Pagi-pagi sekali, Bilqis dijemput oleh seseorang yang mengatakan bahwa dirinya adalah bawahan Arash.
“Di mana Arash? Kenapa bukan dia yang datang ke sini? Dan ke mana perginya dia semalam? Kenapa tiba-tiba pergi tanpa bilang dulu?” tanya Bilqis dengan tatapan tajam, jelas terlihat kesal.
“Pak Arash sedang ada urusan mendesak, jadi beliau minta maaf dan menyuruh saya untuk mengantarkan Anda pulang untuk mengambil barang-barang Anda. Setelah itu, saya akan mengantarkan Anda ke rumah Pak Arash,” jelas pria bernama Beni itu dengan sopan.
Bilqis tidak punya pilihan lain selain menurut. Ia juga memang tidak berniat tinggal serumah lagi dengan orang tuanya setelah menikah. Bilqis terlalu kecewa pada mama dan papanya, karena kemarin mereka tidak mau memahami perasaan Bilqis.
Mungkin tinggal di rumah Arash akan jauh lebih baik dibandingkan tinggal di rumah orang tuanya sendiri. Itulah yang ada di pikirannya saat ini.
Bilqis segera bersiap-siap dan meninggalkan hotel. Selama perjalanan pulang, Bilqis banyak mengajukan pertanyaan tentang Arash—tentang pekerjaannya, kesehariannya, bahkan keluarganya yang tidak datang saat hari pernikahan mereka kemarin.
“Maaf, saya tidak berhak untuk menjawab semua pertanyaan Anda. Tugas saya hanyalah mengantarkan Anda saja. Jika ada pertanyaan, silakan tanyakan langsung pada Pak Arash setelah beliau pulang nanti,” jawab Beni sopan, namun tegas.
“Sebenarnya Arash pergi ke mana sih?” tanya Bilqis, mulai kehabisan kesabaran.
Beni hanya diam. Ia fokus mengemudi, seolah memang sudah diberi perintah untuk tidak membocorkan informasi apa pun.
“Kalau begitu, saya minta nomornya Arash. Biar saya yang menghubungi dia langsung,” pinta Bilqis setelah beberapa lama terdiam.
“Maaf, Pak Arash berpesan… kalau Anda meminta nomornya, jangan diberikan. Karena saat ini Pak Arash benar-benar sibuk, tidak ada waktu untuk memegang HP. Beliau juga berpesan, jika ingin bertanya, tunggu sampai beliau pulang dulu,” jawab Beni cepat.
Bilqis semakin kesal. Ia benar-benar penasaran apa yang suaminya itu lakukan sampai tidak sempat menemuinya, bahkan sekadar menelepon pun tidak.
“Awas aja, Ar… setelah kamu pulang nanti, aku bakal bikin perhitungan sama kamu,” gumam Bilqis dengan wajah masam.
---
Kepulangan Bilqis ke rumah orang tuanya tanpa Arash tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Namun Bilqis memberikan alasan jika Arash sedang sibuk dan tidak bisa datang. Ia juga memastikan bahwa jika urusan Arash selesai, ia akan mengajak Arash pulang untuk bertemu dengan mereka. Bilqis juga menutupi kenyataan bahwa semalam ia tinggal sendirian di hotel, sementara Arash entah pergi ke mana.
Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Bilqis segera kembali ke mobil dan pergi ke rumah Arash. Dalam hatinya, ia berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana, tanpa tekanan dari kedua orang tuanya lagi.
“Oh ya, kapan Arash pulang?” tanya Bilqis memecah keheningan.
“Mungkin nanti sore atau nanti malam Pak Arash sudah pulang. Jadi Anda tidak usah cemas. Beliau pasti pulang ke rumah yang akan Anda tempati nanti,” jawab Beni.
“Memang Arash punya berapa rumah? Dan biasanya dia pulang ke mana?” tanya Bilqis penasaran.
“Pak Arash memiliki beberapa rumah dan beberapa apartemen. Tapi dia paling sering tinggal di apartemen atau tidur di kantor,” jelas Beni.
“Kalau begitu, kenapa saya dibawa ke rumahnya? Bukan ke apartemen yang sering ia tinggali? Apa jangan-jangan nanti Arash akan jarang pulang dan memilih hidup sendiri?” tanya Bilqis sedikit kecewa.
“Saya kurang tahu,” jawab Beni sambil menggeleng.
Pertanyaan demi pertanyaan menumpuk di kepala Bilqis. Rasanya ia ingin segera bertemu Arash untuk mengeluarkan semuanya sekaligus.
Sekitar 20 menit kemudian, mereka sampai di sebuah perumahan elit. Rumah itu besar, desainnya modern, didominasi warna putih termasuk pagarnya.
Beni membantu menurunkan koper dan membawanya masuk. Di dalam sudah ada beberapa pelayan yang menyambut kedatangan Bilqis.
“Untuk hari ini, mereka akan tinggal di sini melayani Anda. Jadi kalau Anda butuh sesuatu, tinggal bilang saja pada mereka,” jelas Beni.
“Untuk hari ini? Berarti setelah hari ini, mereka tidak tinggal di sini lagi?” tanya Bilqis memastikan.
“Tunggu Pak Arash pulang saja. Anda nanti bisa bertanya langsung padanya.” Setelah mengatakan itu, Beni segera pergi.
“Silakan, Bu. Saya antarkan Anda ke kamar,” ucap salah satu pelayan mendekat lalu membantu membawa koper.
“Terima kasih,” balas Bilqis.
Pelayan itu membawa Bilqis naik ke lantai dua. Mereka berhenti di kamar paling ujung kiri.
“Mulai sekarang ruangan ini akan menjadi kamar Anda. Kamar sebelahnya ini perpustakaan, jadi kalau Anda bosan, Anda bisa membaca buku di sana. Pak Arash memiliki banyak koleksi buku, baik buku pengetahuan maupun buku cerita. Sedangkan kamar di ujung kanan itu, ruang kerja sekaligus kamar pribadi Pak Arash. Tidak ada yang diizinkan masuk ke sana kecuali Beni. Bahkan untuk bersih-bersih pun hanya Beni yang diizinkan.” Jelasnya.
Bilqis mengangguk mengerti. “Terima kasih.”
Saat pelayan pergi, Bilqis membuka pintu kamar dan tertegun. Ruangan itu elegan, didominasi warna biru muda—warna kesukaannya. Hatinya menghangat. Arash masih mengingat detail sekecil itu.
Ia berjalan masuk, melihat dekorasi, lalu berhenti di depan jendela besar yang langsung menghadap ke jalan raya. Dari sana ia bisa melihat gerbang rumah Arash, jadi ia akan tahu jika Arash pulang nanti.
Bilqis menuju lemari dan membukanya. Di dalam sudah ada beberapa pakaian baru, rata-rata berwarna biru dan putih. Bilqis tersenyum kecil. Perhatian kecil seperti ini membuatnya yakin bahwa Arash memang telah mempersiapkan semuanya.
Ia menarik kopernya, berniat menata baju-bajunya. Namun tiba-tiba perutnya keroncongan. Tadi pagi ia belum makan apa pun selain air putih. Di hotel ia tidak sempat makan, dan di rumah orang tuanya ia sudah tidak punya selera karena masih kecewa dengan orang tuanya.
Akhirnya Bilqis menunda menata baju, lalu keluar kamar dan menuruni tangga. Ia memperhatikan rumah itu—dari atas hingga bawah tidak ada satu pun foto Arash. Hanya jam dinding saja yang menempel di tembok.
“Ada apa, Bu? Kenapa turun lagi?” tanya pelayan yang tadi bersamanya.
“Maaf, apa ada makanan? Saya lapar… tadi belum sempat makan,” tanya Bilqis sopan.
“Anda mau makan apa? Biar kami siapkan.”
“Saya bisa makan apa saja kok, kecuali udang,” jawab Bilqis, sedikit sungkan.
“Baiklah. Silakan Anda menunggu di sini. Kami akan mengantarkan cemilan sambil menunggu makanan siap. Anda bisa memanggil saya Nina, dan dua rekan saya Rika dan Dea,” jelasnya.
“Terima kasih banyak. Maaf merepotkan kalian.”
Nina tersenyum lalu kembali ke dapur. Bilqis menunggu di ruang tengah sambil menonton televisi. Tidak lama, Nina kembali membawa jus alpukat dan beberapa cemilan ringan.
“Silakan, Bu. Kalau ada yang kurang, bisa panggil saya lagi.”
“Terima kasih banyak, Nina. Ini saja sudah cukup,” sahut Bilqis cepat.
Beberapa saat kemudian, Nina kembali lagi untuk mempersilakan Bilqis ke meja makan karena makanan sudah siap.
---
Sore harinya, Bilqis terkejut ketika melihat ketiga pelayan di rumah itu sudah rapi dan bersiap hendak pergi.
“Loh, kalian mau ke mana?” tanyanya dengan kening berkerut.
“Kami harus pergi, Bu. Karena kami bekerja di sini sampai sore saja,” jawab Nina.
“Kenapa begitu? Kalian tidak tidur di sini? Lalu besok pagi kalian ke sini jam berapa?” tanya Bilqis makin terkejut.
“Kami bekerja hanya hari ini saja, Bu. Untuk menyambut kedatangan Anda. Untuk selanjutnya, Anda bisa mengurus diri Anda sendiri. Tapi Anda tenang saja, kami sudah menyiapkan makanan untuk makan malam nanti. Anda hanya tinggal menghangatkannya saja. Dan jika butuh sesuatu, Anda bisa memanggil Beni,” jelas Nina cepat.
“Beni?” Kerutan di kening Bilqis semakin dalam.
“Iya. Ruangan yang ada di ujung kanan itu kamar Beni. Jadi Anda tidak benar-benar sendirian di rumah ini sebelum Pak Arash pulang. Kalau butuh sesuatu, tinggal panggil Beni. Dia yang akan membantu Anda,” timpal Rika ikut menjelaskan.
Bilqis mengangguk pelan. Padahal ia pikir bisa berteman dengan baik dengan ketiga pelayan itu—usia mereka terlihat tidak jauh berbeda dengannya. Tapi ternyata mereka hanya bekerja hari ini saja. Lagi dan lagi, Bilqis harus ditinggal sendirian.
“Kalian hati-hati ya… terima kasih untuk hari ini. Kalian sudah menyambut dan melayani saya dengan sangat baik. Maaf kalau saya banyak merepotkan,” ucap Bilqis sambil tersenyum tipis.
“Tidak perlu berterima kasih, Bu. Ini sudah menjadi tugas kami. Kalau begitu, kami permisi.” Ketiganya segera beranjak pergi meninggalkan rumah mewah itu.
Begitu mereka pergi, rumah langsung terasa sepi. Terlalu sepi. Tidak ada siapa pun selain Bilqis. Bahkan Beni pun entah berada di mana—sejak siang tadi ia tidak melihat sosok pria itu lagi.
Bilqis berdiri di ruang tengah cukup lama, bingung harus melakukan apa sendirian di rumah sebesar itu. Akhirnya ia memilih kembali ke kamar.
Waktu berlalu. Langit perlahan menggelap. Namun Arash belum juga pulang. Bilqis mulai gelisah, bertanya-tanya apa sebenarnya yang dilakukan Arash hingga tidak memberi kabar sama sekali. Ia sendiri tidak bisa menghubungi lebih dulu karena tidak memiliki nomor suaminya itu.
Akhirnya, tepat pukul delapan malam, Bilqis melihat sebuah mobil hitam memasuki gerbang. Degup jantungnya langsung berubah—ia yakin yang datang itu Arash.
Bilqis buru-buru memakai jilbab instan, lalu berlari keluar kamar untuk menyambut suaminya. Ia bahkan sempat tersenyum kecil, merasa sedikit lega.
Namun senyumnya langsung luntur seketika.
Dari kejauhan, Bilqis melihat Arash turun dari mobil… tidak sendirian.
Ia turun bersama dua wanita sekaligus, berdiri sangat dekat di sisi kiri dan kanan. Yang membuat Bilqis paling terkejut adalah posisi Arash yang memeluk pundak keduanya bersamaan, seolah mereka sudah biasa melakukan hal tersebut.
Bilqis berdiri mematung di teras. Dadanya langsung terasa sesak.
Siapa mereka? Kenapa bisa bersama Arash? Apa ini kesibukan yang Arash lakukan seharian ini sampai mengabaikan dirinya?
Bilqis tersenyum kecut, lagi-lagi dia dibuat kecewa oleh orang yang ia percayai.
---