“Ya Allah,” gumam Ben begitu melewati ambang pintu ruang perawatan. Wajahnya kayak orang habis dihukum. Pucat, bibirnya nyaris tak berwarna, langkahnya agak pincang meski tadi dokter sudah meyakinkan kalau penyembuhan lukanya bagus, dan kakinya aman untuk menjejak normal. Kruk ia dekap malas dengan tangan kiri, ujungnya terseret di permukaan lantai. Amir langsung mendekat, mengambil alih alat bantu jalan yang jelas tak lagi Ben gunakan. “Saya pegangin aja, Bang?” “Hmm,” jawab Ben dingin. Anne yang berjalan di sisinya sampai geleng-geleng kepala. “Ben, kan tadi cuma ganti perban. Kenapa ekspresi kamu kayak habis operasi besar?” Ben menghela napas keras, bersandar sejenak di dinding lorong sebelum lanjut melangkah. “Aku juga ngga ngerti, baby. Tiap kali ketemu dokter, rasanya mentalku d

