Chapter 24. Masa Lalu

1936 Words
“Gimana, Kak?” tanya Raya penasaran dengan acara lamaran Arkian. Habisnya ketika datang wajah Arkian sama sekali tak layaknya manusia yang tengah jatuh cinta. Malah terkesan kusut seperti baru diputuskan ketika jadian di hari yang sama. “Apanya?” tanya Arkian lemas. Raya duduk di kursi yang berhadapan dengan Arkian. Perempuan itu memasang tatapan penuh tanya. Terlihat jelas dia sangat ingin tahu masalah ini. “Bukannya Kak Arki kemarin lamaran sama siapa namanya? Teh Salma?” Raya langsung to the point. Arkian merengut. Wajahnya ditekuk dan memucat. “Kamu malah ingetin. Padahal aku sudah lupa,” jawab Arkian dengan lemah. Dia terlihat sekali tak bersemangat hari ini. Bahkan tak biasanya dia duduk sampai bersandar punggung ke kursi kerjanya di pagi hari. “Lho, kenapa? Bukannya tinggal lamar saja?” “Salmanya sih mau. Ternyata ayahnya enggak izinin. Aku ditolak sama ayahnya. Dia baru nikah kalau ayahnya izinin,” jelas Arkian. “Kalau belum diizinin kenapa malah ikutan cari jodoh?” tanya Raya bingung. “Enggak tahu, Dek. Kayaknya Kak Arki harus cari lagi, deh. Masih banyak foto belum Kak Arki cek. Nanti saja pulang dari sini seleksi lagi. Padahal pulang pengennya tuh rebahan,” keluh Arkian. “Demi Dikara, Kak. Jangan suka menyerah kayak gitu, deh. Aku yakin pasti Kak Arki bakalan nemu perempuan yang pas buat Kak Arki. Yang bisa sayang sama Dika dan pasti bisa jaga kalian berdua dengan baik. Kak Laras juga maunya pasti kayak gitu, ‘kan?” Arki mengangguk. Benar, sebelum meninggal Laras memang memintanya untuk menikah lagi kalau dia tiada. Namun, menduakan seorang istri yang baik dan penyabar tak semudah itu. “Raya, memang apa salahnya kalau aku enggak nikah lagi?” tanya Arkian dengan suara serak. Raya ingin menjawab kalau itu tak salah. “Kak Arki. Kadang kita memang merasa seperti ini sekarang, belum tentu nanti. Dulu pun Kak Arki pernah bilang mau nikah kalau sudah dua puluh lima tahu. Nyatanya di umur dua puluh lima tahun, Kak Arki sudah ....” “Jadi duda,” timpal Arkian. Jawaban yang membuat Raya ikut sakit. Tak lama Arkian tertawa. “Tapi enggak apa. Malah kita mau dengar kabar baik.” “Kabar baik apa?” Raya ikut tersenyum. “Aril mau nikah,” jawab Arkian. “Hah? Yang bener. Kok bisa? Dia dijodohin orang tua? Pantesan saja pas anterin Raya tempo hari auranya lain. Eh, mau jadi pengantin dia?” “Iya. Dia mau nikah sama Salma. Lusa lamaran formalnya. Orang tua dia senang banget sampai kirimin aku makanan seabrek. Aku suruh Pak Parno saja kasih ke keluarganya.” Raya menaikan sebelah alisnya. “Tunggu! Salma yang mau Kak Arki lamar? Kok bisa malah sama Kak Aril?” Arkian ceritakan peristiwa hari kemarin. Raya sampai tertawa mendengar kepolosan salah satu kakaknya itu. “Kok kepikiran kayak gitu, ya? Astaga. Pasti tanggung jawabnya susah itu. Mana yang dinikahin anak ustaz,” komentar Raya. “Kyai,” ralat Arkian. Raya langsung mematung. “Kak Aril sudah enggak waras. Beneran!” “Sudah terlanjur. Mana orang tuanya senang banget dia dapat perempuan sholeha. Biar taubat katanya. Keluarga Aril ‘kan agamis. Dia sendirian sesat,” celetuk Arkian. Raya tertawa. Tak lama perempuan itu terdiam. “Eh, tapi Sufi gimana? Kasian loh, Sufi sudah suka nanya-nanyain Kak Aril.” “Kata Aril Sufi malah milih Gading.” Raya dan Arkian jadi bingung sendiri. Keduanya terdiam lama. “Aku mau kerja dulu, Kak,” pamit Raya. Arkian kembali ke meja laporannya. Pria itu melihat ceklis penjualan roti kemarin. Tak lama Arkian diam. Matanya menatap lurus ke arah tempat bermain Dikara. “Dika, lagi ngapain?” tanya Arkian dengan suara serak. Pria itu berdiri dan berjalan ke tempat main Dikara. Duduk Arkian di sana. Dia ambil puzzle dan memainkannya. Arkian kadang merasa beruntung harus mengurus bayinya sendiri. Karena itu perasaannya sebagai ayah semakin kuat. Pria lain mungkin bisa tega meninggalkan anaknya demi wanita lain, tetapi Arkian tak begitu. Buktinya dia merasa tersiksa akan kepergian Dikara. Sekian waktu berlalu, Arkian masih berada di depan laptopnya. Raya melihat dari jendela kaca kantor Arkian. Dilirik jam di dinding toko. “Jam segini Kak Arki sudah makan apa belum, ya?” pikir Raya. Gadis itu putuskan membuka pintu ruangan Arki. “Kak, makan sudah?” tanya Raya. “Nanti, Ra. Ini belum selesai,” jawab Arkian. “Nanti juga selesai walau dijeda makan. Justru enggak makan malah bikin sakit. Kalau sakit enggak bisa kerja, Kak,” nasihat Raya. Arkian mengangguk. Dia berdiri. Diambil tasnya di dalam storage meja kerja. Begitu membuka benda itu, Arkian menunduk lesu. “Aku enggak bawa makan, Raya. Lupa,” jawab Arkian sambil tersenyum. “Ya sudah, Raya beliin makanan, ya? Sekalian Raya mau beli plester luka. Tadi nyentuh loyang panas. Jadi melepuh.” “Iyakah? Parah enggak? Di kotak P3K ada plester, kok. Obatin cepat!” Arkian sampai berdiri. Dia ambil tangan Raya dan memeriksanya. Saat itu jantung Raya berdebar bukan main. Rasanya sampai seperti tak bisa bernapas lagi. Raya tarik tangannya. “Enggak apa-apa Kak Arki. Di kotak P3K memang ada plester. Tapi plesternya tebel. Yang Raya mau beli agak tipis. Adanya di mini market seberang. Jadi biar Raya beliin.” “Biar aku saja yang beliin. Kamu lagi celaka masa disuruh-suruh. Duduk sini saja. Lain kali hati-hati. Berapa kali aku bilang kalau ke dapur pakai sarung tangan walau kamu enggak masak. Ngerti sekarang?” omel Arkian. “Iya, maaf Kak Arki. Lain kali aku enggak ulangin lagi, deh.” “Duduk, sini!” Arkian menuntun Raya agar duduk di kursi kerjanya. “Jangan ke mana-mana. Kamu juga belum makan, ‘kan? Kamu kalau keringetan banyak gitu artinya belum makan. Sudah aku tebak, Raya,” omel Arkian. Pria itu lekas mengambil kunci mobil dan pergi ke luar kantor. Raya tersenyum melihat punggung Arkian berlalu. “Gimana aku akan lupa sama Kakak? Kakak selalu baik sama aku. Akunya saja enggak tahu diri. Beraninya suka sama Kak Arki. Maafin aku, ya?” batin Raya. *** Raya mungkin merasa bodoh suka pada seseorang yang sama sekali tak pernah memiliki perasaan padanya. Namun, dia punya alasan. Beberapa tahun lalu saat pertama Raya masuk SMA, dia harus ikut ospek seperti siswa lainnya. Acara itu kadang diadakan dari pagi hingga sore hari. Katanya untuk mengenal lingkungan sekolah. Ospek di SMA tempat Raya sekolah memang sangat positif karena diisi permainan seru yang dibuat oleh panitia. Seperti hari itu di mana para peserta akan berjalan di pinggir sungai, bukan pada alirannya. Setiap sampah yang di dapat akan dikumpulkan dalam karung. Sampah itu akan disetorkan ke bank sampah sekolah dan uangnya akan dibagi-bagi dalam kelompok untuk dibelikan sembako yang nantinya akan disumbangkan. Raya begitu senang. Terlebih dia jarang main. Biasanya dia temani Sang Ibu di rumah Arkian. Kadang sambil memijiti dan mencabut uban Bu Liris. Begitu main di alam terbuka dengan banyak teman, Raya sangat senang. “Raya! Di depan kamu ada kaleng, tuh! Ambil!” seru salah satu rekan timnya. Raya menganggukkan kepala. Gadis itu lari dan mengambil kaleng dari salah satu merk soda terkenal. Kemudian kalengnya dia bawa dan masukan dalam karung. Betapa semangatnya, Raya hingga tak sadar saat itu dia tengah demam. Baru beberapa langkah hendak mengambil kemasan bekas minyak goreng, Raya tumbang. Gadis itu tak sadarkan diri. Jelas saja teman-teman lainnya kaget. “Raya pingsan!” seru seseorang. Arkian yang saat itu menjadi panitia jelas kaget. Dia tahu siswa baru yang ikut dalam rombongan yang bernama Raya hanya adik angkatnya. Pria itu berlari cepat menuju asal suara. Dilihat Raya sudah disandarkan ke pohon pisang sambil menutup mata. Arkian gendong gadis itu. “Aku mau bawa ke UKS. Dia adikku!” seru Arkian. Tanpa basa-basi pria itu langsung menggendong Raya kembali ke sekolah. Bahkan sepatunya sempat terlepas sebelah hingga Aril yang harus membawakan benda itu. Sampai di UKS, Arkian baringkan Raya di atas tempat tidur. “Bu, tolong adik saya! Dia sakit, Bu!” panggil Arkian. Dokter jaga langsung memeriksa Raya. Setelah memastikan Raya tak terlalu mengkhawatirkan, Dokter meminta Arkian menempelkan plester pengompres. Pria itu tetap duduk di samping Raya sambil memegang tangan gadis itu. “Dek, jangan sakit lama-lama. Kak Arki khawatir, keluh Arkian. Air matanya sampai menetes.” Raya masih tertidur pulas. Beberapa jam kemudian, Raya sadar. Saat membuka mata, dia sudah ada di rumah. Arkian tertidur di meja belajar Raya masih memakai seragam sekolah. “Kak Arki,” panggil Raya. Suara gadis itu walau pelan mampu membuat Arki bangun. Kini Arkian membuka mata dan langsung mendekati Raya. “Kamu mau makan, Dek? Mau Kakak buatkan bubur?” tawar Arkian. “Kak Arki kenapa enggak pulang?” Raya melihat ke jendela yang sudah tertutup gorden. Terlihat mata Arkian basah. “Kak Arki khawatir sama kamu. Habis kamu enggak bangun-bangun. Jangan sakit lagi, Dek.” Tangan Arkian mengusap rambut gadis itu. Kamar Raya memang sempit. Ada kasur berukuran nomor tiga dan meja belajar yang sebaris dengan ranjang. Kalau Raya ingin belajar, dia harus duduk di kasur karena kursi tak cukup untuk masuk di antara sela meja dan kasur. Temboknya masih betah dengan cat putih dan ada retakan karena memang sudah tua. Maklum, ini rumah peninggalan nenek dan kakek Raya. Belum lagi posisinya di dalam gang sehingga mudah lembab. “Raya baik-baik saja, kok. Sekarang malah Raya lapar. Mau makan masakan Ibu. Ibu ada enggak?” tanya Raya. Arkian mengangguk. “Aku panggilin Ibu, ya?” Arkian berdiri dan lari dengan tergesa-gesa hingga sampai di pintu pria itu malah terbentur kakinya. Arkian mengaduh. “Kak Arki jangan cepat-cepat gitu. ‘Kan sakit jadinya!” omel Raya. Jika ingat hari itu dan bagaimana Aril bercerita tentang sepatu Arkian, rasanya Raya semakin tak bisa melupakan cinta pertamanya. Gadis itu melirik ke foto Laras di atas meja. “Kak, orang bilang batas mencintai yang paling luar biasa adalah ikhlas dia pergi dengan orang yang dia cintai. Raya cinta banget sama Kak Arki. Walau itu bukan Raya, aku harap Kak Arki bisa bahagia dengan wanita itu. Yang penting, Raya masih bisa ketemu Kak Arki dan Dika. Semoga perempuan itu kayak Kak Laras yang selalu baik sama Raya.” Raya ambil foto Laras dan dia peluk erat-erat. Saat itu Arkian sudah menepikan mobil. Ia turun sambil menenteng keresek di tangan dan juga kunci mobil. Tiba di depan kantor, Arkian terpaku melihat Raya duduk sambil menangis dan memeluk foto Laras. “Raya rindu Kak Laras,” ucap gadis itu dengan suara lirih. Raya bukan orang yang mudah bergaul. Sejak pacaran dengan Arki dan dikenalkan pada Raya, Laras begitu baik dan selalu mengajak Raya main. Bahkan Laras sering merayakan ulang tahu Raya. Tidak heran Raya meski menyimpan rasa pada suami perempuan itu, tak sedikit pun Raya merasa cemburu. “Kak Laras kapan pulang lagi? Kenapa pergi lama banget. Raya kangen main sama Kakak. Kangen cerita banyak sama Kak Laras. Dika juga, Dika butuhnya Kak Laras, bukan perempuan lain,” lirih Raya. Dia hapus air matanya dan disimpan foto Laras kembali ke atas meja. Raya berdiri dan kaget saat mata berpindah ke arah pintu malah melihat Arkian ada di sana. “Kak Arki masuk kenapa enggak ketuk pintu?” tegur Raya. Arkian tersenyum. Dia masuk dan menyimpan keresek di atas meja. “Sini peluk!” tawar Arkian lalu memeluk Raya. Raya menangis dalam pelukan Arkian. Namun, Arkian tidak. Tak tahu kenapa setiap Raya sedih, Arkian justru merasa harus kuat. “Laras juga pasti kangen sama kamu. Apalagi kamu ini teman bergosip dia, ‘kan? Jangan khawatir sama Dika. Dia ada dua nenek yang sayang dia, ada Papanya dan ada Tante yang selalu jagain dia. Jangan nangis lama-lama. Nanti mata kamu bengkak. Makin jelek nanti makin enggak laku, loh!” ledek Arkian. “Kak Arki gitu, suka banget bikin Raya kesel!” omel Raya sambil memukul lengan Arkian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD