Broken Heart

1095 Words
Seorang gadis berusia 24 tahun memperhatikan penampilannya di depan cermin dengan toga hitam yang menutupi gamis pink pastelnya. Wajahnya yang telah dirias tipis terlihat semakin cantik saja. "Masya Allah, anak gadis Bunda cantik banget!" puji Nayyara sembari tersenyum. "Aku cantik karena darah Turki Ayah," kelakar gadis itu. "Tapi sayangnya mataku gak kayak Ayah, cuma kakak kembarku aja yang matanya kayak Ayah." "Emira tetap anaknya Bunda yang cantik," ucap Nayyara. "Tentu dong! Aku tetap lebih suka sama mataku karena mirip sama yang Bunda punya," balas Emira. "Ayo turun! Aku gak sabar ke kampus nih!" "Benar itu! Jangan sampai acara wisuda dimulai sementara salah satu wisudawannya malah masih di rumah!" tandas Nayyara seraya menggenggam tangan sang putri bungsu agar bergegas keluar dari kamar. Emira Syahinaz Maqil, putri bungsu dari Hazig dan Nayyara berhasil menyelesaikan pendidikan magisternya di bidang Sejarah dan Peradaban Islam di usianya yang masih muda. Gadis itu memang memiliki cita-cita yang berbeda dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Bila Mirza sukses dengan bisnis kuliner yang telah ia kelola sejak lulus SMK, Azzam sebagai pewaris perusahaan sang ayah, dan Azzura sebagai dokter spesialis anak yang telah memiliki klinik sendiri atas dukungan suaminya, Emira memilih mengikuti jejak sang ibu yang dahulu dikenal sebagai dosen cantik dan berprestasi. Namun, bidang yang ia pilih berbeda dengan sang ibu yang merupakan pakar bahasa dan sastra Arab. Emira memasuki mobil sang ayah. Ia yang hendak duduk di belakang dicegah langsung oleh Hazig. "Kenapa, Yah? Biasanya kan Ayah duduk di samping Pak Furqan." Emira mengernyit bingung. "Ayah lagi pengen nempel terus sama Bunda," jawab Hazig dengan senyum tengilnya. "Hah, Ayah kumat lagi!" Emira mencebik, akan tetapi gadis itu tetap menuruti permintaan sang ayah yang memang dikenal sangat posesif terhadap sang bunda. Setelah memasang sabuk pengaman, Furqan, sang sopir keluarga Maqil mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju kampus tempat Emira menuntut ilmu. *** Seorang pria menatap penuh kekaguman pada sosok gadis yang kini menerima penghargaan sebagai wisudawan terbaik dari sekolah pascasarjana atas prestasinya yang berhasil menyelesaikan pendidikan S-2 dalam kurun waktu hanya satu tahun sembilan bulan. Sosok yang sebenarnya sangat ia cintai dan berniat untuk ia nikahi tahun ini setelah pendekatan selama beberapa bulan terakhir. Lamarannya pada keluarga gadis itu pun sudah diterima dengan baik dan mereka berencana akan membicarakan tentang pernikahan setelah gadis itu wisuda. "Alvaro!" Seorang wanita berjilbab merah dan gamis hitam yang menutupi auratnya terlihat kesal karena tatapan sang suami. "Apa sih?" Alvaro menatap tajam wanita yang berdiri di sampingnya. "Ingat tujuan awal kita ke sini, ya! Gak usah kamu tatap-tatap Emira kayak gitu!" "Ck, kamu tahu kan kalau cuma Emira yang aku cintai, Julie! Jadi, jangan merasa kalau aku menikahimu karena aku cinta sama kamu!" desis Alvaro. "Terserah! Aku hanya gak mau bayi ini lahir tanpa ayahnya! Lagi pula apa hebatnya sih Emira? Aku jauh lebih cantik kok daripada dia!" ucap Julie ketus. "Kamu ini sahabatnya, Julie! Seharusnya kamu gak sampai hati menyakitinya dengan merayuku untuk menyentuhmu! Dia gadis baik-baik dan gak murahan, beda sama kamu!" balas Alvaro. "Tapi ujung-ujungnya kamu pun terpesona sama wanita yang kamu anggap murahan ini, kan?" sindir Julie. Alvaro pun diam. Ya, itulah kesalahannya. Hanya karena ia tak mampu menahan dirinya, ia sampai tega mengkhianati calon istrinya. Ia berzina dengan Julie beberapa kali sampai akhirnya Julie hamil dan memintanya bertanggung jawab. Kini ia sudah menikah dengan Julie sejak sebulan yang lalu, tanpa sepengetahuan Emira sama sekali. "Jangan membuat drama di acara besar seperti ini!" Tubuh Alvaro menegang sembari menelan salivanya susah payah. "Hai, Emira! Selamat, ya!" ucap Julie tanpa merasa bersalah sedikit pun. Emira menatap datar pasangan yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi berbeda. Alvaro terlihat sendu, sedangkan Julie lebih santai namun tangannya memeluk erat lengan Alvaro seolah takut Emira akan merebutnya dari sisinya. Alis Emira terangkat sebelah, berusaha menyembunyikan kemarahan sekaligus kesedihan atas apa yang ia dengar tadi sejak turun dari panggung untuk menerima penghargaan dari rektor. Emira yang berniat ke toilet setelah turun dari panggung mengalihkan perhatiannya pada pasangan yang sangat ia kenali yang tampak sedang berdebat. Karena rasa penasarannya, ia pun mendekat tanpa suara hanya untuk mengejutkan mereka. Namun, sayangnya malah ia yang terkejut di sini. Sahabatnya sedang hamil dan calon suaminya adalah ayah dari janin dalam rahim sahabatnya. "Emira, aku bisa menjelaskannya!" sergah Alvaro. "Menjelaskan apa, Mas?" Emira berdecak sinis. "Drama kalian baru saja sudah menjelaskan semuanya tanpa kalian sadari." "Emira, maafkan aku!" pinta Alvaro dengan tetap berusaha menahan air matanya. Dahulu Emira akan luluh dengan tatapan Alvaro. Namun, sekarang terasa berbeda. Ia tidak akan pernah luluh lagi karena mulai saat ini pria itu bukan calon suaminya lagi. Emira memilih meninggalkan mereka dan bergegas ke toilet agar ia bisa menumpahkan seluruh amarahnya di dalam sana. Tentu saja ia tak ingin ditatap iba oleh seluruh tamu undangan acara tersebut hanya karena drama murahan seperti itu. "Berengsek kalian! Aku benci Julie, aku benci Alvaro!" teriak Emira sekeras mungkin. Sementara di tempat lain, Hazig menghampiri Alvaro dan menarik lengan pria itu agar keluar bersamanya. Julie pun terlihat histeris, akan tetapi Nayyara menariknya untuk menyusul sang suami dan Alvaro di tempat yang jauh dari keramaian. Begitu berada di tempat yang mereka inginkan, Hazig memberikan satu pukulan di wajah Alvaro, sedangkan Nayyara menampar wajah Julie. Bisa saja ia memberikan satu jurus karate pada mantan sahabat putrinya itu, akan tetapi ia masih menggunakan perasaannya untuk tidak menyakiti wanita yang sedang hamil. "Kau benar-benar berengsek, Alvaro! Belum sebulan saya menerima lamaranmu dan sekarang kau melukai perasaan putriku!" sentak Hazig. "Ayah, maafkan-" "Jangan panggil saya Ayah!" potong Hazig. Sementara Julie hanya bisa tertunduk malu. Ia tak menyangka Nayyara akan setega itu menamparnya. "Apa salah putriku padamu, Julie?" tanya Nayyara dengan nada dingin. "Tante, aku minta maaf," cicit Julie. "Katakan saja apa salah putriku padamu!" Nayyara tak mampu lagi menahan amarahnya. "Bunda, ada apa ini?" tanya Mirza yang menyusul orang tuanya diikuti oleh Azzam dan Franklin. "Dua orang ini sudah berkhianat di belakang Emira," jawab Hazig seraya membenarkan jas abu tua yang sempat tersingkap. Mereka bertiga menatap Alvaro dan Julie secara bergantian, kemudian mendengus bersamaan. "Kami sudah tahu tentang pernikahan mereka, Ayah," kata Mirza. "Kalian tahu dari mana?" tanya Nayyara. Azzam tersenyum sinis ke arah Julie. "Salah satu sepupu Julie yang merupakan juniorku di kampus dulu mengirimkan foto mereka di depan penghulu," ungkapnya. Nayyara semakin geram. Sekali lagi, wanita paruh baya itu memberikan tamparan di pipi Julie. "Kau sudah ku anggap seperti putriku sendiri, tapi kau justru melukaiku!" sentak Nayyara. "Tante, aku-" "Sebaiknya kita tinggalkan mereka, Ayah, Bunda!" sela Emira. Mirza segera menghampiri gadis itu dan memeluknya. "Kamu jangan khawatir, Dek!" bisik Mirza. "Cowok seperti Alvaro gak pantas ditangisi!" "Aku hanya sedang memulihkan rasa sakit di hatiku, Kak. Itu aja!" tandas Emira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD