3. Desahan Siapa

1005 Words
Malam menunjukkan pukul 2, Kaizan butuh air. Air di kamarnya sudah habis, jadi ia terpaksa harus turun ke lantai bawah dan menuju dapur, ia tidak mungkin menyuruh Yasmin maupun Nur untuk mengambil minum untuknya, karena hari sudah sangat malam, mereka pasti butuh istirahat dari lelahnya kegiatan dan pekerjaan hari ini. Kaizan membuka kulkas 5 pintu itu dan meraih satu botol air mineral dan menutup kulkas kembali, Kaizan lalu membuka tutupannya dan meneguknya, hampir saja tandas. Ia tidak bisa menahan diri dari rasa haus karena pekerjaannya cukup menumpuk. Kaizan hendak melangkah pergi, namun dengan samar ia mendengar suara yang cukup lantang. Kaizan menautkan alis dan menoleh melihat ke arah sebuah ruangan dimana ada kamar ART di sana. Kaizan menggeleng kuat karena ia tak mungkin ke sana, ia pun hendak melangkahkan kaki, namun suara itu semakin kuat. Kaizan tak bisa menahan rasa penasarannya terhadap sumber suara itu. Ia hendak melangkah mengikuti arah suara itu, namun terdengar suara langkah kaki mendekatinya. Kaizan langsung tak bergerak dan pura-pura minum. “Sayang? Kenapa kamu bangun?” tanya Sarah mengenakan jas tidur dengan indahnya, memperlihatkan belahan dadanya yang indah. Namun, sayangnya Kaizan sudah tidak tertarik karena tubuh istrinya sudah di senggama orang lain. “Aku ambil air,” kata Kaizan. “Aku dengar suara, suara apa itu?” tanya Sarah. “Aku tak mendengar apa-apa,” geleng Kaizan. “Iya ya. Tidak mungkin ada suara semacam itu di rumah ini,” kata Sarah meraih air botol mineral. “Aku harus membangunkan Nur untuk menyiapkan minum di kamar.” “Tidak usah. Ayo kembali ke kamar,” kata Kaizan yang sejak tadi gelisah karena ia tidak bisa diam saja mendengar suara desahan yang cukup kuat. Kaizan dan Sarah lalu melangkahkan kakinya menjauh dari dapur. “Kamu mau tidur sama aku?” tanya Sarah menoleh melihat Kaizan. “Tidak. Aku punya banyak pekerjaan,” tolak Kaizan. “Ini sudah hampir jam 2, kamu tidak mengantuk?” “Tidak. Aku bisa mengontrol jam tidurku.” “Ini pengaruh kopi, ‘kan?” tanya Sarah. “Sudah. Kamu tidur saja, akum au kembali ke ruang kerjaku.” “Sayang,” lirih Sarah. Kaizan berbalik dan menatap Sarah. Sarah menanggalkan baju tidurnya dan memperlihatkan tubuhnya yang cukup indah. Sarah tersenyum dan meremas dua buahnya sendiri. Kali ini ia kembali menjadi murahan didepan suaminya, bahkan didepan Latif pun sama. Sarah hanya bingung memilih siapa diantara mereka. Kaizan adalah uangnya, sementara Latif adalah cintanya. Apa yang bisa ia lakukan? Bisakah ia poliandri saja? “Kemari, kita sudah lama tak bersama,” kata Sarah. Kaizan menghampiri Sarah, tentu saja ia melihat semuanya, kecuali ia tidak punya mata, Kaizan menunduk dan mengambil kembali pakaian Sarah yang berjatuhan ke lantai, Kaizan membantu Sarah mengenakan pakaiannya kembali dan tersenyum. “Jaga harga dirimu didepanku, kita sudah akan bercerai, tinggal menunggu siding perceraian,” kata Kaizan menepuk pundak Sarah. “Aku tidak mau melakukan hubungan itu dalam proses perceraian.” “Aku akan hadir saat mediasi, aku akan membatalkan surat gugatanku.” “Jangan. Kamu sudah terlanjur melakukannya, jadi jangan siksa dirimu untuk berpisah dengan yang kamu cintai. Kejar yang kamu cintai dan tinggalkan yang tidak membuatmu bahagia.” Kaizan melangkah mundur. “Aku tidak bisa kehilangan kamu,” lirih Sarah. “Kamu mau uang? Akan ku berikan, berapa pun yang kamu minta.” “Kamu akan memberikanku uang?” “Heem. Aku akan berikan semua yang kamu minta.” Sarah langsung semringah dan berkata, “Aku akan beritahu kamu nanti, aku ingin berapa.” “Ya.” “Aku masuk kamar dulu. Selamat bekerja,” kata Sarah lalu melangkah menuju kamarnya. Kaizan menggeleng tak percaya melihat ekspresi wajah Sarah yang begitu bahagia ketika Kaizan menawarkan sejumlah uang sesuai keinginan Sarah. Kaizan tahu bahwa Sarah mempertahankannya karena Sarah butuh uang. Latif mungkin bisa memberikannya, namun tidak seperti Kaizan yang membebaskannya membeli apa pun. Kaizan adalah pria tampan dan mempesona, kekayaan, kekuasaan dan pengaruhnya begitu besar di dunia bisnis. Kaizan kembali ke ruang kerjanya dan duduk di kursi kebesarannya, melihat tumpukan dokumen didepannya, Kaizan mendesah napas halus, di telinganya terus terngiang suara desahan di kamar ART nya, namun ARTnya ada dua, antara Yasmin dan Nur yang mendesah seperti itu. *** Kaizan masuk ke kamarnya dan sudah tidak melihat Sarah di kamar yang biasanya tidur kesiangan, bahkan biasanya bangun jam 11 siang, namun kamar sudah kosong. Kaizan yang sudah bersiap ke kantor langsung menuruni tangga dan menuju ruang makan, Kaizan melihat Yasmin yang terlihat semok dan menggoda. Belahan d**a Yasmin terlihat jelas dimatanya, putih paha dan betisnya membuat Kaizan seolah terbang kemanapun yang ia inginkan. Yasmin juga mengurus Rafka yang saat ini duduk di kursinya dan mengurus bekal Rafka. Ada apa ini? Mengapa Kaizan malah suka melihat keindahan pagi seperti didepannya? Biasanya ia berusaha menahan diri dari tatapannya, namun kali ini ia seolah menikmati pemandangan itu. Yasmin dengan tubuh indahnya berhasil membuat hasratnya bergelora dan meminta peraduan terakhir. “Eh Tuan sudah bangun?” tanya Yasmin menyadari tatapan Kaizan. “Iya.” Kaizan lalu melangkah menuju meja makan. “Nyonya tadi pergi pagi sekali, Tuan, katanya ada urusan.” “Baiklah.” “Silahkan, Tuan. Biar saya bantu,” kata Yasmin menghampiri Kaizan, namun ia seperti tergelincir dan langsung jatuh ke pelukan Kaizan, Kaizan merasakan sesuatu menabrak dadanya. “Maaf, Tuan, maaf sekali.” “Tidak apa-apa,” jawab Kaizan. “Baju Anda jadi kotor begini.” “Tidak apa-apa, Yas, sudah ya.” Yasmin mengangguk lalu mempersilahkan majikannya untuk duduk. Yasmin masih berdiri di dekat meja makan. “Kenapa berdiri saja?” tanya Kaizan. “Heem? Jadi, saya harus bagaimana, Tuan?” “Duduklah. Kita harus sarapan sama-sama.” “Tidak, Tuan, saya tidak pantas duduk semeja dengan majikan. Saya di sini saja, menunggu apa yang Tuan dan Tuan Muda Rafka butuhkan.” “Tidak usah berpikir seperti itu. Duduklah, ini juga perintah.” Yasmin bingung dan akhirnya mengangguk, ia mengikuti keinginan majikannya untuk duduk di salah satu kursi kosong. “Saya jadi tidak enak, Tuan,” kata Yasmin mengelus lehernya. “Ayo makan, Tante Yas, jangan bengong aja,” kata Rafka. Yasmin mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD