Angel melirik makanan Seizaki, lalu kembali pada wadahnya yang seperti mangkuk api mini.
“Beneran nih? Kamu kuat makan pedes?” tanya Angel setengah curiga, setengah berharap.
Seizaki mengangguk mantap.
"Iya, aman... udah, sini," ujarnya sambil mengambil wadah makanan dari tangan Angel, lalu menukarnya dengan miliknya sendiri tanpa ragu sedikit pun.
Tanpa banyak kata, ia kemudian mengambil botol air mineral dari kantong kresek di sampingnya. Ia membuka tutupnya dengan cekatan dan mengulurkannya ke Angel.
"Ini, minum dulu, Kak," ucapnya lembut, penuh perhatian.
Angel segera meraih botol itu dan meneguknya seperti seseorang yang baru lolos dari gurun pasir.
"Glek, glek..."
Setelah beberapa tegukan yang hampir membuatnya tersedak sendiri, ia menurunkan botol itu, menghembuskan napas panjang.
“Hufff... pedesnya udah mulai ilang,” ujar Angel seraya menyeka air di mulutnya.
Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu dan menoleh ke Seizaki.
"Oh iya..." ucapnya, kali ini dengan suara lebih pelan. “Seizaki, kamu beneran mau pergi dari panti?” Pertanyaan itu datang seperti angin dingin di tengah siang hangat.
Seizaki menoleh pelan. Ekspresinya kaku. Bibirnya sempat membuka, namun tak langsung mengeluarkan kata. Matanya berkedip sekali, lalu sekali lagi.
"Kenapa Kak Angel bisa tahu?" tanyanya akhirnya, nadanya pelan tapi terdengar jelas. “Padahal... yang aku kasih tahu baru Kazumi, Mama Anna, sama Pak Hotaru.”
Angel menarik napas pelan, lalu mengangguk kecil.
"Mama Anna yang bilang," ujarnya lirih. "Semua orang pasti bakal sedih kalau kamu beneran pergi..." Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan lorong rumah sakit. Tapi cukup jelas untuk mengguncang hati Seizaki.
Tangan Angel bergerak pelan mengambil sesendok nasi dari wadah rice bowl-nya. Suapannya kecil, seperti tak benar-benar ingin makan—hanya untuk mengisi mulut, agar tak terlalu terasa pahitnya kenyataan.
Seizaki menatap nasi di hadapannya, lalu mengambil sendok miliknya. Ia mengaduk-aduk isi wadah tanpa benar-benar memilih apa yang akan ia makan.
Setelah beberapa detik, ia menyendok lauk dan nasi sekaligus, dan menyuapkannya ke mulut, lalu berbicara dengan nada tertahan.
"Maaf, Kak... tapi aku bermimpi untuk menjelajahi dunia," ucapnya pelan, menunduk. Sendok di tangannya kini dibiarkan tergantung, tak bergerak. "Aku ingin tahu... semua hal yang ada di balik pagar panti kita. Dunia itu luas, dan aku… nggak mau cuma menontonnya dari jendela kamar."
Angel berhenti mengunyah. Matanya menatap lurus ke depan, tak memandang Seizaki. Setelah menghela napas kecil, ia tersenyum hambar.
"Kalau kamu ingin keluar panti, ya ikut aku kerja aja! Hahaha," katanya dengan nada ringan yang dibuat-buat. "Kita kerja bareng di bar desa, gimana? Aku bisa kenalin kamu ke bosku!"
Tapi Seizaki hanya tersenyum tipis, tak berkata sepatah pun. Melihat ekspresi Seizaki yang tetap diam dan tatapan matanya yang kosong menatap wadah makanan, Angel menunduk dan mengganti topik.
“Eh, kamu tahu nggak… aku dulu pernah masuk ke gudang belakang loh.” katanya tiba-tiba, menyeringai nakal sambil menyuap sesendok nasi ke mulut.
Seizaki langsung menoleh, matanya membulat penuh rasa ingin tahu.
“Benarkah?!” serunya nyaris setengah berbisik. “Bukannya gudang itu selalu dikunci, ya?”
Angel melirik kanan-kiri, memastikan tak ada orang lain yang mendengar, lalu berbisik sambil menyuap satu suapan lagi dengan senyum penuh kemenangan.
"Ya, aku pernah masuk sekali waktu aku masih kecil," kata Angel sambil menyuap nasi kecil-kecil ke mulutnya. Ia lalu mencondongkan tubuh ke arah Seizaki, wajahnya berubah serius.
"Hey... jangan kasih tahu siapa-siapa," bisik Angel dramatis, dengan tatapan seolah baru saja membocorkan rahasia kenegaraan.
Seizaki mengangguk cepat, menelan makanannya sebelum bersuara.
"Baiklah... tapi, apa yang ada di dalam gudang itu? Sampai-sampai Pak Hotaru melarang kita semua mendekat? Bahkan... Mama Anna pun pernah bilang dia juga nggak boleh masuk ke sana."
Angel meletakkan sendoknya perlahan, seperti sedang memikirkan cara terbaik menjelaskan sesuatu yang aneh namun nyata.
"Di dalamnya ... ada banyak benda-benda aneh. Ada bejana kaca, botol berisi cairan-cairan aneh, suntikan, alat-alat medis, kaca pembesar, mikroskop ... beberapa alat yang aku sendiri nggak ngerti buat apa."
Seizaki meletakkan makanannya, kini sepenuhnya fokus.
"Bagaimana Kak Angel bisa masuk? Bukankah pintu gudang itu selalu terkunci rapat?"
Angel bersandar ke kursi, napasnya mengembus pelan, tengah mengorek memori lama yang nyaris terlupakan.
"Waktu itu aku baru berumur delapan tahun. Hari pertamaku di Asahi House. Kau masih bayi saat itu—dan seingatku, hari itu juga jadi hari pertama Asahi House berdiri."
Ia berhenti sejenak, menatap langit-langit lorong rumah sakit, mencoba memastikan kebenaran ucapannya.
"Masih sepi. Belum ada anak-anak lain. Bahkan Mama Anna belum datang... beliau baru bergabung keesokan harinya. Jadi saat itu, cuma ada kita berempat."
Seizaki mengernyit.
"Berempat? Maksudnya… aku, Kak Angel, dan Pak Hotaru. Satunya lagi siapa?"
Angel menatapnya, terdiam sejenak, lalu membelalak.
"APA?! KAU TIDAK INGAT KAK MISA?!" serunya kaget, nyaris menjatuhkan wadah makanannya.
Seizaki menggeleng bingung.
"Kak Misa? Siapa itu? Aku … aku nggak ingat sama sekali..."
Angel menggigit bibir bawahnya, menunduk, lalu berkata dengan nada lebih lembut.
"Hmm ... mungkin kamu memang benar benar nggak mengingatnya. Saat kamu berumur tiga tahun, Kak Misa sudah delapan belas. Dia mulai bekerja di bar desa. Sejak itu, dia makin jarang pulang. Pulang pun larut malam, sering kali tanpa suara."
Ia mengaduk-aduk makanannya dengan sendok, gerakannya lesu.
"Dia menjadi ... orang yang tertutup dan penyendiri. Jadi wajar kalau kamu nggak kenal atau bahkan nggak pernah bicara dengannya."
Seizaki menatap ke lantai, ekspresinya berubah murung.
"Aku ingat sekarang. Aku pernah lihat wajahnya tapi cuma bayangan samar-samar di kepalaku." Ia menarik napas, suaranya makin lirih. "Dan lihatnya pun ... saat pemakamannya."
Sunyi.
Angel menunduk dalam-dalam.
Tangannya mengepal tanpa sadar di atas wadah makanannya.
"Ah... sudah," ujarnya lirih, nyaris tercekat.
"Jangan bahas Kak Misa. Aku... jadi sedih mengingat dia."
(To be Continued...)