Masih Kuat!

1067 Words
Seperti biasa, Anaya sedang mempersiapkan sarapan pagi. Beruntung, masih ada sisa nasi semalam yang bersisa untuk dia goreng sebagai sarapan pagi ini. Anaya hanya berharap ayah tirinya itu belum bangun, gunanya agar dia terhindar dari amukan Reza. Tapi, sepertinya keberuntungan belum berpihak padanya. Kedatangan Reza dari bilik kamarnya membuat Anaya terkejut dan gemetar. Bagaimana tidak? Reza sekarang sedang memegang tali pinggang ditangannya. Reza mendekati Anaya, "Dari mana kamu semalam, hah?" tanya Reza dengan tatapan tajam. "Na-Naya ... cari kerjaan, Pa," sahut Anaya terbata-bata sembari menundukkan kepalanya ketakutan. Plak! Satu tamparan berhasil mendarat dipipi kanan Anaya. Bukan itu saja, Reza langsung mencambuk Anaya dengan tali pinggang yang dia pegang tadi. "A-awh ... Pa ... sa-sakit ..." isak Anaya. "Ini hukuman buat kamu yang gak mau ninggalin makanan dan uang samaku!" murka Reza. Anaya meneteskan air matanya, dia hanya bisa menahan serangan dari Reza. Jika dia melawan, bisa dipastikan ayah tiri yang tidak punya hati itu akan menghajar Rio juga. Tiba-tiba Rio berlari sambil menangis kepelukan Anaya, "Sudah, Pa ... itu pasti sakit ..." rintih Rio, seperti ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh kakaknya itu. Brak! Reza menendang meja makan yang ada dihadapannya. Kemudian, pergi meninggalkan mereka. Rio memeluk kuat Anaya, "Kakak, yang mana sakit?" tanyanya sendu. Anaya mencoba tersenyum, mengusap air matanya yang terjatuh walau dia sudah menahan agar bulir tersebut tidak jatuh. Tapi, ya mau gimana? Setidaknya Anaya sudah berusaha. Anaya memandang Rio, "Badan kakak kuat kok. Cuman ini kakak aja yang gak kuat," jujur Anaya sembari menunjuk hatinya pada Rio. Rio yang tidak mengerti langsung meniup hati Anaya yang dia tunjuk tadi, "Sakitnya gimana kak? Sakit banget, ya?" tanya Rio polos. Anaya mengetahui sekali, anak seumuran Rio tidak akan mengetahui apa yang dia maksud, "Rio, maafin kakak ya? Soalnya nasi gorengnya udah kotor. Jadi, gak bisa sarapan," lirih Anaya. Rio menggeleng pelan, "Gak apa kok, Kak! Masih bisa dimakan, kan belum lima menit," ujar Rio. Jleb! Seperti ditusuk pisau, hati Anaya bertambah perih mendengar ujaran Rio. Apalagi, ditambah dengan Rio yang sedang mengambil nasi yang jatuh akibat ulah ayahnya. Bak kehabisan oksigen, Anaya menepuk dadanya pelan, menghilangkan rasa sesak didadanya. Anaya, janji! Anaya akan berusaha keras dan harus semakin kuat untuk menghadapi kehidupannya ini. Karna Anaya percaya, akan ada pelangi sehabis hujan. Bukan begitu? Setelahnya, mereka berlanjut memakan nasi goreng yang terjatuh tadi. Setidaknya, mereka masih bisa bersyukur. "Rio, nanti kakak pulangnya kemalaman. Kalau Rio laper, Rio minta aja sama warung bi ijah ya? Bilang hutang dulu, nanti kakak yang bayar kalau sudah gajian, oke?" ujar Anaya. "Siap, kak," sahut Rio. Bi Ijah adalah tetangga Anaya dan Rio yang berjualan nasi di warung sederhana. Bi Ijah, wanita paruh baya yang merupakan tetangga mereka paling baik. Bi Ijah sendiri juga sudah menganggap mereka seperti cucunya. "Reza! Anaya!" teriak seseorang dari luar rumah mereka. Anaya mengernyit bingung, siapa yang berteriak-teriak pagi-pagi gini, pikirnya. Anaya langsung keluar dengan terburu-buru. "Ada apa ya, Bu ...?" tanya Anaya bingung. "Uang sewa rumah kamu udah nunggak, nih ... janji Ayah kamu bulan ini. Tapi, gak datang-datang!" ujar wanita yang sekarang menggunakan lipstik yang amat tebal dibibirnya. Jantung Anaya berdetak kencang, makan saja tidak lepas! Bagaimana Anaya akan membayar sewa rumah mereka? "Ma-maaf sebelumnya, Bu. Tapi ... saya sedang tidak ada uang. Tolong beri saya tempo waktu satu bulan lagi ya, Bu," mohon Anaya lembut. "Papa, saya sedang gak ada kerja, Bu ... ini saya lagi berjuang buat adik dan makan kami sehari, Bu," lanjut Anaya. Wanita tersebut dapat melihat raut wajah kejujuran Anaya, "Baiklah, ini peringatan terakhir!" ujar wanita itu lalu melenggang pergi. Untuk kali ini Anaya masih bisa bernafas lega. Tapi, tidak tahu bagaimana ke depannya. *** Sesekali Anaya meringis saat tangannya terkena sabun. Bekas luka yang berhasil Anaya tangkis dari cambukkan Ayah tirinya sangat lebam ditangan Anaya. Dan pastinya sangat perih terkena sabun disaat dia hendak mencuci piring di tempat dia bekerja. Anaya sangat sibuk sekarang! Bagaimana tidak? Kini dia sekarang bukan hanya kerja di bagian dapur saja. Melainkan, menulis pesanan pengunjung yang seperti biasa sangat ramai. Sesekali ada yang memberi Anaya uang tip dikarenakan kerjanya yang sangat cepat, rapi dan teliti. Anaya sangat senang. Akhirnya, dia tidak perlu menunggu gaji perbulannya saja, kini dia juga dapat uang perhari dari pengunjung yang berbaik hati memberikan kembalian uang mereka kepada Anaya sebagai tip. Pandangan Anaya berbinar melihat uang yang dia genggam sekarang. Lumayan, Anaya bisa menabungnya sebagian. Dan sisanya buat membeli makanan sehari-hari mereka. Sejenak Anaya berhenti, pengunjung masih sibuk menikmati hidangan resto tersebut. Anaya menghela nafas, sesekali dia meringis saat keringatnya mengenai luka dibadannya yang tergores cambukkan tali pinggang Reza. "Ma ... Anaya pasti bisakan?" gumam Anaya menahan tangis. Pikirannya kembali pada saat dia melihat Mamanya senasib dengan Anaya. Dicambuk, ditampar oleh Reza. Anaya sendiri bingung, kenapa Fiera dulu mau menikahi Reza yang selalu membebaninya. Anaya dapat merasakan yang Fiera rasakan. Bekerja hingga tengah malam mencari nafkah buat kebutuhan sampai dengan merasakan kekerasan dari Reza. Mau mengaduh kemana? Anaya sendiri bingung! Jika dia melakukan kesalahan, maka dia akan terpisah oleh Rio yang merupakan anak kandung dari Reza. Hanya kepada-Nya tempat pengaduan paling manjur. Anaya hanya bisa pasrah dan sabar, pasti semua ini akan menghasilkan upah yang manis, pikirnya. "Nay! Kamu kenapa?" Tiba-tiba Sinta datang membuyarkan lamunan Anaya. "E-eh ... gak! Gak kenapa-kenapa kok," ujar Anaya terkejut. "Kamu boleh kok cerita sama aku. Aku ini pendengar yang baik, loh …" ujar Sinta semangat. Anaya tersenyum canggung, "Iya, nanti kalau ada sesuatu aku cerita sama kamu kok," sahut Anaya tidak enak hati. "Ya udah, yuk balik lagi kerja. Nanti kenak amuk," canda Sinta. Mereka tertawa pelan. Setidaknya, Anaya masih punya Sinta yang bisa membua dia tertawa dalam lelucon kecil. Anaya dan Sinta mulai membersihkan piring yang kotor bersama. Dalam sehari mereka bisa seakur ini. Bagaimana tidak? Sinta sangat mudah berbaur, sedangkan Anaya orang yang sangat pemalu untuk berkenalan. Tiba-tiba, Anaya teringat sesuatu. Ya, sebentar lagi adalah ujian final mereka. Sebentar lagi, Anaya menuju hari kelulusan, betapa senangnya dia. Setidaknya sekolahnya telah selesai. Jadi, sekarang dia hanya memikirkan untuk mencari uang saja buat adik dan juga ayah tirinya. Sungguh Anaya harus senang atau tidak. Tapi, Anaya berharap sewaktu-waktu dia memiliki hari yang cerah. Di tempat lain, seseorang sedang menyuruh suruhannya untuk menggali serta mencari informasi mengenai kerabat dari orang yang selama ini dia cari-cari. Segala bentakkan sudah dia keluarkan kepada suruhannya yang sampai saat ini belum mendapat informasi. "Saya gak mau tahu! Secepatnya kalian harus mencarinya! Jika tidak kalian saya pecat!" hardiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD