Bab 2: Aku Mencintai Umar

1140 Words
*** "Hazzafa akan menikah!" Marina mengumumkan kepada putra pertamanya, Huzam yang baru tiba di rumah. Karena kedatangan Umar dan keluarganya mendadak maka Marina tidak sempat memberitahu putranya mengenai kabar pernikahan Hazzafa Hauba. Marina berpikir kalau ini akan jadi kejutan bagi Huzam. Dia mengira Huzam akan bahagia, tetapi ternyata sepertinya tidak begitu. Huzam bekerja di salah satu tambang di Kalimantan. Kebetulan ia mengajukan cuti selama seminggu karena kakinya mengalami cedera. Sebetulnya kaki Huzam sudah membaik. Dia hanya ingin pulang menengok ibu dan dua saudara perempuannya. "Apa?!" Huzam menunjukkan ekspresi kaget luar biasa. Wajahnya seketika pucat, seakan tidak terima Hazzafa akan segera menikah dengan pria lain. Hazzafa adalah adik angkatnya, yang memiliki paras cantik. Sejujurnya Huzam menyukai Hazzafa lebih dari saudara angkat. Huzam sangat ingin menjadi orang spesial di hati Hazzafa Hauba. "Maafkan, Ibu. Sebetulnya ibu sempat meneleponmu saat masih di Kalimantan. Tapi, sepertinya kamu sibuk. Jadi, ibu mengabarkan ini saat kamu sampai Indonesia." Marina memberikan tatapan bersalah. Huzam tidak tahu harus bilang apa lagi. Dia tidak habis pikir kalau Hazzafa Hauba akan menikah muda. Huzam mengira kalau gadis itu akan sekolah dulu. "Baguslah, Kak. Jadi, Zafa bisa segera pergi dari rumah ini. Biar ibu berhenti bandingin kita semua sama Zafa." Tiba-tiba Hilya ikut berceloteh, mengomentari kabar pernikahan Hazzafa. Bagi Hilya pernikahan tersebut memang kabar yang membahagiakan. Inilah saatnya Hazzafa Hauba meninggalkan rumah. "Ibu menyayangi kalian dengan kadar yang sama. Sampai kapan kamu akan mengatakan hal buruk mengenai Zafa?" Hilya memutar bola matanya saat mendengarkan pembelaan ibunya untuk Hazzafa. Bagi Hilya, di mata ibunya Hazzafa selalu sempurna. Entah pelet apa yang digunakan Hazzafa sehingga ibunya begitu terobsesi pada gadis itu. "Itu menurut ibu. Mungkin ibu berpikir kalau ibu sudah memberikan cinta dengan kadar yang sama, tetapi Kamilah yang merasakan itu semua." Hilya meneguk minuman di dapur, lalu meninggalkan dapur itu. Sementara Huzam masih tertegun, berusaha mencerna kabar yang disampaikan oleh ibunya. Tangan Huzam mengepal sempurna. Ada kemarahan saat mengetahui Hazzafa akan menikah. "Huzam? Kamu marah sama ibu?" Marina merasa ada yang salah dari sikap diam putranya. Dia mencoba mencari tahu apa yang membuat Huzam terlihat begitu serius saat mendengarkan kabar pernikahan Hazzafa Hauba dan Umar Al-Qashim. "Tidak," jawab Huzam berusaha menyembunyikan kemarahan dalam dirinya. Entahlah, Huzam belum siap mendengar kabar ini. Lelaki itu mendekati kulkas, mengambil air dingin di dalam sana kemudian meneguknya juga. "Tapi, Bu. Bukankah Hazzafa berhak mengenyam pendidikan juga. Dia harus kuliah dulu, Bu. Apa ibu tidak memikirkan masa depannya?" Apa yang harus dilakukan Huzam agar pernikahan ini dibatalkan? Lelaki itu tidak bisa memikirkan satu hal pun di kepalanya. Di satu sisi, ia tidak bisa mengungkapkan bahwa ia menyukai Hazzafa. Apa kata orang tuanya nanti bila mengetahui Huzam menyukai saudara angkatnya sendiri. Namun, di sisi lain hatinya bergejolak. Ada luka yang siap menggores hatinya. Secara perlahan-lahan luka itu akan melebar dan membuat Huzam tidak berdaya. "Ibu paham, Huzam." Wajah Marina muram. Memang, ia juga menginginkan pendidikan layak untuk Hazzafa Hauba. Akan tetapi, ia juga tidak ingin melihat putri angkatnya tinggal di rumah laksana pembantu. Marina merasa bahwa putrinya layak bahagia, yaitu dengan menikahkan Hazzafa dengan pria mapan. Supaya kehidupan Hazzafa Hauba tidak susah lagi. "Keadaan telah memaksa ibu merelakan Zafa. Anak itu berhak bahagia. Ibu yakin jika suaminya nanti menyayangi Zafa maka ia akan menyekolahkan Zafa." Ada senyuman yang tiba-tiba dimunculkan oleh Marina. Umar memiliki perkebunan kelapa sawit. Lelaki itu pasti sangat sukses. Hidup Hazzafa tentu akan bahagia. "Jika lelaki itu menyayangi Zafa, 'kan? Bagaimana kalau pria itu tidak menyukainya? Kita akan melukai hati Zafa. Apakah ibu berani menjamin Zafa akan bahagia?" Marina menoleh ke arah putranya. Dia mengusap wajah Huzam sambil tersenyum. "Jangan cemaskan adikmu. Umar telah menyetujui perjodohan ini. Artinya ia bersedia menerima adikmu." Itu melegakan bagi Marina. Akan tetapi tidak untuk Huzam. "Mereka berdua pasangan serasi. Tidak akan ada perpisahan di antara mereka." Huzam tertegun. Sepertinya Marina sudah mantap memiliki menantu kaya bernama Umar itu. "Umar pria tampan, sementara Zafa cantik. Mereka akan saling jatuh hati dengan mudah. Ibu sudah lihat bagaimana tatapan Zafa pada Umar, begitu pun sebaliknya." Kata-kata ibunya bagaikan sebuah tombak yang baru saja menancap di hati Huzam. Tepat sasaran. Tidak ada lagi harapan bagi Huzam. Wanita yang disukainya akan dinikahi oleh pria lainnya. Yang lebih tampan, yang lebih kaya darinya. Lebih dari segala-galanya. "Baguslah. Aku akan keluar sebentar, Bu." Huzam berjalan pincang keluar dari dapur. Dia merasa harus menghirup udara lebih banyak. Kabar pernikahan Umar dan Hazzafa merupakan kabar buruk baginya. Mimpi buruk yang tidak pernah ia harapkan. Ketika Huzam berada di luar, Hazzafa tengah berjalan ke arahnya. Gadis itu baru saja datang dari pengajian. Dengan hijab berwarna coklat dan pakaian lengan panjang. Senyuman lebar tercetak di wajah gadis itu. "Kak Huzam!" Hazzafa menghambur ke dalam pelukan kakaknya. Sudah sebulan lebih mereka tidak bertemu. Akhirnya bisa berjumpa lagi. "Eh, jangan peluk-peluk. Aku mau pergi." Huzam berusaha mendorong tubuh adik angkatnya perlahan-lahan. Pokoknya Huzam tidak akan bicara pada adik angkatnya itu. Sampai hati, Hazzafa tak beritahukan kalau ia akan segera menikah. "Apa yang terjadi pada, Kak Huzam? Kakak marah?" tanya Hazzafa bingung. Biasanya Huzam akan bersikap ramah padanya. Berbeda jauh dari Hilya yang ketus padanya. Hazzafa berusaha mencari kesalahannya, namun tak ia temukan. Apakah terakhir kali ia meminta hal aneh-aneh? Seingat Hazzafa tidak. Huzam hanya diam. Lelaki itu bersedekap, dan enggan memandangi Hazzafa. "Adik dan kakak sedang marahan ya," goda Abdullah yang juga baru datang. Hazzafa dan Huzam menyalami pria itu bergiliran. "Kak Huzam marah padaku ya, Yah. Tolong ayah bujuk Huzam." Hazzafa merengek pada ayah angkatnya. Abdullah memilih untuk tidak ikut campur. Dia bilang jika putrinya bersalah maka putrinya jugalah yang harus meminta maaf. Abdullah memilih masuk rumah meninggalkan keduanya. "Apa salahku, Kak Huzam? Beritahu aku. Jika aku sudah tahu kesalahanku maka aku akan mencoba memperbaikinya." Wajah Hazzafa muram. Wajah murung itu tidak akan lagi disaksikan Huzam di masa depan. Hazzafa Hauba akan menjadi milik orang lain. Istri dari seseorang. "Kamu tidak memberitahu kakak soal rencana pernikahanmu. Apakah aku bukan lagi prioritas. Aku ini kakakmu, kamu tidak menunjukkan rasa hormat sama sekali." "Maafkan aku, Kak. Aku juga tidak tahu menahu soal perjodohan ini." Perjodohan ini terjadi begitu tiba-tiba. Hazzafa Hauba terlalu terkejut sampai tidak mengingat apapun lagi. Dia hanya merenung, menimbang-nimbang apakah ia menuruti kemauan orang tua angkatnya atau tidak. Sampai pada akhirnya, dia memilih untuk menerima usulan perjodohan itu. "Lalu mengapa kau menerimanya? Kau bisa menolak kalau tidak menyukai keputusan ibu dan ayah!" Jika Hazzafa menolak maka Huzam akan mempertimbangkan untuk memberitahu orang tua mereka kalau Huzam mencintai Hazzafa setulus hati. Semenjak mereka masih kecil hati Huzam hanyalah untuk Hazzafa Hauba. Semenjak Huzam selalu membantu Hazzafa bila ada yang nakal pada gadis itu. "Karena aku memang memiliki keinginan menikah. Setelah melihat kak Umar. Aku menyukainya." Hazzafa tidak mau keluarganya berpikir ia dipaksa menikah. Jadi, ia berbohong mengenai perasaannya. Apapun yang terjadi, perjodohan dengan Umar akan tetap dilaksanakan. Hazzafa tidak bicara lagi, dan itu membuat Huzam ikut tertegun. Mengejutkan! Hazzafa mencintai Umar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD