Bab 10. Kesalahpahaman

1014 Words
Matahari naik perlahan ke permukaan bersama dengan kicauan burung yang terdengar lembut dan mesra. Orang-orang mulai beraktifitas walaupun rasa malas mereka begitu besar. Toko-toko mulai dibuka, para pejalan kaki melangkah dengan terburu-buru. Sementara itu, di sebuah kamar—seorang wanita masih tertidur pulas dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Alarm di ponselnya berbunyi, wanita itu berdecak sebal. Dia memaksa membuka mata, lantas dia memilih mengulur waktu selama sepuluh menit. Mata wanita itu kembali terpejam, dia menarik selimut sampai menutupi leher. Bianca, wanita itu kembali memejamkan mata. Alarm akan kembali menyala sepuluh menit kemudian. Di fase dewasa ini, memang tidur sebentar adalah hal paling berharga—itulah yang diterapkan Bianca selama ini. Konon katanya untuk menjaga kesehatannya. Belum sempat Bianca benar-benar terlelap, ponsel wanita itu kembali berbunyi. Kali ini bukan alarm, melainkan sebuah notifikasi yang berasal dari grup. Bianca membuka satu matanya, dia lantas mengecilkan volume ponselnya, wanita itu kembali memejamkan mata. "Ganggu orang tidur aja, sih," batin Bianca. Ponsel Bianca kembali berdering, wanita itu berdecak sebal. Dia meraih ponselnya dengan tak sabaran, mengangkat panggilan telepon dari salah satu teman sekelasnya—dia menempelkan ponselnya di telinga. "Hallo, kenapa, sih?" kesal Bianca. Mata Bianca membulat sempurna mendengar balasan dari seberang sana. Dia langsung melompat dari atas kasur dan meraih handuk yang ada di pintu lemari. Wanita itu melempar ponselnya asal, lantas berlari ke kamar mandi secepat kilat. Keran menyala, air mengalir pelan menciptakan suara khas. Wajah Bianca basah, ai menetes perlahan dari rambutnya. Wanita itu tak mandi, melainkan hanya mencuci muka dan menggosok giginya saja. "Sial, siapa yang ngide presentasi dimajuin, sih?!" omel Bianca sambil mengelap wajah dengan tisu. Dia segera keluar dari kamar mandi. Wanita itu mengambil satu set pakaian, dia memakainya dengan tergesa-gesa. Bianca menatap jam yang menggantung di dinding, dia mendengus saat waktu terus berjalan dengan cepat. "Sialan, sialan, sialan. Tau gitu gue nggak tidur lagi tadi," batinnya. Menyisir rambutnya asal, Bianca berjalan tergesa-gesa keluar kamar. Dia mengambil satu roti gandum dan berlari keluar rumah seraya membenarkan sepatu yang dia gunakan. Bianca menutup pintu, dia segera naik ke motor ojek online yang dia pesan. Bianca menghela napas, dia menatap jam tangannya yang sudah cukup usang. Bianca menepuk bahu pria asing yang tengah menyetir sepeda motor dengan kecepatan sedikit lamban. "Mas, tolong agak cepat, ya. Saya sudah telat." Dia mengucapnya dengan lembut dan sedikit terburu. "Baik, Mbak." Pagi itu terasa lebih cepat dari biasanya, Bianca harus bertaruh melawan waktu agar sampai tepat waktu ke kampus. *** Matahari berada di atas kepala setiap orang, siang ini begitu terik. Orang-orang mengeluh, sebagian mendumel dengan nada kesal dan ucapan sarkas, sedangkan sebagian lagi memilih menghela napas seraya mengibaskan tangan di depan wajah. Di dalam restoran, Bianca duduk dengan wajah kusut. Badannya bersandar di kursi, dia melipat tangan di depan d**a, bibir Bianca cemberut. Sementara itu, Alin memandang datar sahabatnya itu, tatapannya tajam, ekspresi Alin menunjukkan bahwa dia telah muak. "Ya lu lagian, ya, Bi. Kenapa bisa gituan sama orang asing? Lu punya kendali buat nolak, malah mau!" cerca Alin. Bianca meringis pelan. "Namanya juga kegoda, dia ganteng, sih." Jawaban itu membuat Alin mendengus dengan tatapan kesal. Dia meletakkan sendok dan garpu di atas piring dengan gerakan tenang. Alin menghela napas panjang, dia menggeser piring ke depan, lantas melipat tangannya di atas meja. Punggung Alin tegak, tatapan perempuan itu tak beralih dari Bianca yang sedang menyeruput jus favoritnya—jus stroberi. "Orang tua lu udah nggak ada, Bi. Setidaknya lu jangan bertingkah, kasian orang tua lu di atas sana," kata Alin dalam satu tarikan napas. Bianca terdiam mendengarnya. Dia meletakkan gelasnya di atas meja. Matanya berkaca-kaca, memandang sendu sahabatnya itu. "Gue juga sempet ngerasa bersalah, Lin. Sialnya, gue kegoda dan kegoda," jawab Bianca dengan suara lirih, dia menarik napas panjang. "Dan ternyata bos gue udah ada pasangan, kemarin gue liat. Gue yakin perempuan itu pasangan dia, soalnya di ke lantai yang cuman ada ruangan bos gue doang," sambung Bianca. "Nahkan!" Alin berdecak sebal. "Apa gue bilang. Lu yang rugi sekarang, kenapa sih nggak mikir sampai sana?" Menyengir lebar sampai memperlihatkan giginya. Bianca lantas meringis malu, dia menggaruk pipi kirinya. Dia lantas menundukkan kepala saat mendapati tatapan tajam dari Alin, bibirnya Bianca mengerucut. Sungguh dia tak bisa menghadapi Alin, Alin memang tenang, tetapi sekalinya berbicara—rasanya berhasil membuat Bianca tak bisa berkata-kata. "Yang dosa itu emang enak dan menggoda, Bi. Gue harap setelah ini lu lebih bijak dan dewasa," tutur Alin dengan helaan napas. Bianca mendongak, bibirnya turun ke bawah—dia lantas berdiri dan menghampiri Alin. Wanita itu memeluk Alin dari samping, dia menempelkan kepalanya dengan kepala Alin. "Makasih, makasih lu selalu nasehatin gue. Gue beneran nggak ngerasa sendirian karena lu." Mengusap bahu Bianca, Alin tersenyum tipis. "Udah tugas gue sebagai sahabat, Bi." *** Sore itu, jalan raya ramai seperti biasanya. Angin membawa aroma gorengan menyebar di sepanjang jalan. Kendaraan melaju dengan kecepatan sedang, terkadang suara klakson terdengar tak sabaran dan umpatan yang mengikuti. Di pinggir jalan, seorang wanita paruh baya berdiri di trotoar. Dia ingin menyeberang, tetapi kendaraan seakan tak memberinya jalan untuk melintas. Lututnya mulai nyeri, tetapi dia tetap berdiri seraya mengipasi wajahnya dengan tangan. Di trotoar, Bianca tengah menanti siomay buatannya selesai dibuat. Dia menatap sepanjang jalan, sampai matanya tak sengaja menatap seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Bianca segera mengalihkan perhatiannya pada sang penjual. "Mas, bentar ya! Mau nolongin ibu-ibu itu!" katanya seraya menunjuk wanita dengan baju merah dan motif bunga-bunga. Bianca melangkah dengan cepat. Setibanya di sana, dia langsung mengandeng tangan ibu itu. Wanita itu menunduk, dia tersenyum manis pada ibu itu. "Saya bantu, Bu." Tanpa kesulitan Bianca mengangkat tangannya dan membantu wanita yang tak dia kenal. Setibanya di seberang jalan, mereka berhenti—Bianca tersenyum manis pada wanita yang kini memandangnya dengan hangat. "Makasih, ya, Nak. Kamu baik sekali, mau jadi menantu Ibu?" ucap wanita itu. Mata Bianca terbelalak, dia menggeleng seraya meringis tak enak. "Saya sudah punya suami dan lima anak, Bu. Maaf, ya," jawab Bianca asal. Terlihat wajah wanita itu sedih, sedangkan Bianca menggaruk kepalanya. "Bu, saya pamit ya. Hati-hati, Bu." Bianca melangkah menjauh dan menyebrang dengan pikiran yang begitu ramai. "Hidup lagi capek malah ditawarin anak orang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD