Dua

2004 Words
Aku kembali terkejut dan aku pun tertawa terbahak-bahak mengingat kemungkinan aku dikerjai olehnya. "Ri ... kau ingin mengerjai kakak ya? Di mana kameranya? Kakak belum ulang tahun, dan sekarang bukan bukan April. Jadi—" Tiba-tiba Bibir Rizka sudah di bibirku, di mengalungkan tangannya di leherku. Ciumannya yang amatir terus melumat bibirku. Demi semua iblis di neraka, aku sangat terkejut! Aku mendorongnya, sampai dia melepaskanku dan mundur beberapa langkah. Untung kewarasan masih menguasaiku.Aku mendesis, memejamkan mataku dan memunggunginya. Aku mengusap wajahku putus asa. Sialan! "Pergilah ke kamarmu, kakak akan anggap tidak terjadi apa-apa." "Aku mencintaimu Langit, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Aku datang kemari karena aku mencintaimu. Aku—" "Masuk ke kamarmu!" Aku membentaknya marah. "Kenapa?! Kau tidak menyukaiku karena aku tidak seksi seperti pacar-pacarmu? Atau karena aku tidak berpengalaman? Kau hanya tinggal mengajariku saja Langit, dan aku pasti bisa me–" "Rizka! Masuk sekarang! Atau kakak akan telepon papi dan melaporkan kelakuanmu ini," ucapku dengan tegas. Wajahnya tampak terkejut dan pucat. Akhirnya dia menangis. Double s**t! Aku sudah seperti binatang kalau sampai aku melakukan ini. Aku beranjak dan pergi keluar, membanting pintu kuat, dan meninggalkan dia menangis. Brengsek! Sejak Rizka beranjak remaja, aku tahu dia memandangku bukan lagi seperti seorang kakak. Tatapannya berubah dari tatapan seorang saudara menjadi tatapan memuja. Tapi dulu aku abaikan, karena kupikir itu biasa dalam masa pubertas. Tapi ternyata Rizka semakin memupuk perasaannya padaku. Seminggu dia bersamaku, Rizka memang sangat manja, caranya bermanja padaku seperti seorang kekasih, sekali lagi aku mengabaikannya. Selama ini ku pikir semua itu hanya perasaanku saja, tapi malam ini kecurigaanku terjawab. Aku pulang larut malam ke apartemenku setelah menenangkan diri. Kulihat makanan masih utuh. Aku masuk ke kamarnya, dan dia sudah tertidur dengan memakai piama, dan di wajahnya masih ada sisa-sisa air mata. "Langit ..." Dia memanggilku lirih. Lalu nafasnya kembali teratur. Aku memandang adikku itu. Aku tahu hubungan kami tidak akan lagi sama, Rizka memandangku bukan lagi sebagai seorang saudara, aku harus menjauh dan menjaga jarak, dan besok dia harus pulang ke indonesia.   Saat aku terbangun hari sudah hampir siang. Ponselku berdering, dan ternyata panggilan dari Jennifer, wanita yang akan aku jumpai siang ini. Setelah menjawab panggilannya, aku pun turun ke bawah. Kulihat Rizka sedang sarapan, sepertinya dia juga baru bangun. Dia diam tidak memperdulikan kehadiranku, sikapnya tidak lagi seperti biasanya. Astaga, kami sudah seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Aku berdehem. "Malam ini kau akan pulang ke Indonesia, kakak sudah pesan tiket untukmu," kataku sambil membuat kopi. Rizka diam saja dan memakan rotinya tanpa memandangku. "Kakak akan keluar sebentar, kau tunggu di sini dan jangan pergi ke mana-mana." Dia masih tetap diam. Akhirnya kami berdua sarapan tannpa ada yang bersuara, dan dia meninggalkanku setelah sarapannya habis. Aku kembali ke kamarku dan mandi, pertemuanku dengan Jennifer sangat penting. Dia adalah simpanan salah satu pebisnis sekaligus mafia yang menjadi targetku, Fernandez Colunga. Pekerjaanku adalah agen rahasia di dalam dunia gelap yang penuh bahaya. Aku suka bahaya. Dan siang ini aku akan pergi ke sebuah hotel tempat aku dan perempuan simpanan targetku tersebut berjanji untuk bertemu. Rencanku adalah setelah berhasil merayu dan menjebak wanita itu dengan seks, informasi yang aku butuhkan pasti akan kudapatkan darinya. Begitu aku tiba di hotel, aku pun langsung menuju kamar yang sudah ku pesan. Dan dia sudah menungguku di dalam. "Baby ... " Dia langsung menghampiriku dan mencium bibirku dengan panas dan penuh nafsu begitu aku memasuki ke kamar. Aku membalas ciumannya sama panasnya, dan aku pun melepaskan ciuman kami. Jennifer memakai lingerie merah maroon yang sangat seksi. Dia mengingatkanku pada Rizka tadi malam. Sial! Aku akan membenci warna itu. "Aku sangat senang akhirnya ada seseorang yang tulus mencintaiku," ucap Jennifer sambil memelukku erat. Tentu saja dia senang, karena dia pikir aku bankir kaya raya. Cinta yang tulus hanya omong kosong untuk wanita mata duitan seperti dia. Menghadapi perempuan dungu adalah dengan berpura-pura bodoh. "Tentu saja Sayang, aku juga sangat beruntung memiliki kekasih secantik dirimu." Aku kembali menciumnya untuk menyakinkannya. Dia memelukku erat. Aku membawanya ke tempat tidur, dan kami saling mencumbu. Aku membuka lingerienya, tapi tiba-tiba yang terbayang adalah wajah Rizka tadi malam yang malu-malu menggodaku.   "Sayang... puaskan aku.” Dia menciumiku dengan penuh nafsu. “Aku sudah bosan dengan Fernandez si tua kurang ajar itu," ucapnya manja. Aku semakin menggodanya saat dia menyebut ama Fernandez. Aku mencumbunya dengan panas dan menggodanya di titik-titik bagian tubuhnya yang sensitif. “Fernandez itu siapa Sayang? Kau jangan membuat aku cemburu." Aku pun memenuhi keinginan yang ingin dirayu dan dicumbu. Dia terkikik karena mengira aku benar-benar cemburu. "Fernandez itu b******n Sayang. Kau tidak perlu cemburu pada si tua jelek itu." Dia mendesah menikmati cumbuanku. "Dia b******n seperti apa Sayangku?" Aku menjilat perutnya dan mengelus pahanya membuatnya semakin mabuk kepayang, dan momen ini sangat bagus itu terus mengorek informasi dari perempuan ini. "Dia hanya butuh seks dariku dan bukan hanya aku yang menjadi pemuas nafsunya. Dia memiliki banyak simpanan. Ohh Babyyy.. yahhh di situ." wanita ini mejerit saat aku mencumbunya semakin dalam. "Oh John ... aku sudah tidak tahan lagi." Jeniffer merengek memohon. "Ceritakan dulu siapa Fernandez itu Baby. Ini hukuman karena kau nakal.” Aku sengaja menyiksanya dengan sentuhan-sentuhanku. "Dia, oh ... dia mafia b******n. Dia menjual banyak perempuan ke Kolombia, dan dari sana mereka mengirim perempuan itu entah ke mana. Ohhhh ... yessss!!" Wanita menjerit gembira saat aku menyentuh bagian sensitifnya. "Dan, malam ini dia akan mengirim kokain ke Cina. Ohhhh ... Baby, Please ..." "Di mana?" "Aaapaahhh?" Dia menatapku kesal saat aku berhenti sejenak. "Malam ini mereka berada di mana, Jennifer sayang?" Tanganku mulai mengelus tubuhnya yang panas. “Vegas. Las Vegas. Fernandez malam ini berada di sana. Ohhh ... " Tok ... tok ... tok ... "Dengan siapa saja Sayang?" Aku menggigit payudaranya lembut. "James Carter." Jennifer semakin b*******h dan berusaha membuka sabuk celanaku. James Carter. Anggota dewan. Ini menarik. Tok ... tok ... tok ...   Brengsek! Siapa yang mengetuk pintu? Aku sudah peringatkan untuk tidak diganggu, dan aku tidak memesan apa pun. Tok ... tok ... tok ... "Sebentar Baby." aku beranjak dari tubuh Jennifer yang sudah telanjang, dan merah karena gairah. Sedangkan aku masih memakai celana panjangku. Siapa pun yang mengganggu introgasiku siang ini akan mendapatkan akibatnya. Dan saat aku membuka pintu, aku terperanjat. Rizka berdiri di hadapanku. Dia langsung masuk, dan memandang Jennifer dan aku dengan tatapann mencemooh. "Riri ... " Aku memperingatkannya. "Siapa dia John?" Jennifer menatap kami bingung. Rizka mendengus, dan menatapku jijik. "Aku tunangannya." Rizka memandang angkuh pada jennifer. Jennifer yang masih telanjang langsung berdiri dan menantang Rizka. "Tunangan?" Jennifer tertawa dan mendengus. "Anak kecil sepertimu tunangan John?" Aku memejamkan mataku. Rencanaku kacau siang ini. "Dia bukan John. Dasar perempuan bodoh." kata Rizka sambil tertawa geli. "Riri.. keluar sekarang. Ini sudah keterlaluan. Sekarang kau pergi dari sini!" Aku membentaknya. Jennifer memandang kami secara bergantian dengan bingung karena kami menggunakan bahasa Indonesia. "John? Benar dia tunanganmu?" Jennifer bertanya bingung. "Bukan Sayang. Dia adikku." Aku menyakinkan Jennifer sambil tersenyum. Lalu aku menatap Rizka dengan oenuh peringatan.  "Riri keluar." "Oh... jadi kau meninggalkan aku sendirian dia apartemen untuk mencari kepuasan dengan perempuan ini?" Rizka melotot marah padaku. "John?" Jennifer menatapku dengan curiga. Aku memejamkan mataku menahan amarahku pada Rizka. "Dia bukan John! Dia Langit tunanganku dan kau-" "Diam di situ!" Aku langsung meraih pistolku dan mengarahkan senjataku pada Jennifer saat kulihat wanita itu bergerak ke arah tasnya yang aku tahu untuk mengambil senjata. Rizka pucat, terkejut dan takut. "b******n kau!" Jennifer mendesis marah. Kutekan mulut senjata ke kepalanya, lalu aku menghubungi temanku yang menunggu di luar. Dan tidak lama dua orang rekanku masuk. "Tangani dia, dan bawa wanita ini pada Tom. Malam ini kalian harus sudah di Las Vegas. Fernandez malam ini di sana melakukan transaksi. Aku akan menghubungi Tommy." Keduanya mengangguk, lalu mengikat Jennifer. "b******n b******k! Kau akan membusuk di neraka!" Jennifer berteriak mencaciku saat kedua temanku akan menutup mulutnya dan membawanya keluar. Aku memungut kemejaku dan memakainya. "Puas mengganggu pekerjaan kakak?" Aku menatap Rizka marah. "Kau benar-benar keterlaluan Riri, kalau kau memang sudah dewasa, tidak seharusnya kau melakukan hal bodoh seperti ini." Dia menunduk dan diam. "Ayo pulang." Aku keluar dan dia mengikutiku dari belakang. Saat kami berjalan di koridor sepi dia bersuara lirih. "Maafkan aku Langit." Aku menarik nafasku dalam. Lalu aku berbalik menatapnya yang sedang berdiri di belakangku menampilkan raut wajah bersalah.. "Lihat kakak Ri." Lalu dia menatapku. "Aku kakakmu, dan-" "Kau bukan kakakku!" Dia memotong ucapaku dengan marah. "Terserahmu saja," kataku ketus, lalu aku berbalik hendak berjalan. "Kakakku hanya Ringgo dan Roe! Sedangkan kau ... kau adalah laki-laki yang kucintai,” ucapnya dengan lantang dan menatapku berani walaupun aku tahu dia berusaha memberanikan diri untuk berbicara seperti itu. “Aku mendengar pembicaraanmu dengan wanita tadi di telepon saat aku ke kamarmu. Jadi aku mengikutimu. Aku cemburu!" Langkahku terhenti dan berbalik memandangnya. "Cemburu?" aku mendengus geli. "Yang benar saja." Rizka tiba-tiba menciumku. Dia memeluk leherku erat dan lidahnya menjilat bibirku. Ciumannya yang tidak berpengalaman itu tiba-tiba membuatku b*******h. Aku menarik pinggangnya dan di lorong sepi ini aku melumat bibirnya. Aku meraup bibirnya dengan mulutku, lidahku mencari lidahnya, hingga akhirnya lidah kami bertemu dan saling mencicipi. Aku angsung tersadar saat kawat giginya menyakiti lidahku. Aku pun langsung mendorongnya menjauh. "Lihat, kau juga tertarik padaku Lang," ucap Rizka tersenyum penuh kemenangan sambil terengah karena ciuman kami. Aku terkekeh, lalu menatapnya geli. "Aku hanya membalas keinginanmu Riri. Oh ... kau suka dipanggil Rizka ya? Baiklah Rizka, dengarkan aku, tingkahmu ini sama buruknya dengan perempuan murahan yang kucumbu di kamar tadi." Seketika dia memucat. "Aku tidak tertarik pada anak ingusan sepertimu Rizka. Kau- apa ya? Tampak bodoh seperti ini." Aku mengucapkan kata-kata kejam seperti peluru, agar gadis ini membuang semua perasaannya. "Lihat dirimu Rizka, kau ini bukan tipeku, aku suka perempuan seksi, dan berpengalaman. Bukan anak ingusan yang sok dewasa sepertimu." Aku mendekati dia yang pias dan gemetar. "Ciumanmu benar-benar payah Rizka. Dan kawat gigimu itu membuat bibir dan lidahku sakit. Tapi sekarang kau pasti sudah puas kan karena aku membalas ciumanmu?" Perkataanku yang kejam pasti membuatnya malu. Rizka menangis. Dia menatapku dengan sangat terluka. "Aku membencimu.” Lalu berlari meninggalkan aku. Aku memejamkan mataku. Ya, bencilah aku. Karena aku bukan orang yang tepat untuk dia cintai. Bahkan oleh siapapun. Aku benar-benar b******k karena sudah mengatakan Rizka sama murahannya dengan perempuan simpanan Fernandez. Ciumannya yang payah itu membuatku menginginkannya lagi, melumat bibirnya lagi. Sialan! Pengaruhnya begitu besar padaku setelah kejadian tadi malam. Ini tidak bisa dibiarkan, ini harus disudahi sebelum semua terlambat. Saat aku tiba di apartemen, Rizka turun dari kamarnya dan membawa kopernya. "Mau kemana?" aku bertanya. "Ke bandara dan pulang." Dia menjawab dingin. Wajahnya masih tampak sembab karena menangis. "Ini masih siang, kau terbang nanti malam." "Aku akan menunggu di bandara, lagi pula kau pasti muak melihat perempuan murahan sepertiku berkeliaran disekitarmu." ccapnya tajam dan itu menghantamku telak. Hubungan kami semakin kaku dan canggung sejak tadi malam. Situasi ini lebih rumit daripada berhadapan dengan para penjahat kelas kakap. "Tunggu sampai sore, kau bisa beristirahat dulu." "Aku tidak ingin beristirahat. Aku mau pergi sekarang." Rizka menyeret kopernya. "Aku akan mengantarmu kalau begitu." "Tidak perlu, aku sudah memesan taxi." "Aku akan mengantarkanmu Rizka." Aku menatapnya dengan penuh intimidasi. Aku mengambil koper dari tangannya, dan kami turun ke lobi apartemenku. Sesampainya dibandara aku menemaninya duduk menunggu jadwal terbang yang masih beberapa jam lagi akan terbang. Kami berdua diam tak bersuara. Sedikitpun Rizka tidak mau memandangku dan hanya melihat ponselnya. Aku ingin minta maaf atas perkataanku tadi padanya, tapi kalau aku melakukannya, itu  artinya aku seperti berkompromi dengan kejadian tadi. Akhirnya aku memilih diam. Waktu berlalu dalam kekakuan. Jam penerbangannya pun akhirnya tiba saat kami mendengar pengumuman. Rizka berdiri dan menarik kopernya, sedikit pun tidak menoleh padaku. Aku berdiri mengikutinya dari belakang. "Riri ... " Aku memanggilnya. "Selamat tinggal," ucapnya acuh tanpa mau melihatku. Dan hari itu adalah hari terakhir aku melihat Rizka. Dan setelah kejadian itu aku tidak pernah lagi pulang ke rumah setiap Natal untuk menghindari gadis itu. Dan yang lebih parah aku semakin merindukannya. Tapi bukan rindu kepada seorang adik lagi tetapi kepada wanita seutuhnya. Dan besok kami pasti bertemu, dan ini berbahaya.                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD