Bagian 1

956 Words
Mata lelaki tampan berusia 27 tahun itu membulat sempurna, bahkan makanan yang tengah dikunyahnya hampir menyembur keluar mengenai lelaki lain yang kini tengah duduk di hadapannya. "Kamu gila Bang?!" tanya Hanan dengan volume cukup tinggi membuat dua perempuan yang ada di sekitar mereka tersentak kaget. Namun, sepertinya lelaki itu tak mempedulikannya ia sibuk dengan rasa terkejutnya akibat kata yang diucapkan oleh lelaki yang dipanggilnya bang tersebut. Galih mengembuskan napas pasrah, ia sudah tahu konsekuensinya akan seperti ini, tetapi ia terpaksa melakukannya, bukan atas kehendaknya sendiri. "Hanya kamu yang bisa menolong aku dan istriku, tolonglah kami." Galih memelas. Hanan menggelengkan kepala tak tega melihatnya, hatinya tak menentu kini, sebuah kegilaan sedang menghampirinya. "Tanpa diminta pun, aku tetap akan menjaga Tasha sebagaimana aku menjaga keponakan-keponakanku dan anak-anakku. Walaupun tidak ada tali kekerabatan di antara kita, aku sudah menganggap kalian saudaraku sendiri!" Ia menahan napas sejenak sembari memejamkan matanya erat, kemudian mengembuskannya kembali seraya membuka mata menatap lelaki yang lebih tua 10 tahun darinya itu. "Kalian ingin menitipkan Tasha kepadaku, tentu aku tidak akan menolak, aku akan menjaganya dengan baik, lalu apa masalahnya, apa yang kalian takutkan?" Napas Hanan memburu, sedangkan Galih masih dengan wajah memelasnya. Lelaki yang sudah dianggapnya sebagai adik, tidak akan mengerti bagaimana perasaannya, ia tengah kebingungan, ketakutan tengah mendominasi dirinya, ia kehilangan akal. Kerutan di sekitar wajahnya tak mencerminkan usianya sekarang, hasil dari beban pikiran yang semakin hari kian bertambah. "Aku tahu kalau kamu mampu menjaga Tasha dengan baik demi kami, tapi Hanan, aku dan Karina akan pergi sangat lama, aku perlu orang yang benar-benar akan menjaganya dengan baik, aku juga perlu orang yang bisa membimbing dan mendidiknya, aku memerlukan itu, Hanan. Apa kamu pikir hanya menjaganya saja tanpa menikahinya, kamu akan dengan suka rela mendidik dan menbimbing dia, tidak Hanan, aku sangsi bahwa kamu akan melakukan itu. Jadi, tolong, nikahilah Tasha." Galih tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk supaya Hanan mau menikahi putri satu-satunya yang ia miliki. Hanya Hananlah harapannya, hanya ialah satu-satunya orang yang Galih percaya di muka bumi ini, hanya Hanan, ia bahkan tidak mempercayai dirinya sendiri untuk menjaga putrinya. Hanan sungguh bingung dengan posisinya saat ini, Galih dan Karina menyuruhnya untuk menikahi anak mereka, sedangkan mereka tidak mengizinkan ia untuk mengetahui permasalahan apa yang tengah menerpanya, ini sungguh aneh untuk akal sehatnya, seperti, ia harus mempertanggungjawabkan apa yang tidak pernah diperbuatnya. Lidah Hanan rasanya kelu, hidangan di atas meja yang tadinya membuat air liur menetes, menjadi tak ubahnya terlihat seperti batu, nafsu makannya terhempas sudah. "Aku tidak tahu permasalahan apa yang sedang kalian hadapi, tiba-tiba kalian bertamu ke rumahku, meminta tolong hal yang membuat aku seperti tersambar petir di siang hari. Kalian pikir aku akan menolong kalian sebelum kalian mengungkap semuanya? Tidak!" Hanan memburu, permintaan Galih terlalu semena-mena untuknya. Perempuan yang tadi hanya menyaksikan ketegangan antara dua lelaki itu, akhirnya turun tangan, menatap Hanan dengan sama memelasnya. "Kami tidak bisa memberitahukan masalah apa yang sedang menimpa kami sekarang, mungkin setelah kamu menik—" "Kenapa kalian tidak meminta bantuanku jika kalian memiliki masalah?!" Sedikit demi sedikit, Hanan mengerti bahwa permasalahan yang tengah menimpa Galih dan Karina tidaklah ringan, jika masalah itu ringan, tak mungkin keduanya memaksa ia untuk menikahi Tasha, putri mereka sendiri di usianya yang masih belia dengan lelaki sepertinya, orangtua tunggal bagi dua anak yang usianya sudah enam tahun. "Dengan menikahi Tasha, kamu sudah membantu kami, Hanan, kamu sudah sedikit meringankan beban kami," ucap Galih diangguki oleh Karina. Hanan menarik napasnya yang terasa sesak. Digelengkan kepalanya secara perlahan untuk menolak semua permintaan pasangan yang menurutnya gila tersebut. Semua permasalahan pasti ada jalan keluarnya jika di antara mereka ada komunikasi, Hanan bahkan tak mengetahui secuil pun permasalahan mereka dan menurutnya, dengan ia menikahi Tasha bukan penyelesaian masalah yang didapat, tetapi masalah baru. Galih menahan napasnya, Karina di sebelahnya siap menumpahkan tangis tatkala bibir Hanan mengucapkan penolakan itu. "Tasha masih kecil, dia masih sekolah, masa depannya masih panjang, apa kalian tidak memikirkan itu?" tanya Hanan tegas. "Justru kami memikirkan masa depan Tasha, makanya kami ingin menikahkan kamu dengan dia!" ucap Karina di tengah tangisnya. Suara parau dari Karina membuat seorang gadis yang duduk agak jauh dari mereka menyernyit bingung, ia heran mengapa tadi disuruh duduk agak jauh dari ayah dan ibunya, sekarang ia melihat ibunya menangis seperti itu, hati dan wajahnya murung seketika, ayam goreng kesukaan yang tengah dikunyahnya terasa hambar seketika, ia meletakan sendok dan garpu yang dipegangnya kemudian beringsut duduk di sebelah ibunya. "Bunda kenapa nangis?" tanya gadis berusia tujuh belas tahun itu dengan tatapan polosnya. Tiga orang dewasa itu tersentak, mereka hampir melupakan si objek pembahasan yang sedari tadi ada di antara mereka. Karina tersenyum menatap putrinya, air matanya yang meleleh tidak ia sembunyikan membiarkan putrinya tahu bahwa ia sedang ada apa-apa, karena ia tahu putrinya tidak akan peka dengan apa yang menimpa orangtuanya. "Bunda hanya kelilipan," jawab Karina sekenannya. "Tapi wajah Ayah sama Paman Hanan juga murung, kalian sedih?" Tasha kembali melontarkan pertanyaan seraya menatap lelaki dewasa di depannya satu per satu. Galih menggelengkan kepalanya membantah ucapan Tasha, ia tersenyum terpaksa, begitu pun Hanan, berusaha memperbaiki ekspresi keruh mereka. "Enggak, Sayang, kita enggak sedih, kok, kita cuma ngobrol biasa aja, kamu kembali ke tempat kamu, ya," ucap Galih. Tasha mengerucutkan bibirnya, sedari tadi mereka membicarakan apa yang tidak dimengerti olehnya, ia juga tidak terlalu menyimak karena fokus pada makanannya. Kata bundanya, makan itu tidak boleh sambil berbicara, tetapi mereka melanggar sendiri apa yang telah mereka buat. "Tasha pingin makan disuapin Bunda," ucapnya menatap Karina dengan tatapan menelas. Tangan Karina terangkat mengelus puncak kepala Tasha, ia memberikan senyum termanisnya kepada gadis itu. "Enggak sekarang, Sayang, Tasha makan sendiri dulu, ya, lain kali nanti Bunda suapin, kamu kembali ke tempat duduk kamu dan habisin semua makanannya," pinta Karina lembut. Tasha hanya bisa menurut kemudian kembali beringsut ke tempatnya. Hanan yang sedari tadi memerhatikan interaksi Tasha, mengusap wajahnya kasar. Gadis itu terlalu kekanakan di umurnya yang menginjak remaja, bagaimana bisa Galih dan Karina mempunyai ide gila berniat meninggalkan dan menikahkan Tasha yang menurutnya masih membutuhkan bimbingan kedua orangtuanya, bukan suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD