2. Hutang

1334 Words
Della sedang membantu Bunda melayani pembeli. Kebetulan hari ini hari libur, libur sekolah juga libur kerja. Della memanfaatkan waktunya untuk membantu Bunda. "Della, tolong ambilin gula merah di dapur ya. Ini udah mau habis." Riana berujar sambil memotong sayuran yang telah direbus. Della langsung beranjak meninggalkan Riana dan beberapa ibu-ibu yang sedang menunggu pesanan mereka. Ia berjalan memasuki rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari etalase tengah Riana berjualan. Di teras rumahnya ada Vino dan seorang temannya yang sedang bermain mobil-mobilan. Ia tersenyum memperhatikan adiknya yang sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan baru yang sangat berbeda jauh dengan lingkungan tempat tinggalnya dulu. Dia bersyukur adik satu-satunya itu bukanlah anak yang rewel meski kadang manja pada dirinya maupun Bunda. Della masuk ke dapur dan mencari barang yang dimaksud Bunda. Setelah dapat, dia segera berjalan cepat keluar. Baru sampai di teras rumah, Della dibuat terkejut oleh suara ribut-ribut yang berasal dari tempat berjualan Bunda. Vino dan temannya yang tampak ketakutan segera menghampiri Della. "Vino ke dalam dulu ya. Ajak teman Vino juga." Della mengusap lembut kepala Vino. Vino mengangguk dan segera masuk bersama temannya. Della segera berlari menghampiri Bunda. "Bunda, ada ap–" Ucapan Della terhenti saat melihat Bunda sudah jatuh tersungkur di tanah. Della segera menolong Bunda dibantu ibu-ibu yang masih ada di situ. Bahan-bahan untuk membuat gado-gado telah hancur di tanah. Di depan mereka telah berdiri tiga orang pria berbadan kekar dan berotot tengah menatap Riana tajam. Melihat wajah ketiga pria itu, membuat bayangan masa lalu seketika berkelebat di kepala Della. Della menggelengkan kepalanya. Ini bukan saatnya membayangkan masa lalu. Della berdiri dan menatap mereka bertiga. Pasti mereka yang membuat Bunda jatuh. "Ke-kenapa ka-kalian mendorong bundaku?" tanya Della terbata. Kedua telapak tangannya meremas kuat bagian samping rok. "Karena ibumu tidak mau mengerti penjelasan kami, gadis manis." Salah satu dari mereka yang tubuhnya dipenuhi tato menjawab. Pria itu maju mendekati Della membuat Della mundur beberapa langkah. "Ap-apa maksud kalian?" tanyanya tak mengerti. "Rumah kalian ini ...," ucap pria itu sambil menunjuk rumah Riana. "Sudah jadi milik bos kami." Della membelalakkan matanya. Dia menoleh menatap Bunda dan hanya dibalas dengan tatapan sendu. "Maksud kalian apa?"tanya Della lagi. "Adik dari ayahmu yang bernama Choki Hadiwinata telah meminjam uang 25 juta kepada bos kami dan menjadikan rumah ini sebagai jaminan." "Tapi ini rumah ayahku!" sanggah Della dengan nada naik satu oktaf. Bunda mendekati Della sementara ibu-ibu yang lain sudah pergi karena tidak enak mendengarkan urusan orang lain. Pria di depannya tersenyum mengerikan mendengar suara Della yang meninggi. "Kami nggak peduli ini rumah siapa yang penting sertifikat rumah yang kami terima asli. Ini buktinya!" balas pria itu sambil menunjukkan sebuah map di depan wajah Della. Della menerima map itu dan membuka halaman demi halaman. Dia langsung menatap Bunda yang kini sudah berdiri di sampingnya. "Bunda, kenapa ini bisa asli?" tanya Della bingung. Bunda hanya mengusap pundak Della lembut namun wajahnya jelas menyiratkan kekhawatiran. "Sebelum ayah kamu meninggal, Choki merebut sertifikat ini, sayang," jelas Bunda. "Tapi rumah ini hak Ayah, Bunda." "Sudahlah Sayang. Kita terima aja," ucap Bunda menenangkan dan kalau sudah begitu Della hanya bisa diam. Della menggeram dalam hati, tidak habis pikir dengan kelakuan pamannya yang makin menjadi. "Tolong kasih kami waktu untuk membayar hutang itu," pinta Bunda memelas kepada pria bertato itu. Pria itu hanya menatapnya tajam. "Hanya ini rumah yang kami punya." Della mengusap pundak Bunda pelan. Ia tak tega melihat Bunda memelas seperti ini. Ketiga pria itu sedikit menjauh dan tampak sedang berdiskusi. Sementara Della menatap mata Bunda. Bunda tahu kekhawatiran yang ada di hati Della hanya lewat tatapan matanya dan ia hanya membalasnya dengan senyuman lembut seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Setelah cukup lama akhirnya ketiga pria itu mendekati ibu dan anak itu. "Baik. Kami beri waktu satu minggu kalau kalian tidak bisa memberikan 25 juta beserta bunganya 10 juta maka kalian harus angkat kaki dari rumah ini," ucap pria bertato sambil merebut sertifikat rumah yang masih digenggam Della dan berlalu begitu saja dengan Jeep mereka. Bunda terduduk lemas di kursi dekat etalase tempatnya berjualan. Della hanya berdiri sambil sesekali mengusap punggung Bunda pelan. Tak ada satu pun dari mereka yang memulai berbicara dan sibuk dengan pikiran masing-masing meski isi pikiran mereka sama yaitu dari mana mereka mendapatkan uang itu. Deni, ayah Della hanya punya satu saudara yaitu Choki dan Della tahu selama ini Choki hanya bisa menghambur-hamburkan uang untuk kesenangannya sendiri. Bahkan dulu saat Deni masih kaya, Choki sering meminta uang padanya jadi Choki tidak mungkin mau dimintai tolong. Sementara Bunda hanyalah sebatang kara yang tidak punya satu pun kerabat di dunia ini. Sedangkan kerabat jauh Deni tidak bisa diharapkan lagi mengingat perlakuan acuh mereka saat Deni mengalami kebangkrutan. Ah, Della benar-benar pusing sekarang. Seandainya Ayah masih ada pasti dia bisa mengatasi hal ini. "Permisi." Suara berat itu membuyarkan lamunan Della dan Riana. Kedua wanita beda umur itu langsung tahu pemilik suara itu tanpa harus melihatnya. Dan benar saja. Seorang pria berumur sekitar tujuh puluh tahun sudah duduk di meja pembeli sambil tersenyum ramah ditemani seorang pria lagi yang mungkin baru berkepala tiga duduk di sampingnya. Pria berumur tujuh puluh tahun yang sebenarnya lebih pantas disebut kakek-kakek itu bernama Kakek Wira sementara pria di sampingnya adalah Jono , bodyguard Kakek Wira. Della sendiri tidak tahu di mana tempat tinggal Kakek Wira karena mobilnya yang tergolong sangat mewah itu selalu datang dari gang yang masuk dari jalan besar. Jadi tidak mungkin kakek itu tinggal di daerah perumahan sederhana sekitar sini. Sejak Riana mulai berjualan, Kakek Wira sering datang untuk menikmati gado-gado Riana. Della akui Kakek Wira sangat ramah dibanding orang kaya lainnya tapi Della juga selalu merasa eneg saat bertemu Della Kakek Wira selalu mengatakan bahwa Della adalah gadis pilihannya yang sangat cocok dengannya. Della selalu bergidik ngeri jika sudah mendengar kata-kata kakek tua itu. "Cantik, apa ada masalah?" tanya Kakek Wira sambil menatap Della. Dan ini yang membuat Della malas, karena Kakek Wira selalu memanggilnya cantik. "Nggak ada kok, Kek," jawab Della berusaha sesopan mungkin karena walau mengesalkan, Kakek Wira tetaplah orang tua yang harus dihormati. "Nak Riana, saya pesan seperti biasa tapi kali ini dibungkus saja mau saya bawa pulang," ucap Kakek Wira pada Riana yang dibalas anggukan. "Kakek dengar, rumah kalian akan disita rentenir ya?" tanya Kakek Wira. "Iya Paman," jawab Bunda sambil menyerahkan sebungkus gado-gado pada Kakek Wira. "Memang berapa jumlah yang diminta lintah darat itu?" "35 juta," jawab Riana dengan suara bergetar, membuat Della iba. Kakek Wira berdiri diikuti Jono lalu berjalan mendekat ke arah Della membuat Della mundur beberapa langkah. Jono tampak menahan tawa melihat Della yang bergidik ngeri. "Kakek bisa bantu kalian," ucap Kakek Wira yang kini sudah berhadap-hadapan dengan Della. Mendengar itu Della sedikit sumringah namun seketika keruh lagi membayangkan imbalan apa yang mungkin akan diminta Kakek Wira. "Tapi tetap ada imbalannya," sambung Kakek Wira. Della sudah menduga. Orang kaya kalau mau membantu orang miskin selalu minta imbalan. "Kakek akan bantu kalian kalau Cantik mau menerima lamaran Kakek," ucap Kakek Wira lagi sambil tersenyum menggodanya. Entahlah tapi Della menangkap itu sebagai senyum untuk menggodanya. Tak urung Della tersedak ludahnya sendiri hingga terbatuk-batuk sendiri. Sementara Jono yang berdiri di samping majikannya mengatupkan bibirnya menahan tawa yang mungkin akan meledak. Riana menepuk-nepuk punggung Della pelan. "Kakek nggak serius kan? Pasti Kakek bercanda," tanya Della setelah batuknya reda. "Kakek nggak bercanda, Cantik. Kan sudah Kakek bilang kalau Cantik adalah gadis pilihan Kakek yang sangat cocok," jawab Kakek Wira serius. Della menatap Kakek Wira lama berusaha memastikan bahwa pria tua di depannya ini masih waras. Dan dia segera mundur beberapa langkah karena ketakutan sendiri. Mengerikan membayangkan dirinya menjadi istri seorang kakek tua ini. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya berulang-ulang. Jono meletakkan sebuah kartu nama di atas meja atas suruhan majikannya. "Cantik, kamu bisa menghubungi Kakek lewat nomor yang tertulis di kartu nama itu. Kalau begitu Kakek pergi dulu. Assalamu'alaikum." Della dan Riana menjawab salam itu dengan pelan karena pikiran mereka dipenuhi perasaan keheranan. Astaga, apa kakek-kakek itu masih waras? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD