“Saya terima nikah dan kawinnya Bilqis Humaira binti Heru Bagaskara dengan mas kawin tersebut, dibayar TUNAI.”
Kalimat itu menggetarkan d**a Bilqis. Pada akhirnya, ia menerima tawaran Arash—mantan kekasih yang muncul tiba-tiba di detik terakhir—dan menikah dengannya. Dalam hati kecilnya, Bilqis berharap cinta mereka bisa tumbuh kembali seiring berjalannya waktu. Bagaimanapun, mereka pernah bersama selama satu tahun; perasaan itu tidak mungkin hilang begitu saja.
Pergantian mempelai yang begitu mendadak membuat para tamu kebingungan, namun mereka tidak banyak bertanya. Apalagi setelah mendengar alasan yang disebarkan pihak keluarga Bilqis, jika Reno pergi ke Singapura mendadak untuk mengurus pengobatan ayahnya. Tamu-tamu hanya mengangguk, meski wajah mereka jelas menunjukkan rasa penasaran.
Acara resepsi berjalan lancar. Banyak tatapan ingin tahu, tapi tidak sedikit juga yang tetap mengucapkan selamat pada Bilqis dan Arash, mendoakan agar rumah tangga mereka langgeng hingga tua.
Bilqis berusaha menampilkan senyum terbaiknya. Padahal hatinya sedang hancur. Rasa sakit karena pengkhianatan Reno masih membekas. Kekecewaannya pada kedua orang tuanya—yang mementingkan nama baik dibanding perasaannya—belum juga hilang. Tapi ia harus terlihat baik-baik saja. Demi keluarga dan kelancaran acara hari ini.
Berbeda dengan Bilqis, Arash tampak sangat bahagia. Seolah hari ini adalah hari yang ia nanti-nantikan sejak lama. Ia tak melepaskan tangan Bilqis sejak tadi, bahkan matanya berkali-kali mencuri pandang, memerhatikan wajah Bilqis yang tampak lelah, dan terlihat kesedihan ppada sorot matanya.
Arash menunduk sedikit, berbisik di telinga istrinya.
“Ada apa, Icis? Kenapa kamu sedih? Apa kamu nggak bahagia nikah sama aku?” tanyanya pelan
Bilqis terkejut mendengar panggilan itu. Icis—nama kesayangannya dulu.
Ia pelan menggeleng. “Nggak apa-apa kok,” katanya, memaksakan senyum tipis.
“Aku tahu pernikahan kita mendadak,” lanjut Arash lembut. “Mungkin sekarang kamu gak cinta sama aku lagi. Tapi kita dulu pernah satu tahun bersama, Cis. Aku yakin perasaanmu ke aku belum hilang sepenuhnya. Kita dulu berpisah karena keadaan… bukan karena saling benci.”
Bilqis menatap mata Arash. Ada tanya yang mengganjal.
“Memang kamu masih punya perasaan sama aku, Ar? Selama sepuluh tahun ini… apa kamu gak pernah pacaran lagi?” tanyanya penasaran.
Arash tersenyum kecil. Tangannya terangkat mengusap kepala Bilqis pelan, seperti yang sering ia lakukan dulu.
“Sepuluh tahun ini aku sibuk banget untuk mengubah nasib, Cis. Aku nggak punya waktu mikirin cinta-cintaan.”
Jawaban itu membuat hati Bilqis menghangat. Keraguannya perlahan memudar. Arash yang dulu ia kenal adalah orang yang baik, ambisius, selalu melindunginya… dan hari ini ia kembali menunjukkan sisi itu. Mungkin… benar, mereka bisa memulai lagi dari awal.
Malam semakin larut, tamu semakin sedikit. Bilqis tampak sangat lelah, gaun dan riasannya terasa semakin berat.
“Cis, kalau capek. Mending kamu masuk kamar dulu,” ucap Arash lembut. “Biar tamu yang tersisa aku yang temani.”
“Tapi kamu kan nggak kenal sama mereka, Ar. Apa nggak apa-apa kalau aku tinggal duluan?” kata Bilqis ragu. Ia tak ingin terlihat tidak sopan.
Arash tertawa pelan. “Tenang saja, Cis. Aku ini Arash. Dulu aja aku bisa akrab sama semua orang di sekolah. Sama tamu-tamu begini mah gampang,” jawabnya meyakinkan.
Bilqis ikut tersenyum. Ia lupa kalau di depannya ini adalah ketua OSIS yang dulu disukai banyak orang—pintar, ramah, dan selalu terlihat dewasa. Tidak ada yang tidak bisa diatasi oleh seoang Arash Kalandra.
“Ya sudah, aku masuk duluan, ya. Kamu jangan kemalaman juga, nanti kecapekan,” pesan Bilqis dengan pelan.
“Iya, Cis. Mana mungkin aku lewatkan malam pertama kita,” bisik Arash sambil mengedipkan sebelah matanya.
Pipi Bilqis langsung merona. Ia buru-buru membalikkan badan sebelum Arash semakin menggodanya.
Arash memperhatikan punggung Bilqis sambil tersenyum tipis.
“Kamu masih sama seperti dulu, Cis… masih suka malu kalau aku godain,” gumamnya.
Namun tak lama, senyuman itu pudar. Pelan-pelan berubah menjadi senyum yang berbeda. Senyum yang dingin, samar… dan entah kenapa terasa mengerikan.
---
Di dalam kamar, Bilqis segera melepas hiasan kepalanya dengan bantuan Manda dan Syifa. Kedua sahabatnya itu belum pulang. Sementara Ghania sudah pulang lebih dulu karena anaknya rewel. Apalagi Ghania datang sejak pagi, jadi Bilqis memintanya pulang duluan untuk beristirahat. Berbeda dengan Manda dan Syifa yang baru tiba sekitar pukul tujuh malam.
“Oh iya, Qis… orang tuanya Arash ke mana? Apa dia nggak punya keluarga lagi? Kok nggak ada satu pun yang hadir? Meskipun mendadak, setidaknya bisa kasih kabar. Paling tidak ada salah satu keluarganya yang datang ke pernikahan kalian,” tanya Manda sambil ikut melepas pin-pin kecil dari kepala Bilqis.
“Iya, Qis. Aku juga heran. Dari pihak laki-laki kok nggak ada yang mengantar?” timpal Syifa. “Meskipun dadakan, harusnya ada yang menyusul dong. Tapi kok ini gak ada sama sekali.”
Bilqis terdiam. Tadi ia benar-benar kacau sampai tidak sempat berpikir jernih. Setelah dipikir-pikir, memang aneh… Arash tiba-tiba muncul di hari pernikahannya, padahal ia tidak pernah mengundangnya. Dan lebih aneh lagi—keluarganya tidak ada yang datang menghadiri.
“Mungkin orang tuanya gak tinggal di Jakarta lagi,” jawab Bilqis pelan, berusaha berpikir positif.
“Mmemang Arash selama ini tinggal di mana? Kan katanya kalian sudah lama nggak ketemu. Terus kenapa dia tiba-tiba muncul di gedung ini? Dan kenapa dia bisa tahu masalah Reno? Dari tadi aku mikir… ada yang janggal sama suami kamu ini, Qis,” kata Manda sambil mengangkat alis. Syifa mengangguk setuju.
Bilqis memandang pantulan dirinya di cermin. Riasan yang tadi begitu cantik kini mulai luntur, dan dalam matanya jelas terlihat kelelahan.
“Entahlah… nanti aku tanya langsung ke Arash, dari pada menebak-nebak begini,” jawab Bilqis mencoba tetap tenang.
Manda menarik napas panjang. “Pokoknya kamu harus hati-hati, Qis. Meskipun kalian dulu pernah dekat, tapi kalian sudah lama banget nggak ketemu. Siapa tahu Arash punya maksud lain. Mungkin dia sakit hati waktu kamu tiba-tiba putusin dulu,” ucapnya menasehati.
Bilqis menggeleng perlahan. “Iya, Manda. Aku pasti hati-hati. Tapi tenang aja… Arash nggak mungkin punya niat buruk. Dia orangnya baik. Buktinya aja hari ini dia nolong aku. Kalau bukan karena Arash, aku nggak tahu gimana caranya bisa melewat hari ini. Aku pasti udah jadi bahan omongan orang karena ditinggal kabur Reno,” ucap Bilqis tersenyum tipis.
Manda dan Syifa tidak membalas lagi. Setelah membantu Bilqis berganti pakaian, mereka pamit pulang. Besok mereka harus bekerja, dan hari sudah sangat larut.
Setelah mereka pergi, Bilqis duduk di tepi ranjang. Sudah berganti baju yang nyaman. Matanya mulai terasa berat. Ia mengantuk, tapi tidak bisa tidur. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Arash—tentang keluarga, pekerjaannya, dan alasan dia muncul tiba-tiba.
Dia tidak bisa tidur sebelum mendapatkan jawaban yang jelas.
Bilqis melirik jam di ponselnya. Sudah menunjukkan pukul 23.30 malam.
“Masak masih ada tamu jam segini…” gumamnya pelan.
Akhirnya Bilqis memutuskan mencari Arash. Ia melangkah keluar dari kamar, melewati lorong yang sudah sepi. Saat tiba di gedung resepsi, tempat itu sudah gelap gulita. Kursi-kursi telah dirapikan, bunga-bunga sudah dibersihkan. Sama sekali tidak ada orang.
“Kemana sih Arash? Kok dia nggak balik ke kamar?” wajah Bilqis mulai tegang, perasaannya semakin tak enak.
Bilqis merogoh tasnya. Ia ingin menelepon Arash… tapi baru ingat, ia belum sempat meminta nomor suaminya sendiri. Seharian tadi terlalu sibuk, mengurus acara pernikahan.
Dengan langkah gontai, Bilqis kembali ke kamar. Dalam hati ia berharap Arash sudah menunggu di dalam.
Tapi begitu pintu terbuka—kamar itu masih kosong.
“Hhh…” Bilqis membuang nafas kasar, lalu duduk di pinggir ranjang.
Kenapa Arash pergi di malam pengantin?
Apa dia ada urusan mendesak?
Tapi urusan apa sampai nggak sempat kasih kabar?
Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Bilqis.
Hatinya kembali terasa penuh luka. Hari ini terlalu berat untuknya. Hari yang seharusnya paling indah justru berubah menjadi mimpi buruk.
Diputuskan calon suami lewat pesan singkat…
Didesak orang tua untuk cari suami pengganti…
Dan sekarang, ditinggalkan suami pengganti di malam pertama.
Bilqis tidak meminta malam yang romantis. Ia tidak menuntut apa-apa. Tapi setidaknya… Arash bisa memberi tahu ke mana dirinya pergi. Agar ia tidak menunggu hingga tengah malam begini.
Bilqis menarik lututnya, memeluknya pelan. Matanya mulai terasa panas dan mulai berkaca. Lagi-lagi Bilqis ditinggalkan dengan hati yang terluka.
---