II. TERBUKTI

4250 Words
Keheningan menyelimuti halaman belakang rumah Athaya. Hanya ada suara binatang malam yang terdengar saling bersahutan. Athaya menatap lurus ke depan, menikmati taman bunga kecil yang di bangun oleh Mang Ujang, supir sekaligus penjaga rumahnya yang sudah ada sejak lama. Matanya berpencar liar memandang beberapa bunga yang di tanam. Tubuhnya terbawa maju mundur karena ayunan yang didudukinya. Dihembuskan napasnya gusar mengingat bagaimana kejadian di ruang makan tadi. Athaya akan dijodohkan dengan orang yang membencinya bahkan tidak pernah dikenalnya. Ia marah? tentu saja, siapa yang tidak marah karena dijodohkan secara mendadak dengan orang yang tidak dikenal, bahkan orang itu adalah orang yang benar-benar harus berada jauh darinya, tapi jika ingin marah, Athaya harus marah pada siapa? Marah karena apa? Perjodohan ini memang sudah direncanakan dari awal bahkan sebelum Ayahnya bertemu dengan Ibunya. Jadi yang bisa Athaya lakukan hanya diam dan tidak tau apa yang harus dilakukan. Suara gesekan antara sepatu dan tanah kerikil membuat Athaya tersadar jika ia tidak sedang sendirian di sini. Disampingnya, tepat di ayunan sebelah kanan ada Althaf yang tengah duduk diayunan dengan menggerakan ayunan itu perlahan. Althaf menatap Athaya yang hanya diam tak bergeming membuatnya kesal. Setelah makan malam selesai keluarga mereka memberi waktu untuk Althaf dan Athaya mengobrol, lalu pilihan Athaya membawanya ke tempat ini. Halaman belakang rumah yang penuh dengan bunga-bunga dan beberapa pohon jambu batu. "Batalin kalau nggak bisa, kak," suara Athaya memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka. Althaf menoleh menatap Athaya dan kembali menatap ke langit, menikmati bintang yang tampak banyak sekali malam ini. Berpikir apa yang harus dilakukan untuk perjodohan ini, lebih tepatnya pemaksaan hubungan ini. Entah mengapa sekarang perasaan emosi nya tidak menggebu-gebu seperti biasanya. "Mereka nggak akan mau denger kalau kita ngebatalinnya. Percuma," kata-kata Althaf membuat Athaya tersenyum, "mereka nyuruh kita ngobrol itu buat ngebahas ini, kak," Benar. Mungkin orangtua mereka membiarkan mereka berdua dan memberi waktu untuk mereka agar mereka berdua bisa membicarakan hal ini. Untuk membicarakan kelanjutan dari rencana perjodohan ini, apa mereka akan menolak atau bersedia. Hanya saja, sekuat apapun mereka berdua menolak tetap saja perjodohan ini akan terjadi dan mau tidak mau, suka tidak suka Athaya dan Althaf harus berjodoh. Mungkin hanya takdir Tuhan yang akan merubah nasib mereka. "Bukan! Mereka cuman mau kita lebih dekat," bantah Althaf membuat Athaya mengernyitkan dahi. "Bisa jadi. Tapi kita nggak bisa dekat, kak. Lagipula kenapa kakak tadi cuma diem nggak nolak, padahal kakak punya hak buat itu. Aku tau hubungan kita nggak baik tapi nggak juga kita harus kayak gini," "Trus lu gimana? Kenapa lu nggak nolak juga? Lu punya hak buat itu," "Kakak tau sendiri 'kan kejadian tadi kayak gimana? Aya mau nolak juga percuma kalau nyatanya Atheya sendiri yang nyuruh Aya. Lagipula mana bisa keluarga Aya menolak lagi setelah Atheya menolak. Alasannya ini, Aya nggak bisa ngebantah atau nolak kemauan Atheya dan Aya rasa kakak sendiri yang punya alasan buat ngebatalin ini," "Lu ngatur gua seolah lu tau apa yang gua mau," "Nggak maksud cuman aneh aja kenapa seorang Althaf bisa diatur sama orangtuanya sendiri, padahal semua orang juga tau gimana ka..." "Emang gua gimana?" Potong Althaf mulai emosi, sedari tadi dirinya sudah mencoba menahan emosinya agar tidak keluar. Setidaknya tidak di rumah gadis kecil ini dan dihadapan orangtuanya. "Kakak itu orang yang tidak akan menerima aturan. Kakak nggak mau diatur dan kakak nggak akan ngebiarin seorang pun ngatur hidup kakak. Setidaknya itu yang tergambar dari kakak, sorry kalo salah," Althaf mendengus mendengar penilaian Athaya terhadap dirinya yang sialnya itu benar. Aturan itu mengikat dan Althaf tidak suka keterikatan. Ia benci jika harus diatur dan hidup dengan penuh aturan, ia suka kebebasan. Hidup ini satu kali jadi manfaatkan untuk itu. Bebaskan diri. "Atau kakak sengaja nggak ngebatalin perjodohan ini karena mau buat hidup Aya nggak tenang? Ini bentuk balas dendam kakak?" Seketika Althaf menatap Athaya dan kini Athaya membalas tatapannya. Lagi-lagi Althaf terpaku dengan mata polos Athaya. Mata bening yang sangat menghipnotisnya seolah tidak ada yang bisa dilewatkan untuk menatapnya. "Aya anggap diam kakak itu jawaban," lanjut Athaya dan seketika Althaf tersadar. "Maksud lu? Awalnya nggak mikir sampe situ tapi berhubung lu dengan senang hati ngingetin gua, jadi nggak ada salahnya ide lu itu gua pake," Althaf tersenyum melihat Athaya yang membulatkan matanya. Ia merasa menang dalam perdebatan ini. "Dan ngelupain fakta kalau ada Kak Mayang?" Kini giliran Athaya yang tersenyum menang. Entah sejak kapan pertarungan debat ini dimulai tapi yang pasti, ia merasa mulai tertantang untuk memenangkan perdebatan ini. Mayang? Siall!! Batin Althaf. Kenapa Althaf melupakan Mayang? Bukankah tadi ia sempat memikirkan perasaan Mayang tapi sekarang kenapa ia lupa? Bahkan tidak ingat sama sekali. Althaf membuka mulutnya namun ditutup kembali ketika seseorang berteriak memanggil mereka untuk segera kembali ke dalam rumah. Tanpa banyak berbicara Athaya melangkah ke dalam rumah meninggalkan Althaf. Langkah kaki kecil Athaya terhenti ketika tangannya dipegang oleh Althaf, Athaya menoleh menatap tangan lalu wajah Althaf. "Mau ada Mayang atau nggak, yang pasti gua nggak bisa batalin ini. Yang bisa cuman lu. Kalau lu nggak ngebatalin juga, itu berarti lu harus bisa nerima resiko kalau ada seseorang dihati gua yang nggak akan bisa diisi oleh orang lain lagi!" Peringatan Althaf membuat Athaya termenung dan kini giliran Althaf yang meninggalkan Athaya sendirian. Langkahnya terhenti dan berbalik menatap Athaya kembali, "oh ya, gua cuma mau bilang. Welcome to my world," smirk dari bibir Althaf begitu menakutkan membuat Athaya terpaku. *** Perkataan Althaf memang tidak main-main. Ia membuktikan perkataannya dengan mengganggu Athaya dimana pun gadis itu berada. Sudah hampir satu semester Althaf meluapkan emosi serta kekesalannya akan perjodohan ini dengan melampiaskannya kepada Athaya. Dengan cara yang tidak menyakiti namun tetap membuat Athaya jengkel serta kewalahan, walau masih menampakkan wajah datar setiap menerima perbuatan Althaf yang sangat gila dan kekanakan menurutnya. Mulai dari membuang sepatu Athaya saat pelajaran Pendidikan Agama, ketika materi praktek di masjid sekolah yang mengharuskan Athaya untuk melepaskannya sementara dan saat itu lah Althaf mengambil kesempatan itu untuk membuang sepatu Athaya lalu tanpa perasaan ia membuangnya di sebuah selokan di belakang sekolah hingga hanyut terbawa air. Alhasil, Athaya pulang dengan menggunakan sendal jepit yang dipinjamkan pengurus mesjid. Selain itu Althaf pernah membuat Athaya merapikan buku di perpustakaan karena dengan sengaja Althaf mendorong rak tersebut hingga semua buku itu berhamburan terjatuh di lantai berantakan dan Althaf langsung kabur setelahnya, lalu penjaga perpustakaan yang melihat hanya ada Athaya akhirnya menyalahkan Athaya yang melakukan itu dan sebagai hukumannya ia harus rela tidak mengikuti dua mata pelajaran dan pulang magrib hanya demi merapikan kembali buku-buku secara berurutan. Kali ini Athaya tengah memanjat sebuah pohon yang berada di pinggir lapangan sekolah. Dengan hati-hati Athaya menaiki batang pohon, menginjak dahan-dahan pohon agar sampai ke tempat satu objek. Kening dan belakang punggungnya sudah penuh dengan keringat, bibirnya pucat dan ia tidak mau mengalihkan matanya kemana pun selain kepada tujuannya. Tangannya terulur ke atas mengambil sesuatu yang tergantung di dahan pohon, sedikit lagi ia hampir mendapatkannya. "Hati-hati, Ya!" Teriak Sherly di bawah sana. Athaya berusaha menulikan pendengarannya karena tidak ingin fokusnya hilang. Ia harus fokus mendapatkan tas nya yang tergantung di sana. Entah siapa yang berhasil menggantungkan tas itu tapi Athaya tau siapa yang bisa melakukan hal ini. Siapa yang berani menggantungkan tas Ketua OSIS di atas pohon kalau bukan seseorang yang selalu mengusik hidup Athaya kali ini. "Wah ... wah ada apaan nih rame rame?" ucap seseorang dengan nada santai namun terselip nada mengejek. Disana Althaf berdiri, di kerumunan beberapa orang yang memang tengah mengawasi Athaya yang tengah memanjat pohon. Orang-orang langsung menoleh menatap Althaf bahkan ada yang menjerit tertahan melihat sosok Althaf berdiri sambil melipat tangannya di d**a. Seorang Althaf berdiri di tengah kerumunan dengan gaya cool serta senyum meremehkan menatap seorang gadis yang tengah berusaha mengambil tas yang tergantung. "Wahhh Bu Ketu, ngapain di atas sana? Nyari pisang? Itu bukan pohon pisang, itu pohon mangga. Bu Ketu kalo mau nyari makanan favoritnya jangan di pohon sini. Nggak ada tangga emang? kayak monyet gitu sampe manjat-manjat." ucap Althaf dengan senyum lebarnya. Tidak ada tangga? Tentu saja, semua tangga yang khusus di sediakan sekolah sudah Althaf amankan hingga Athaya terpaksa mengambil dengan cara memanjat. Althaf tidak tanggung dalam menjahili Athaya, dan sudah Althaf pastikan tidak ada yang bisa membantu Athaya untuk mengambilkan tas itu. "Perlu bantuan, Bu Ketu?" Tawar Althaf kembali dengan nada meledek. Athaya tidak menghiraukan ucapan Althaf. Ia terus fokus untuk mendapatkan tas itu, tasnya tidak boleh sampai jatuh. Athaya menggigit bibir bawah, mempererat pegangannya pada batang pohon dan tangan satunya lagi berusaha lebih terulur agar dapat meraih tas tersebut dan dengan usahanya akhirnya ia berhasil meraih tas itu. Athaya menghembuskan napas lega, ketika tas tergantung di dahan pohon itu sudah berpindah ke dalam dekapannya. Semua orang yang di bawah akhirnya lega melihat keberhasilan Athaya. Sedangkan Althaf tersenyum miring sambil bertepuk tangan, "wahh Bu Ketu berhasil!" Ucapnya semangat. "Ya! cepet turun, hati-hati!" teriak Sherly was-was. Mata Athaya menatap ke bawah dan seketika kepalanya terasa berputar. Dengan cepat Athaya menutup kelopak matanya dengan rapat. Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Tubuhnya gemetar dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bu Ketu cepet turun. Betah banget di atas sana. Bener-bener turunan anak utan ini mah," ujar Althaf melihat Athaya yang masih diam di atas sana. Athaya menghembuskan napasnya perlahan, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba tersendat. Dengan hati-hati Athaya turun ke bawah dengan satu tangan yang memegang erat tas itu. "Ketua OSIS Perdana Husada manjat pohon sekolah," teriak Althaf lagi. “Aya ‘kan phobia tinggi,” Bisik Sherly menggigit jarinya cemas. Semua hanya dapat diam mendengar celotehan Althaf. Mereka tau bagaimana permusuhan tak kasat mata antar anak pemilik sekolah dengan sang Ketua OSIS itu. Althaf terkekeh merasa senang karena sudah berhasil menjaili Athaya, mengganggu sang Ketua OSIS dan membuatnya harus berjuang sendirian untuk mendapatkan kembali tasnya sambil di tonton oleh anggota siswi OSIS lainnya. Brukkk. "Kak Aya!" "Aya! Astaga," Althaf terdiam menatap Athaya yang terjatuh sambil memeluk erat tasnya. Athaya memejamkan mata ketika merasakan tubuhnya membentur tanah. Tanpa menghiraukan orang-orang yang menggerumuninya bahkan Sherly yang dengan cemas menanyakan keadaannya. Athaya langsung membuka tas yang tadi ia peluk erat tadi. Mengecek sesuatu dengan tergesa, lalu menghembuskan napas lega ketika benda yang ia temukan baik-baik saja, tidak rusak apalagi pecah. Athaya tidak tau apa yang terjadi jika benda itu rusak, ia pasti tidak akan punya apa-apa lagi. Athaya kembali memeluk tasnya erat sambil memejamkan matanya. "Ya! tangan lu...," suara Sherly membuat Athaya mendongkak menatap Sherly yang berada di sampingnya dengan wajah panik. "Kenapa?" Tanya Athaya bingung. "Tangan lu, tangan lu berdarah," histeris Sherly. Athaya melirik tangan yang dimaksud oleh Sherly dan mata Athaya melebar melihat tangan kiri yang di bagian sikutnya mengeluarkan darah segar yang banyak. Bahkan darah itu sudah mengotori rok dan seragam sekolahnya. Tapi Athaya tidak sadar atau merasa sakit sedikit pun. "Cepet ke UKS!" panik Sherly menarik Athaya dan menuntunnya untuk ke UKS, diikuti orang-orang dibelakangnya. Althaf terdiam melihat kejadian tadi. Melihat bagaimana ekspresi ketakutan serta kelegaan Athaya setelah memeriksa isi tas tersebut. Hatinya sedikit gundah melihat bagaimana Athaya yang seperti itu dan perasaan bersalah sedikit menyelimuti hati Althaf terutama melihat tangan Athaya yang terluka bahkan sampai mengeluarkan darah yang cukup banyak sampai menetes ke tanah. Apa ia sudah keterlaluan? *** Athaya terdiam menatap sebuah benda yang berada di tangan kanannya. Benda yang ia lindungi hingga membuatnya rela mengorbankan tangan kirinya terluka bahkan terkilir hingga harus di lilit perban. Benda pemberian dari Ayahnya ketika ia berulang tahun yang ke lima belas tahun. Saat itu ulang tahun terakhir ia bisa merayakannya bersama sang Ayah. Ia tidak ingin benda ini sampai rusak atau bahkan hilang. Athaya selalu membawa benda itu kemana pun ia pergi dan ia selalu menyimpannya di dalam tas. Bunyi pintu yang terbuka membuat Athaya langsung menyembunyikan benda itu di balik selimut. Mata Athaya menatap pintu yang terbuka setengah dan sosok Althaf berdiri tegak dengan salah satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku seragamnya. Althaf berdeham menutup pintu UKS lalu berbalik menghadap Athaya yang masih menatapnya dengan wajah datar. Mata Althaf melirik tangan kiri Athaya yang terlipat di atas perutnya dengan dibalut perban serta sebuah kain biru dengan tali kecil yang menggantung ke lehernya hingga tangan yang terbalut kain itu menggantung. Separah itukah? Althaf perlahan berjalan mendekati Athaya hingga ia berdiri tepat di ujung ranjang UKS tepat berhadapan dengan Athaya yang masih diam menatapnya dengan datar. Althaf tersenyum miring menatap Athaya dengan tatapan meremehkan, "Gimana? Udah nyerah?" Athaya menatap Althaf, "nyerah? Buat apa?" Tanya Athaya datar. Althaf menghirup napasnya dalam-dalam. Rasa sedikit kasihan yang sempat dirasakannya menguar begitu saja tergantikan dengan rasa kesal dengan respon Athaya padanya. "Gua sering jailin lu, gua sengaja ganggu hidup lu. Buat lu nggak tenang dan lu tau betul apa penyebab gua lakuin itu ke lu. Apa lu udah nyerah sama kelakuan gua? Lu udah nyerah sama kejailan gua." jelas Althaf. "Nggak," jawab Athaya singkat. Tangan Althaf yang berada di dalam saku celana terkepal. Ia tidak suka dengan jawaban Athaya yang singkat itu, seolah apa yang mereka bicarakan itu tidak penting. "Oke. Gua bakal terus ganggu hidup lu sampe lu batalin perjodohan ini," dengan tegas Althaf mengatakan itu sambil menggermetakkan giginya, "Gua mau lu batalin perjodohan ini apapun caranya," lanjut Althaf. Dengan emosi Althaf membalikkan tubuhnya untuk segera pergi dari ruangan itu, "kenapa harus Aya?" Pertanyaan Athaya sukses membuat Althaf terdiam. Althaf membalikkan tubuhnya kembali menghadap Athaya. "Karena cuman lu yang bisa batalinnya," jawab Althaf. "Kenapa Aya?" Tanya Athaya lagi. "Kenapa bukan kakak aja yang batalin? Bilang sama Pa Ari kalau kakak menolak perjodohan ini," lanjut Athaya Althaf semakin mengepalkan tangannya, "Gua maunya lu yang bilang," keukeuh Althaf. Athaya tersenyum tipis lalu menundukkan kepalanya, "kenapa kak?" Tanya Athaya lagi, "apa kakak takut fasilitas kakak dicabut kalau kakak yang batalin perjodohan ini? Kakak nyuruh Aya yang batalin perjodohan ini biar kakak tetep aman. Iya ‘kan?" lanjut Athaya dengan diakhiri senyuman miring yang tercetak sangat jelas membuat Althaf mendidih. Gadis yang dihadapannya ini selalu berhasil meluluhlantakan emosi Althaf. Memancing amarah Althaf. Rahang Althaf mengeras menatap Athaya tajam hingga mungkin jika bisa sampai membolongi Athaya dengan tatapan tajamnya itu. Sebenarnya Athaya tau kenapa Althaf sangat bersikeras menentang perjodohoian ini dan meminta Athaya untuk menolaknya. Selain karena tidak suka dan juga karena memiliki kekasih, Althaf di ancam Ari jika Althaf sendiri yang membatalkan maka Ari akan mencabut semua fasilitas yang selama ini dinikmati oleh Althaf. Bahkan terancam tidak akan mendapatkan uang bulanan yang biasa selalu Ari beri. "Terserah. Gua nggak peduli sama pikiran lu itu. Fine ..., itu mau lu jadi jangan salahin gua kalo mungkin lu bakal menderita lebih dari ini. Kita liat sejauh mana lu mau pertahanin perjodohan ini," ucap Althaf lalu melangkah pergi sambil menutup pintu UKS dengan kencang meninggalkan Athaya yang langsung menghembuskan napasnya perlahan setelah kepergian Althaf. *** "Oke, cukup!" intruksi Raka menghentikan latihan hari ini. Athaya menghembuskan napas lega lalu berjalan menjauhi mic dan duduk merosot di sudut ruangan dimana tas terkumpul di sana. Athaya mengambil satu botol air mineral yang tersimpan di dalam dus yang tak jauh dari tempat Athaya duduk. Athaya meringis ketika tangan kiri yang ia pakai untuk memegang botol minum itu terasa ngilu. Tak habis akal Athaya menyimpan botol tersebut diantara kedua lutut kaki dan menghimpitnya kuat dengan tangan kanan yang berusaha membuka tutup botol. Athaya meniup poninya hingga terapung ke atas sambil menghembuskan napasnya, ingin minum saja ia harus bersusah payah. Botol yang terhimpit kedua lututnya kini terlepas dan beralih di tangan seseorang. Athaya mendongkak menatap Raka yang tengah membukakan tutup minuman itu lalu menyodorkan minuman itu padanya. "Pengertian banget lu," ucap Athaya menerima minuman itu lalu meneguknya rakus karena memang ia sudah kehausan karena dua jam ia terus berlatih bernyanyi. Raka duduk di samping Athaya sambil mengeluarkan handphone yang berada dalam sakunya, "tangan lu kenapa, Ya? Abis tawuran?" Tanya Raka tanpa menoleh. Athaya mengelap bibirnya dengan punggung tangannya lalu menoleh menatap Raka, "Gua jatuh di atas pohon," jawab Athaya lalu ikut mengeluarkan handphone. Mengecek beberapa pesan yang masuk, membacanya tanpa berniat membalas. Raka hanya terkekeh mendengar jawaban Athaya, "jatoh dari pohon? Ko bisa?" "Ya bisalah," "Gua kira nggak bakal jatuh. Bukannya lu jago banget soal manjat-manjat gitu, lu 'kan turunan monyet," Reflek Athaya memukul lengan Raka, "sialan lu," umpatnya dan Raka hanya tertawa. Setelah puas tertawa Raka berdeham lalu membenarkan posisi duduk hingga Athaya menoleh menatap laki-laki satu grup band nya itu. Raka teman satu kelas sekaligus teman satu grup nya dalam band. Raka yang baik bahkan sangat bertanggung jawab dalam tim nya, ia juga menjabat sebagai Ketua diangkatan sekarang untuk sebuah band sekolah. "Udah ada ide buat ntar pensi kelas tiga?" Tanya Raka menatap Athaya yang langsung mendapatkan gelengan dari Athaya. Sebagai Ketua OSIS maka Athaya harus mulai mempersiapkan segala sesuatunya dari sekarang, walau acara pensi yang dimaksud masih lama tapi tidak ada salahnya bukan sudah mulai membahasnya sekarang. Raka mengangguk mengerti lalu kembali berkutat dengan handphonenya. Dan Athaya terdiam memikirkan acara pensi yang akan ia Ketuai nanti. *** Athaya berjalan cepat menuju parkiran sekolah namun tiba-tiba bahunya tersenggol dari belakang. Athaya diam menatap Althaf yang dengan cueknya berjalan menuju parkiran sekolah sambil memainkan kunci motornya itu, padahal ia sudah menyenggol bahunya Athaya. Menghela napas Athaya kembali berjalan menuju tempat parkiran. Althaf memasukkan kunci motor lalu duduk di atas jok nya. Ia tau tadi ia menyenggol Athaya dengan sengaja, ia masih kesal dengan gadis kecil itu. Mata Althaf melirik Athaya yang tengah berjalan menuju kemari, Althaf menatap tajam Athaya yang tengah berdiri beberapa motor darinya. Untuk apa ia kemari? Althaf mendengus melihat seseorang berjalan menuju Athaya, Althaf tau laki-laki yang menghampiri Athaya itu adalah ketua band sekolah ini. Kalau tidak salah namanya Raka atau siapa. Ia tidak peduli. "Sayang," Althaf menoleh menatap Mayang yang sudah berada di sampingnya. Althaf tersenyum, "udah?" Tanyanya dan Mayang mengangguk, "pulang sekarang?" Tanya Althaf lagi dan diangguki lagi oleh Mayang. Althaf mulai mengeluarkan motornya lalu menjalankan motornya setelah Mayang duduk sempurna dibelakangnya. Althaf melirik dua orang yang tengah berbincang di parkiran itu melalui sudut matanya. Dimana tangan Athaya yang tengah digenggam oleh Raka, sepertinya mereka tengah berbincang serius, terlihat dari Raka yang tengah berusaha membujuk Athaya dan gadis itu menggelengkan kepala tanda menolak. 'Pacarnya? Huh, ... udah punya pacar juga masih aja mau dijodohin,' ucap batin Althaf. *** Athaya melangkah masuk ke dalam rumah, "assalamu'laikum," salamnya sambil berjalan perlahan. "Wa'alaikumsallam," Athaya terdiam menatap dua orang yang tengah duduk di ruang keluarga sambil tertawa bahagia. Athaya tersenyum tipis walau dalam hatinya merasa terluka melihat bagaimana interaksi antara Ibu dan kakaknya itu. Mereka berdua terlihat bahagia seperti Anak dan Ibu yang kompak, ia merasa iri melihat kedekatan keduanya. Athaya menunduk lalu berjalan cepat menuju tangga melewati dua orang yang masih asyik berbincang. "Loh tangan lu kenapa?" Athaya menghentikan langkahnya yang hendak menaiki anak tangga. Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah Athaya yang diam tanpa mau membalikkan tubuh untuk menghadap mereka atau menoleh menatap mereka. "Tangan lu kenapa? Ko bisa kayak gini, hah?" tanya Atheya ketika sudah berada di samping Athaya dan melihat tangan Athaya yang terbalut bahkan harus sampai di tahan memakai kain entah apa namanya itu agar tidak terlalu banyak bergerak. "Patah. Jatuh," jawab Athaya kembali hendak melangkah dan terhenti ketika mendengar suara Ibunya yang mengatakan sesuatu. "Pasti balapan lagi?" Tanya Ibunya. Athaya memejamkan matanya. Athaya sadar ia juga nakal tapi apakah setiap apa yang ia lakukan selalu berhubungan dengan balapan. "Aya sekolah, nggak balapan!" bantahnya lalu melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. "Bu, ... jangan gitu, siapa tau memang jatuh bukan balapan," ucap Atheya menghampiri ibunya dan duduk disebelahnya. "Iya jatuh pas balapan. Adik kamu ‘kan memang suka gitu. Nggak tau Ibu harus kayak gimana didiknya, jauh banget sama kamu. Dia itu cewe, kelakuan kayak cowo aja," ucap Ibunya. "Eh bu, tau nggak ada baju bagus keluaran baru loh liat nih," ucap Atheya mengalihkan topic pembicaraan. Athaya mencengkram handle pintu. Ia mendengar semuanya, mendengar perkataan ibunya itu. Dengan cepat ia membuka pintu lalu menutupnya dan melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ia butuh yang dingin karena hawanya terasa panas. *** "Ya! dipanggil guru BK,"teriak Sherly mendekati Athaya yang tengah membaca buku novel. Athaya mendongkak menatap Sherly datar, "kenapa?" Tanyanya. "Nggak tau," jawab Sherly cuek. Athaya menghembuskan napas lalu bangkit berdiri menuju ruangan BK yang berada di gedung pusat. Sekolah Perdana Husada ini di desain sangat bagus dan rapi, dimana bangunan-bangunan akan terpisah. Gedung khusus untuk kelas berada di sebelah kanan bagian. Tiga tingkat dengan lantai satu khusus untuk para kelas satu begitupun selanjutnya. Di tengah-tengah sekolah terdapat dua lapangan besar yang satu khusus digunakan untuk upacara atau pun olahraga lain dan untuk satunya lagi lapangan khusus untuk basket. Diseberang gedung yang sama besarnya dengan gedung kelas terdapat ruangan Praktek, UKS, Kantin dan beberapa ruang Guru dan untuk gedung yang berdiri di belakang lapangan itu khusus untuk ruangan para staf sekolah, Ruangan BK, Tata Usaha, dan juga Ruangan Kepala Sekolah. Di depan sekolah terdapat gedung yang sering dilalui para siswa-siswi atau anggota sekolah dan para tamu yang datang berkunjung ke Perdana Husada. Akses keluar masuk yang di penuhi dengan berbagai etalase yang berisi berbagai piala yang pernah didapatkan Siswa-Siswi sekolah. Athaya mengetuk pintu yang di atasnya bertuliskan R. Badan Konseling lalu membuka pintu ketika seseorang di dalam menyuruhnya untuk masuk. "Permisi bu, Ibu panggil Aya?" Tanya Athaya sopan walau masih memasang wajah datar. "Iya Aya, silahkan duduk," ucap Reni selaku BK di sekolah Perdana Husada. Wanita yang sudah berumur kepala empat namun memiliki suara lembut hingga semua orang tidak akan pernah merasa takut jika harus berhadapan dengan guru BK, tidak seperti kebanyakan guru BK di sekolah lain. Disini guru-guru BK amat sangat lembut namun tegas dalam menangani masalah muridnya. Athaya duduk, "ada apa ya Bu?" Tanya Athaya. Reni tersenyum lalu melirik tangan Athaya yang terluka, "tangan kamu masih sakit?" Tanya Reni lembut. Athaya menggeleng, "Nggak sakit bu cuman sedikit linu aja. Sebentar lagi juga sembuh," jawab Athaya. Reni tersenyum lalu suara ketukan pintu kembali terdengar, "masuk!" ucapnya dan muncullah seseorang yang ditunggunya. "Nah, masuk nak Althaf. Ayo silahkan duduk," Althaf mengangguk dan menuruti perintah Bu Reni. Setelah duduk Althaf melirik sebelahnya dengan sinis. "Ada apa Bu?" Tanya Althaf. "Kalian ada masalah?" Tanya Reni dengan senyuman khas seorang ibu pada anaknya. Athaya diam sedangkan Althaf menggeleng. Reni hanya tersenyum melihat respon kedua anak muridnya itu. "Begini, ibu dapat laporan kalau kemarin Athaya jatuh dari pohon dan tangan kirinya sampai patah. Katanya Athaya manjat pohon karena mau ngambil tas nya. Begitu, Aya?" Athaya mengangguk, "Althaf tau siapa yang udah nyimpen tas Athaya di atas pohon?" Tanya Reni pada Althaf. Althaf diam membuang muka. Tangannya terkepal, sudah pasti gadis yang disebelahnya itu yang melaporkan kejadian kemarin. Cih, ... dasar pengadu. "Ibu tau kalau kamu yang nyimpen tas itu di atas pohon, Al. Kamu sengaja ngelakuin itu 'kan. Althaf jangan seperti itu lagi nak, kamu udah dewasa bukan anak kecil. Jika kalian ada masalah coba selsesaikan masalah kalian baik-baik, jangan seperti ini. Lihat Althaf, akibat ulah kamu tangan Athaya jadi patah, masih untung nggak cedera yang lain." dengan penuh perhatian dan pengertian Reni mulai menasihati Althaf. "Jangan lakuin itu lagi ya, nak," pinta Reni lembut membuat Althaf terpaksa mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Althaf tidak bisa melawan jika saja Reni bukan guru yang ia hormati dan disegani, sudah pasti Althaf akan melawan dan membela diri. "Ibu tau dari mana masalah ini?" Tanya Athaya yang sedari tadi bungkam. Althaf berdecih mendengar pertanyaan Athaya. Seolah jika Athaya memang tidak tau kalau masalah ini masuk BK. Reni hanya tersenyum, "Kamu kayak yang nggak tau Althaf aja, Ya. Apapun yang terjadi apalagi soal Althaf udah pasti semua Perdana Husada tau," jawab Reni. Althaf tersenyum miring. Merasa bangga dengan ketenarannya di sekolah sedangkan Athaya mengernyit, "Setenar itukah?" gumam Athaya pelan namun masih dapat terdengar oleh Althaf yang langsung melirik Athaya tajam. "Kalo gitu, Al. Kamu udah minta maaf sama Athaya? Kalau belum coba kalian berdamai di depan Ibu. Jika kalian masih masuk sini gara-gara masalah lagi, Ibu hukum kalian," ancam Reni. Althaf mendengus namun tetap mengulurkan tangannya pada Athaya tanpa menatap gadis itu. Athaya menatap tangan Althaf lalu menatap Reni bergantian. Reni mengangguk dan dengan perlahan Athaya menyambut uluran tangan Althaf hingga mereka berdua bersalaman. Jantung Althaf seketika berhenti ketika tangan dinginnya bersentuhan dengan tangan hangat Athaya. Althaf melirik tangan mereka yang masih bersalaman melalui sudut matanya. Kenapa seperti ini? Althaf merasa ada aliran listrik yang mengalir dari tangan Athaya. Tangan mereka lepas, membuat Althaf merasa kehilangan. Perasaan apa ini? Althaf menggeleng kecil sambil berdeham. Ia sudah gila sepertinya. "Kalau gitu, kita permisi bu," pamit Athaya lalu mereka berdiri dan bersalaman dengan Reni. Athaya berjalan lebih dulu keluar ruangan hingga sebuah tarikan di siku tangannya yang terluka membuat Athaya meringis menahan rasa sakit serta linu. Tubuh Athaya terhempas ke tembok ketika Althaf sudah membawanya ke salah satu sudut tembok. Athaya mendongkak sambil menahan linu di tangan dan sakit di punggungnya. Matanya menatap wajah Althaf yang memerah dengan rahang mengeras. Namun Athaya hanya diam menatap Althaf datar tidak merasa takut dengan wajah Althaf yang tengah emosi sekarang ini. "Mau lu apa? Lu ngadu sama BK biar gua di hukum, hah?" Ucap Althaf dengan gigi gemertak. "Ngadu? Gua nggak ngadu!" "Bohong! Lu yang laporin ke BK 'kan, ngaku aja lu," bentak Althaf. Athaya tersenyum miring, "lu budeg atau nggak paham? Bu Reni bilang apa yang nggak dia tau soal lu. So, lu bisa simpulin sendiri. Apa gua yang laporin hal sepele kayak gini ke BK?" ucap Athaya dengan nada datar. Althaf terdiam namun. Hal sepele? Gadis ini benar-benar. "Cuman masalah gua jatuh karena ngambil tas yang lu simpen di atas pohon buat apa gua lapor ke BK? Nggak penting! Norak tau!" ucap Athaya lagi lalu mendorong tubuh Althaf dan pergi menjauh. Althaf menatap punggung gadis mungil itu. Keningnya mengekerut dengan kedua tangan yang mengepal. Nggak penting? Oke.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD