Part 1 Kelana Rekso Putri

2067 Words
Kelana membuka matanya perlahan, merasakan dingin yang menyergap bahu atasnya yang terbuka. Dia naked, hanya memakai selimut saja sampai dadanya. Efek kecapaian semalam, tak sempat lagi memakai baju setelah olahraga malam. Ada sebuah suara dengkuran halus di belakang kepalanya. Sebuah tangan kekar melingkari tubuhnya. Memeluknya erat, seakan takut dia akan lari. Perlahan Kelana membalikkan tubuhnya, menghadap ke laki-laki yang juga tanpa busana yang ada di depannya. Diperhatikannya wajah tampan itu. Lelap sekali tidurnya. Dia tak heran, semalam bahkan sampai dua ronde sebelum akhirnya mereka kelelahan. Untunglah ini hari Sabtu, jadi mereka masih bisa bersantai bahkan setelah sholat subuh masih bisa melanjutkan tidur. Aah ya, sholat subuh! Dia, maksudnya mereka, belum mandi janaba. Ditepuknya pipi lelaki itu - suaminya - perlahan. "Mas... bangun... bentar lagi adzan subuh loh. Belum mandi janaba kita. Mas..." "Euuum... bentarrr lagiii. Masih ngantuk." Kembali tangan kekar itu malah merapatkan pelukan di tubuh Kelana. "Bubu lagi Lana... five more minutes ya! Aku mau peluk kamu dulu." Suara serak khas bangun tidur, keluar dari mulut lelaki itu. Bukannya melanjutkan tidur, lelaki itu malah menggesekkan dagunya yang ditumbuhi rambut halus - belum dicukurnya - ke bahu polos istrinya, yang akan bangkit dari tidurnya. Membuat istrinya tertawa geli dan memukulinya pelan. Gemas! "Mas... aku mau mandi dulu. Nungguin mas mah bakalan lewat sholat qobliyah subuh kita! Ingat loh, pahalanya lebih dari dunia dan seisinya!" Kembali Kelana bawel karena suaminya malah menarik tubuhnya ke pelukannya. "Iya... iyaa bu ustadzah... Kamu mau mandi dulu atau bareng?" Mata suaminya terbuka. "Aku duluan ya, kalau barengan mas bakalan gak jadi mandi deh." Kelana segera bangun, memakai bathrobe dan segera ke kamar mandi. Sementara suaminya kembali memejamkan mata. Lumayan bisa nambah sekitar lima belas menit. Hingga akhirnya dia merasa tubuhnya bergoncang pelan. Dia melihat ke arah Kelana, harum sabun dan shampoo menguar dari tubuh seksi istrinya. Sayangnya Kelana sudah berpakaian lengkap bahkan sudah pakai mukena. Sigap, sebelum diomeli lagi, lelaki gagah itu segera berdiri dan menuju ke kamar mandi. Membuat istrinya menutup mata karena dia nekat bangun dengan tubuh naked. "Gak usah tutup mata, Lana... kamu sudah lihat aku sampai ke yang paling rahasia sekalipun. Bahkan sudah kamu pegang-pegang, kamu jilat-jilat, kamu kulum-kulum, kamu isep-isep. Sudah hampir dua tahun loh!" Kata suaminya sambil terkekeh, melihat kelakuan Kelana yang masih suka tersipu melihatnya tanpa busana. "Mas..!!!" Sontak Kelana menjerit dan melotot ke arah suami tampannya itu. Kelana Reksoputri. Anak ketiga keluarga Rekso, dan satu-satunya putri di keluarga Rekso. Pengusaha yang menggurita di bidang perkebunan dan agrowisata. Bidang usaha lainnya, ada beberapa, tapi tak sebesar usaha utama itu. Jangan ditanyakan limpahan kasih sayang orang tua dan kedua kakaknya. Terlahir dengan jarak yang terpaut lima tahun dari kakak kedua, dan tujuh tahun dari si sulung - jangan lupakan pula sebagai satu-satunya putri - membuat Kelana dimanja. Tapi beruntung, mempunyai seorang mama yang sangat disiplin, dengan tata krama khas darah biru, membuat Kelana tidak hidup dalam kemanjaan. Ya..., dia tetap dimanja dalam artian permintaan yang masuk akal pasti akan dipenuhi oleh keluarganya, dengan syarat dia harus berusaha terlebih dahulu untuk itu. Termasuk menikah dengan Adjie, lelaki pilihannya. Yang sudah dia jatuhi hati dari semenjak memakai seragam merah putih. Sekolah dasar??? Iya... sejak dia masih kelas lima SD, dia sudah terpesona pada Adjie. Adjie adalah teman dekat kakak tengahnya. Sering main ke rumahnya yang super luas. Saat itu Adjie dan Kak Dwi - kakak tengahnya- sudah kelas dua SMA. Sudah memakai seragam putih abu-abu. Dwi sering mengusilinya - tentu saja saat si sulung tak ada di rumah, karena mereka begitu segan pada si sulung yang sangat protektif pada Kelana. Dan saat dia yang saat itu masih kecil hanya bisa menangis karena kesal, langsung terdiam dan terpesona karena lelaki itu, Adjie, akan langsung menghiburnya. Berjanji akan memarahi kakak usilnya itu. Sejak saat itulah Kelana memantapkan hatinya untuk jatuh cinta pada Adjie. Entah bagaimana caranya kelak, dia akan menikah dengan lelaki pujaannya itu. Kelana bahkan sampai mau belajar masak karena tahu Adjie suka sekali masakan Indonesia. Dia akan tersenyum bangga jika Adjie memuji hasil masakannya. Bahagia, tentunya, dipuji oleh orang yang kamu suka. Tapi rasa suka itu hanya bisa dia simpan baik-baik. Memendam rasa suka dari semenjak memakai seragam merah putih, tentu saja hanya dianggap angin lalu oleh Adjie. Hello... Beda umur lima tahun, sehingga Adjie hanya menganggap Kelana sebagai adik kecil. Lagipula dia tahu diri, siapa dirinya, siapa Kelana. Dia memang bukan berasal dari keluarga miskin, tapi tetap saja, perbedaan status itu nyata adanya. Rasa yang dianggap angin lalu, bahkan malah dijadikan bahan candaan, bahan guyonan oleh Kak Dwi, juga Adjie, membuat Kelana minder. Dia yang sebenarnya anak yang supel, menjadi tertutup jika Adjie main ke rumahnya. Apalagi semenjak dia memakai seragam putih abu-abu. Dwi semakin iseng padanya. Semakin membuatnya kesal, bahkan dia sering menangis diam-diam, karena sekarang Adjie tak bisa menghiburnya lagi. Dia sudah besar, sudah bukan anak kecil lagi yang bisa langsung dibujuk jika menangis. Hingga suatu saat, Dwi dengan nada bercanda berkata bahwa Adjie, yang saat itu juga ada di depannya, tak mungkin suka pada gadis bertubuh kurus tinggi bak tiang listrik sepertinya, karena Adjie sudah punya pacar, cantik jelita, bodi bak gitar Spanyol. Tentunya Kelana shock. Berlari menangis menuju kamarnya, dan tak sengaja menabrak Mas Bram, si sulung, yang radarnya langsung bekerja. Tak terima melihat adik kesayangannya menangis tersedu. Tapi juga tak mendapat alasan kenapa Kelana menangis. Hingga Bram akhirnya bertanya pada Dwi dan Adjie. Yang tentu saja keduanya juga tak tahu kenapa. Tapi Bram sudah merasa keanehan sikap adik bungsunya tiap kali berada di dekat Adjie. Hingga akhirnya Kelana memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Auckland, kota yang relatif Islami walau di benua lain. Demi menghindari lelaki yang dia suka. Dengan harapan, dia bisa melupakan bahkan menghilangkan rasa itu. Dua tahun di negeri orang, Kelana mendengar kabar bahwa ayahnya Adjie meninggal mendadak karena serangan jantung. Kelana memutuskan untuk pulang dan menghadiri pemakamam itu. Dia mendengar kabar penyebab meninggal mendadak ayah Adjie karena ada rekan bisnis yang curang. Perusahaan kecil milik keluarga mereka menjadi goyah. Tak bisa menahan hal itu membuat ayahnya Adjie sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Kelana saat itu sudah menjadi gadis muda. Sudah pintar merawat diri. Badannya sudah lebih berisi, tak sekurus dulu lagi. Tapi tetap saja, kehadirannya masih tak dianggap ada oleh Adjie. Kelana melihat seorang gadis cantik jelita, selalu bersama Adjie dari semenjak di rumah hingga pemakaman usai. Tangan mereka selalu bertaut, tak terpisahkan. Gadis itu sepertinya sangat memahami kondisi Adjie yang terguncang karena kehilangan ayahnya mendadak. Saat itu Kelana merasa kalah. Dia masih tak dianggap ada oleh Adjie. Akhirnya dia tahu kenapa sebabnya. Hati Adjie sudah dimiliki oleh perempuan lain. Tapi takdir ternyata berkata lain. Toh akhirnya mereka bisa menikah juga. Tentu saja berkat campur tangan Dwi, dan Pakde Joko, kakak ayahnya Adjie. Kelana tak tahu apa sebabnya hingga akhirnya Adjie mau menikahinya. Hatinya sudah bungah, melimpah bahagia. Dia akhirnya akan menikah dengan lelaki pujaannya. Lelaki impiannya, semenjak sepuluh tahun lalu. Sekarang mereka menikah sudah hampir dua tahun. Pernikahan yang bahagia menurut Kelana. Karena Adjie termasuk tipe lelaki yang tak neko-neko. Lurus-lurus saja, Insya Allah. Itulah mengapa papanya mempercayakan salah satu anak usaha pada Adjie. Kehidupan rumah tangga mereka tenang, damai. Adjie menghormatinya, sebagai seorang istri dan perempuan. Begitu pula dia sungguh menghormati Adjie. Hanya ada yang kurang. Celoteh anak kecil! Mereka belum dikaruniai anak. Layaknya perempuan pada umumnya, biasanya akan menjadi pihak yang paling disalahkan, yang paling dicurigai jika belum juga hamil. Itu juga yang dialami Kelana. Padahal mereka juga sudah ke dokter. Yaah.. memang sih pada akhirnya anak adalah karunia Tuhan. Hak prerogatif-Nya, untuk dipercayakan pada siapa karunia itu. Kelana sempat pernah hamil, tapi keguguran. Kalau kata orang-orang, hamil anggur. Jadi mama papanya, kedua kakaknya tentu saja, akan tak terima jika Kelana terus disalahkan. Kelana tidak mandul. Adjie juga tidak mandul. Memang belum rizki mereka saja. Harum masakan yang menguar dari arah dapur, akhirnya membuat Adjie mau tak mau mendatangi istrinya yang sedang sibuk. Kelana adalah ratu dapur rumah mereka. Tak pernah ada yang boleh masuk dapur mereka tanpa seizin Kelana. Dia bisa marah besar karena itu. Sekarang dia sudah jago masak. Adjie hanya tinggal bilang ingin makan apa, maka Kelana akan langsung menyiapkannya. Jika Kelana belum bisa masak apa yang dia inginkan, dijamin istrinya itu akan berkutat keesokan harinya untuk praktek resep online. Tentu saja Adjie senang. Kelana itu paket lengkap. Cantik, seksi, pintar, setia, sholeha dan anak orang kaya. Dia beruntung sekali menjadi suami Kelana. Tak ada yang kurang dari Kelana. Istrinya itu, begitu sempurna. Justru kekurangan berasal dari dirinya. Cinta! Yaa... sampai sekarang mungkin belum ada rasa cinta di hatinya untuk Kelana. Padahal mereka menikah sudah hampir dua tahun. Hatinya sudah tertutup untuk cinta dari perempuan manapun, bahkan jika itu sesempurna Kelana. Cintanya pergi tepat sebelum pernikahannya dengan Kelana diresmikan. Bukannya dia tak berusaha. Dia sungguh telah berusaha menghadirkan rasa cinta itu, tapi nihil. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda kehadirannya di hati. Dia juga ingin mencintai Kelana, seperti perempuan itu mencintainya, bukan hanya karena ingin membalas pamrih atas budi dan jasa yang telah diberikan keluarga Rekso kepada keluarganya. Adjie memperhatikan Kelana yang tampak konsentrasi penuh pada masakan. Dari belakang, bodi Kelana sungguh menggoda iman. Dia hanya tak menyangka Kelana akan bertransformasi menjadi perempuan cantik dan seksi. Tetiba dia ingat Kelana saat masih memakai seragam merah putih. Kelana yang selalu menangis karena diisengi Dwi. Kelana yang bahkan masih bau kencur saat itu, tapi pipinya memerah kalau dia membujuk dan memujinya. Kelana yang dia tahu memendam rasa suka padanya dari semenjak kecil. Kelana yang tinggi kurus, supel dan energik, tapi akan langsung berubah kikuk saat bertemu dengannya. Entah bagaimana gadis kecil kurus itu bisa berubah menjadi perempuan cantik, seksi dan menggoda iman laki-laki normal. Dia yang awalnya menolak menikahi Kelana, akhirnya jadi setuju. Toh sama sekali tak ada ruginya jika menikahi Kelana. Mengendap, Adjie mendekati Kelana dan hup... dipeluknya Kelana dari belakang. Membuat Kelana sempat menjerit karena kaget. "Mas!!! Ngagetin aja deh..." "Eummm... harum banget istriku ini." Kelana merinding karena Adjie menciumi leher belakangnya yang terbuka karena rambutnya yang panjang dikucir kuda. Tadi selesai subuhan mereka masih sempat melakukan satu ronde lagi, walhasil membuat mereka tidur karena kelelahan dan Kelana gubrak gubruk menyiapkan sarapan. Adjie terbiasa sarapan berat. Nasi plus paket lengkap. Sedangkan dia karena sempat tinggal lama di Auckland, membuatnya kadang bisa sarapan roti atau s**u atau apapun yang penting perutnya terisi. "Masak apa sih? Baunya enak banget." Adjie penasaran karena harum masakan menggoda cacing-cacing di perutnya. Mereka sudah berolahraga berat dari semalam, dan tentu saja sekarang dia butuh asupan energi untuk mengembalikan stamina. "Aku masak nasi liwet sunda. Udah matang kayanya deh. Bentar ya dicek dulu." Kelana bergegas menuju penanak nasi. Matanya bersinar cerah karena nasi liwetnya sudah matang. "Taraaaa.... Sudah matang nih mas. Aku siapin dulu ya. Eeh atau Mas mau minum kopi dulu?" "Enggak, mau langsung makan aja. Laper banget Lana... butuh asupan energi buat ganti yang semalam." Wajah Adjie tampak memelas, kelaparan. "Lagian mas juga sih, minta nambah. Habis subuhan masih minta juga. Jadi lapar kan?" Kelana mengusap mesra pundak suaminya yang sudah tak menghiraukannya lagi, karena sibuk dengan sarapan di depannya. Sarapan Nasi liwet Sunda lengkap! Ikan asin peda, sambal pedas, tahu tempe goreng, plus lalapan dan kerupuk. Bahkan air liur Adjie sudah menetes sedari memeluk Kelana tadi. "Enaaak Lana. Kalau sudah pensiun nanti kita buka usaha katering aja yuk." Kata Adjie sambil sibuk mengunyah. Kelana tersenyum saja. "Asalkan sama Mas dan halal, oke aja aku." Usai sarapan dan beberes meja makan, mereka duduk santai di ruang tengah sambil nonton televisi. Mumpung hari Sabtu, jadi bisa santai, gak grusa-grusu layaknya hari kerja, terutama Senin. "Hari ini kita mau kemana?" Tanya Adjie sambil mengecup mesra kepala Kelana yang menyender di dadanya. "Di rumah aja ya? Bantuin beberes rumah." Ponsel Adjie bergetar. Dilihatnya nama penelpon. Ibu. Setelah berbincang sebentar, Adjie menoleh ke arah Kelana. "Lana, jangan lupa minggu depan kita mudik ke Solo ya. Acara aqiqah anak ketiga Mbak Retno." Satu hal yang Adjie tahu, Kelana tak begitu suka pulang ke kampung halamannya. Dia tahu kenapa, pasti karena akan ditanya kapan hamil. "Cuma sebentar kok. Kita berangkat Sabtu pagi dan pulang hari Minggu malam. Gak papa ya sayang?" Bujuk Adjie lembut.  Adjie tersenyum senang karena istrinya itu pasti akan menuruti keinginannya, walau dia tahu, terkadang Kelana harus pandai menyembunyikan emosi di depan keluarga besarnya. Yang Kelana dan Adjie tak tahu, kepulangan mereka kali ini akan mengundang badai di kehidupan rumah tangga mereka. Kekokohan pernikahan mereka akan diuji. Dan sepertinya Adjie tak mampu mempertahankan apa yang seharusnya dia pertahankan, yaitu Kelana, istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD