kebetulan di Apart masih ada satu kamar besar untuk dia tempati. Ayah, dan ibu tenang saja, aku bisa mengantarnya kuliah nanti.” Seolah meyakinkan kedua orangtua mereka. Ini kenapa Agra tiba-tiba berbalik kubu dan menjadi musuh Ara?! “Tunggu dulu!! Bukannya kak Agra sudah tinggal dengan wanita lain di sana?! Ahh, aku tidak mau jadi obat nyamuk!!” Handphone kini sudah beralih ke tangan sang ayah, Ara tak bisa lagi mengelak. “Kalau begitu Ayah dan ibu titip jaga Ara di sana, Agra.” “Tentu saja,” “Ahh!! Aku ingin tinggal sendiri, hueee!!” Kali ini bukan hanya dua, “Tidak boleh.” Tapi tiga orang menentang permintaan Ara tanpa basa-basi. Ah, sial! *** Apartement Elite Roselly – Amerika – Lantai 30 Pintu kamarnya kembali terbuka, kali ini wanita itu sengaja menghidupkan semua lampu. Sementara Agra masih berkutat dengan handphonenya, Sosok berambut pirang pendek itu berjalan mendekati sang kekasih. Mematikan lampu tidur berwarna orange tadi, dan duduk di pinggir kasur, “Sudah selesai?” tanya sang empunya, sembari mendekat hendak memberi ciuman kecil pada Agra. “Hm, sudah.” Jawaban yang singkat, kecupan di bibir itu tersampir sekilas. Agra masih fokus dengan handphonenya, tidak mengindahkan bagaimana sosok wanita di dekatnya mulai bergerak kembali. “Lalu bagaimana? Apa adikmu benar akan kuliah di sini?” Suara yang tipis, salah satu tangan wanita itu mulai bermain dengan pahatan otot sempurna milik Agra. Menatap fokus, penuh nafsu. Menyentuh pelan, dia perlahan menundukkan tubuh. Hendak mencium otot perut sang Dhanurendra, “Kemungkinan awal bulan Mei dia akan tinggal di sini,” ucap Agra santai. Satu kalimat yang sanggup menurunkan nafsu wanita pirang itu. Merryola Fernand, berstatus sebagai kekasih Agra selama hampir satu tahun ini. Dia baru bisa tinggal bersama Agra saja membutuhkan waktu delapan bulan, setelah membujuk laki-laki itu agar hubungan mereka bisa semakin erat. Wanita cantik berambut pirang itu merupakan sekertaris Agra di cabang utama perusahaan Tanuwijda. Dengan ciri khas tindik kecil di sudut bibir kanan dan rambut berwarna pirang. Memiliki dua kewAgranegaraan karena pernikahan ayah dan ibunya. Antara Indonesia dan Amerika. Membuatnya fasih berbicara dengan kedua bahasa tersebut. Tapi sekarang? Ada rasa tak suka datang, “Dia tinggal bersama kita di apartement ini?” tanya wanita itu ulang. Fokus Agra terhenti, menatap balik wanita pirang di dekatnya, “Kenapa? Kau ada masalah dengan keputusanku?” Terdiam sesaat, “Tapi bukannya dia sudah dewasa? Kau bilang usianya menginjak 20, tahun ini? Dibandingkan tinggal bersama kita, Arabella bisa mencari tempat tinggal yang lebih dekat di Universitasnya.” jelas Merry pelan, “Ayah dan ibuku tidak setuju,” Berpikir kembali, “Hm, mungkin aku bisa membujuk mereka. Aku sudah tinggal cukup lama di sini, jadi aku tahu bagaimana keamanan di negara ini. Untuk masalah tempat tinggal, kau bisa menyerahkan ini padaku,” Dengan senyuman kecil, Merry berharap kalau bujukannya itu akan berhasil, sebelum kalimat terakhir yang Ia ucapkan mampu membalik semua ekspresi tenang Agra. “Lagipula, Arabella ‘kan sudah dewasa. Jika dia menemukan kekasih di sini, mungkin saja mereka akan tinggal bersama.” Kini bergerak mendekat, Merry sengaja menyenderkan tubuhnya pada d**a bidang Agra, “Seperti kita berdua,” lanjutnya. “Kau tidak mau ‘kan mengganggu hubungan Arabella dengan kekasihnya nanti?” Tiba-tiba, tanpa berucap apapun Agra menarik tubuh Merry darinya. Dalam hitungan detik, pandangan mereka bertemu dalam jarak dekat. Manik abu Agra menatapnya tajam, “Jika kau masih mau melanjutkan hubungan ini, lebih baik kau jauhi urusan keluAgraku, paham?” Nada baritone yang tegas dan dingin masuk ke dalam telinga Merry. Tubuh wanita itu menegang kaku, hal yang selanjutnya terjadi. Agra bergegas mendorong tubuh Merry ke tempat tidur. “Ahk!” Melihat sosok tegap itu berdiri memperbaiki rambut dan mengambil baju tidurnya. “Keputusanku sudah bulat, bulan Mei nanti Arabella akan tinggal bersamaku di sini.” tegas sang Dhanurendra Melirik tajam Merry, “Kalau kau keberatan, aku tidak peduli sama sekali,” Meneguk ludah sekilas, napas Merry terengah kaget, menatap sosok tegap sang Dhanurendra bingung. Dia yang awalnya membeku, langsung saja berdiri cepat. “Baiklah!” Memeluk erat punggung lebar itu dari belakang, “Aku tidak akan ikut campur lagi. Arabella, boleh tinggal di sini. A-aku hanya memberi sedikit saran tadi, maaf Ren.” Nada suaranya terdengar gugup. “Kau tahu ‘kan aku sangat mencintaimu, Ren?” ucap Merry sekali lagi, menutup manik sembari menghirup aroma Agra yang begitu memabukkan. Tanpa menjawab ucapan Merry, Agra hanya bisa mendesah. Membalikkan tubuh dan membalas pelukan Merry dengan manik kosong, lelaki itu mencium puncak kepala sang kekasih. “Aku tahu,” “Kau juga mencintaiku ‘kan, Ren?” Menengadah dengan manik redup, tatapan dingin Agra sama sekali tidak berubah. Suara datar itu berucap singkat. “Tentu saja,” Hal yang selanjutnya terjadi adalah bagaimana bibir mereka saling menyatu, bermain lidah, dalam tempo cepat. Hingga Merry tidak bisa menyamakan permainannya dengan Agra, “Mnhh! A-agrha,” Napasnya terengah, wajah memerah, pelukan Agra semakin kuat, cengkraman di pinggang dan pipi itu membuat Merry lemas seketika. *** Sekelebat bayangan seorang gadis terlintas dalam pikiran Agra. Tidak berubah sejak dulu, bahkan hingga detik ini. Wajah manis nan polos yang menatapnya bingung, ‘Mnhnn, kak Agra, jangan-hhh- di sana. Ka-kakak, mau apa?’ Bagai tertampar, bayangan itu sanggup membuat nalar Agra kembali datang. Mendorong tubuh Merry yang kini sudah setengah lemas, wajah wanita itu sudah memerah panas. Maniknya dipenuhi kabut napsu, saat Merry hendak melanjutkan kegiatan mereka, Agra menghindar, tubuhnya bergerak menjauh. “Maaf, hari ini sepertinya tidak bisa.” tukas lelaki itu singkat. Tanpa memikirkan reaksi Merry, dia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Mengunci dirinya di dalam sana, Hari ini untuk kesekian kali, tubuh tegap itu menyender pada pintu. Menutup setengah wajah yang memerah, dengan napas terengah berusaha membuyarkan pikirannya tadi. ‘Sialan! Kenapa pikiran itu tidak pernah hilang dari dulu!’ batin lelaki itu berulang kali. Padahal bayangan tadi hanya sekedar mimpi liar belaka yang selalu muncul di mimpinya. Kedua manik Agra tak sengaja melirik tepat ke arah mahkota miliknya. Celana boxer itu kini nampak menyembul di satu sisi, tidak bisa Ia hentikan. Sebenarnya apa yang Ia bayangkan tadi? Menampar cepat salah satu pipi, meninggalkan ruam kemerahan. Agra berjalan menuju wastafel, melihat pantulan dirinya di depan kaca. Manik abu berkabut dan ekspresi yang sanggup membuatnya jijik. ‘Dia itu adikmu, Agra. Ingat!’ Walaupun mereka tidak ada hubungan darah sama sekali. Tapi status sebagai kakak adik sudah tercetak selama bertahun-tahun. Ia kira menjauhi Ara adalah satu-satunya cara, Tapi ternyata semua itu tidak cukup, “Menjijikan,” Jatuh cinta pada adik tirinya sendiri. Satu hal yang tidak bisa Agra kendalikan bahkan sampai sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD