Bab 1 - Dunia yang Hancur.

1535 Words
Dalam hidup pernahkah terlintas keinginan untuk mati? Hidup terlalu sulit, bahkan bernapas pun seolah tidak mampu. Dunia terasa hitam tak berwarna. Sakit dan putus asa selalu datang setiap kali mata terbuka. Pernahkah? Pernah? Aku pernaaaah! Setiap hari, bahkan setiap detik selalu berdoa pada Tuhan, agar dia segera mencabut nyawa ini. Hidup bagai mayat berjalan. Tidak ada keinginan apapun selain kem4tian. Dunia yang aku kira baik-baik saja. Nyatanya hanya ilusi yang memilukan. Seseorang yang aku anggap belahan jiwa, separuh hati, cinta sejati ... ternyata tak lebih dari seonggok bangk4i yang menjijikan. Jangan salah! Aku pernah, bahkan hampir menjadi manusia yang paling bahagia. Detik-detik dimana hidup ini akan menjadi sempurna. Gaun pengantin yang melingkar indah di badan. Untaian hena yang membingkai cantik kedua tangan jemari ini. ***ofd Bibir melengkung tipis, napas berhembus panjang melihat tenda berwarna ungu berpadu putih bersih terpajang dengan indah di halaman rumah. Ada debar yang tidak bisa di gambarkan, saat mengingat tiga hari lagi status perawan tua yang tersemat pada diriku akan segera berakhir. Penantian yang sangat mendebarkan. Penuh dengan kesabaran, terkadang di iringi dengan keegoisan, di iringi dengan keputus asaan namun kini terbayar dengan napas lega. Adipati Pramana ... kekasihku, jantung hatiku, dia datang dan menepati segala janjinya! Bibir ini kembali melengkung, saat wajah tampan dan lembut itu terlintas di kepala. Hampir satu minggu tiada bertemu, tentu saja rasa rindu ini selalu melanda. "Ciye yang mau sold out!" Gea sahabat karibku datang dari belakang menyenggol lengan. "Huuu ..." aku bernapas panjang sebelum menoleh kearahnya. "Ya, akhirnya gue nikah juga ..." lirihku dengan d**a menyeruak. "Selamat deh. Ternyata si Pati beneran nikahin lu juga." Gea tersenyum menatapku sendu. "Yah ... meskipun sebenarnya gua agak ragu sih. Tapi syukurlah." Gea menarik kecil ujung rambutku yang terurai. Aku terkekeh, menyikut lengannya. "Dia bukan buaya seperti tuduhan lu kan?" aku menyipitkan mata, menggodanya. "Cihh ... bangga!" cibir Gea sambil mendengkus jengkel. Bukan tanpa sebab, Gea berkata kekasihku tak setia, mengingat selama dua tahun terakhir aku dan Mas Pati menjalani hubungan dengan jarak jauh. Tahun ini hubungan kami resmi menginjak 8 tahun. Tentu saja kecurigaan dan prasangka selalu bermunculan. Apalagi di saat Gea tahu, akulah yang paling menyosong penuh studi Pati di Jakarta menyosong bukan hanya ucapan dan doa-doa saja, melainkan biaya kuliah dan biaya kos-kosan Adipati di kota dengan makanan khas kerak telur tersebut sepenuhnya aku yang menanggung. Awalnya memang aku keberatan, namun jika di pikir lagi. Mas Pati melanjutkan studi demi untuk masa depan kami. Masa iya ... aku tidak membantunya? Yah ... meski harus menguras separuh gajiku, tak masalah. Yang penting, Mas Pati pada akhirnya menikahiku juga, bukan? Lagi pula rumahku dan Mas Pati berjarak lumayan dekat. Dan dengan keluarganya pun, aku sudah sangat dekat sudah di anggap anak mereka sendiri. "Erin ..." suara perempuan yang melahirkanku terdengar di telinga, membuat kepala refleks menoleh kearahnya. "Iya, Mah?" "Si Pati ..." Alis Mamah mengerut wajahnya terlihat cemas. "Kenapa?" aku menatap lurus. "Tadi si Edo kerumah si Pati. Kata Ibu Suma, si Pati belum sampai dirumahnya." jelas Mamah begitu khawatir. Aku dan Gea saling berpandangan dengan wajah bingung. "Duh ... si Pati gimana sih! Masa nikah sudah mau besok, belum balik ke Cikarang juga!" Mamah menghela napas kasar, kali ini wajahnya terlihat tertekan. "Lagi di jalan dia, Mah." aku mencoba menenangkan. "Dia ada ngasih kabar'kan sama kamu?" Mamah menatap tajam. Aku mengangguk pasti. "Huh! Harusnya dia itu pulang dua minggu sebelum acara, diam-diam di rumah saja. Mamah tuh khawatir dia kenapa-napa di jalan. Namanya juga mau menikah, takutnya di ganggu--" Ucapan Mamah terhenti saat aku memegang tangannya. "Doain saja Mas Pati pulang dengan selamat." aku tersenyum, kembali menenangkan hati orangtua perempuanku ... meski sebenarnya hatiku pun menjadi gelisah, takut terjadi sesuatu pada Adipati. "Nah ini ... dari mana saja kamu Delia. Dari kemarin tidak pulang kerumah. Kebiasaan!" mata Mamah mendelik, saat melihat Kakak perempuanku masuk kerumah dengan wajah lesu cenderung pucat. "Aku tidur di kosan teman, Mah. Kerjaan lagi banyak banget jadi tidak sempat pulang kerumah." jawab Delia setelah mencium tangan Mamah. "Sibuk terus. Anakmu itu loh, di perhatiin." Mamah masih terlihat kesal. "Lii ..." Aku tersenyum menyapanya. Usia kami hanya terpaut 2 tahun saja, terbiasa aku memanggil nama padanya. "Hem ..." Delia hanya mengangguk, melewati kami lalu memasuki kamarnya. "Kebiasaan nih, pulang kerja bukannya langsung pulang kerumah. Malah nginep di kosan temennya. Si Hary tiap hari nanyain Bundanya, sudah dapat kerja malah jadi tidak ingat sama anak, gimana sih!" Mamah masih menyempret, meski Delia sudah menutup pintu kamarnya. "Sabar, Mah." Aku mengingatkan saat melihatnya menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. Delia ... dia menjadi janda sejak 5 tahun lalu. Tepatnya saat, Hary anak laki-lakinya lahir ke dalam Dunia. Delia dan Yogi, menikah karna berpacaran yang terlalu bebas. Setelah menikah, hubungan keduanya bukan bertambah hangat malah hancur berantakan karna orang ketiga. Sungguh tragis! Keponakanku yang mewarisi wajah tampan Yogi, bahkan tidak mengenal Ayahnya sendiri. Dan sejujurnya, hal itu yang membuat aku takut menikah muda. "Hoekk ...." Suara gaduh terdengar dari kamar, Delia. Tak lama dia keluar dengan langkah lebar sambil menutup mulut dengan kedua tangannya menuju arah toilet. "Tuhkan ... pasti masuk angin. Sudah tau punya badan gampang sakit, malah nginep di kosan orang. Sudah pasti dia begadang!" Mamah mendengkus, lalu keluar rumah, saat Bik Imas memanggil namanya. "Erin ... ini tukang hena sudah datang." Mamah menggandeng perempuan muda yang aku kenal bernama Winda, berjalan kearahku. "Henanya di kamar saja, biar tenang." ujar Mamah sambil menuntun Winda menuju kamarku. "Rin, gue pulang dulu ya. Besok pagi gue kesini lagi sama Monik sambil bawa salinan." Gea menepuk pundakku. "Oh ya sudah. Tankz ya ..." aku tersenyum hangat. "Ya." Gea mengacungkan jempol. ***Ofd. Aku pandangi ulir bunga yang membingkai indah di kedua tangan. Warna putih suci di hiasi dengan permata kecil bersinar terlihat cantik dan elegant, membuat senyum di bibirku terukir dengan sendirinya. Kuku jemari pun tak ketinggalan, di hias berwarna pink muda membuat semakin enak di pandang mata. Jantung semakin berdentam, detik demi detik acara sakral akan segera di laksanakan. Kesibukan kami bermula pukul 04:00, perias wajah pengantin sudah tiba dan segera mempecantik wajahku. Semua mata memandang kagum, kebaya cantik berwarna gading semakin membuat anggun penampilan. "Lia, kemana Mah?" tanyaku saat tak melihat ke hadirannya. "Sakit. Semalam badannya panas, tapi tadi sudah mandi dan siap-siap sih." jawab Mamah sambil merapihkan letak sanggulnya. Pukul 08:00 suara gaduh petasan khas pengantin laki-laki telah tiba terdengar ricuh memekik telinga. Aku semakin menegang saat mamah dan Gea membimbing, berjalan pelan menuju meja bundar dimana sudah terduduk rapih orangtua laki-lakiku dan Pak penghulu juga para saksi yang menghadiri acara pernikahan kami. Adipati Pramana ... laki-laki berusia 28 tahun itu terlihat sangat tampan dan gagah memakai kemeja putih berpadu dengan jas hitam yang melekat di tubuh atletisnya. Mas Pati memandangku dengan wajah berseri-seri, senyum nakalnya membuat pipi ini merah merona. "Cantik ..." gerakan mulutnya dengan mudah mampu aku pahami. Sorotnya yang teduh memabukkan jiwa, membuat aku menundukkan kepala. "Masya Alloh ... Ini calonnya, Mas Pati? Cantik sekali ..." ujar laki-laki berpeci hitam yang kukenal sebagai Pak penghulu, mencoba mencairkan ketegangan kami. Mas Pati hanya tersenyum, kembali menatapku. Aku menarik napas panjang, sebelum menduduki kursi di samping Mas Pati. "Relax ..." bisik Gea, sambil mengerudungi selendang putih panjang di atas kepalaku dan Mas Pati. "Sudah siap semuanya?" Pak penghulu menoleh bergantian kearah aku dan Mas Pati. "Saksi dan juga orangtua kedua mempelai semuanya hadir?" "Hadir ..." jawab serentak kedua belah pihak. "Bismillahirahmanirahim ...." "Tu--tunggu!" Kalimat sakral Pak penghulu terhenti, saat mendengar teriakan cukup lantang di tengah keheningan kami. "Delia ..." lirih suara ini, alisku menaut melihatnya begitu berantakan. Mata Delia terlihat merah dan bengkak. "Per-nikahan ini, tidak boleh di teruskan ...." "Lia! Kamu bicara apa!" Mamah menoleh dengan alis mengkerut kebingungan. "Aku ... aku ...." Napas Lia terlihat sesak, sorot pandangannya pilu menatap calon suamiku. Mas Pati terpaku di tempat, wajah tampannya terlihat memucat penuh tekanan. "Kamu kenapa, Lia?" Bapak ikut bersuara, melihat Delia yang menangis terisak. "Aku ... aku hamil anaknya, Pa-ti ... Huhu." Suara Delia sangat-sangat pelan, namun telinga ini mendengar dengan jelas. "A-pa? Ha--mil?" Mamah gelagapan, menoleh kearah Mas Pati dan Delia bergantian. "Hamil?" kalimat baku itu terlontar begitu saja dari mulutku. "Tidak!" Mas Pati yang semula membeku di tempat, kini berteriak. Wajahnya begitu tegang, menatap cemas kearahku. "Ini hanya salah paham!" Mas Pati menggenggam erat kedua tangan jemariku, tatapan matanya kini tegas namun penuh permohonan. "Pati ... aku mohon!" Suara Delia bergetar, menatap calon suamiku dengan mata merah berair. "Ma-s ..." lirih suaraku, tertahan di tenggorokan. "Percaya sama aku, Erina. Bukan aku pelakunya!" ujar Mas Pati, bisa aku rasakan tangannya begitu dingin, sorot matanya memerah lalu menatap murka kearah Delia. "Kamu harus tanggung jawab, Pati. Ini anakmu!" teriak Delia dengan air mata bercucuran. Aku hanya terpaku, napas mendadak sesak. d**a terasa nyeuri, seluruh tubuh terasa bergetar sangat hebat. Kepala berdenyut sangat-sangat ngilu, pandangan mengabur karna genangan air yang tiba-tiba menumpuk di celah mata yang terasa panas. "Erin ... Erin. Tolong dengarkan aku ya, sayang. Aku di jebak, Delia itu iri sama kamu dan dia sengaja ingin merusak acara kita." Mas Pati meraih dagu ini, memaksa aku menatap wajah tegangnya. "Lagi pula aku hanya melakukannya sekali! Jelas bukan aku yang menghamilinya." Sambungnya dengan wajah penuh permohonan. Suara Mas Pati masih bisa terdengar di telinga, sebelum akhirnya pandangan ini benar-benar menghitam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD