Bab 4

918 Words
Mobil berhenti tepat di lobi megah PT Cakrawala Tbk, perusahaan tambang minyak bumi terbesar itu. Evelyn turun dengan langkah anggun. Begitu ia melangkah masuk, para karyawan serentak berdiri tegak. “Selamat siang, Bu Evelyn.” “Selamat siang,” jawab Evelyn ramah, meski wajahnya terlihat sedikit lelah. Ia masuk ke dalam lift khusus menuju lantai 50. Angka demi angka naik dengan cepat. Begitu pintu lift terbuka, semua staf yang berada di lantai itu langsung berdiri memberi hormat. “Selamat siang, Bu Evelyn,” ucap mereka hampir bersamaan. “Selamat siang semuanya,” balas Evelyn. Seorang sekretaris perempuan segera menghampirinya. “Bu Evelyn, Pak Arthur sedang meeting dengan klien di ruang utama.” Evelyn menoleh. “Kenapa kamu tidak ikut mendampingi, Ayu?” Ayu terlihat ragu. “Kliennya meminta pertemuan tertutup, Bu.” Evelyn mengangguk pelan, lalu melangkah ke arah ruang meeting. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu. “Ibu Evelyn…” Ayu tampak gelisah. “Kliennya masih di dalam. Sebaiknya jangan diganggu dulu.” Evelyn berhenti sesaat, lalu tersenyum tipis. “Klien seperti apa sampai harus serahasia itu?” Tanpa menunggu jawaban, pintu langsung ia buka. Di dalam ruangan, Arthur tampak sedang membenarkan kancing kemejanya dengan gerakan gugup. Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik dengan rambut sedikit berantakan, riasannya masih terlihat tebal. Evelyn membeku. Matanya menajam. “Mas… siapa wanita ini? Kenapa kalian berdua terlihat seperti baru saja—” Arthur langsung memotong cepat, suaranya terdengar dibuat tenang. “Kamu jangan salah paham, Evelyn. Ini Bu Bianca, salah satu calon investor besar perusahaan.” Wanita itu maju selangkah, tersenyum sopan. “Betul, Bu Evelyn. Saya Bianca. Kami barusan membahas kerja sama proyek. Mungkin tadi terlihat kurang rapi karena presentasi cukup panjang.” Evelyn menatap Bianca dari kepala sampai kaki, lalu kembali menatap Arthur. “Oh… begitu.” Ia menunduk sedikit. “Maaf, saya mengganggu meeting kalian.” Bianca meraih tasnya. “Tidak apa-apa. Justru saya memang sudah akan pergi.” Ia menjabat tangan Arthur. “Senang bisa bekerja sama dengan Anda, Pak Arthur.” Arthur membalas jabatannya cepat. “Senang bekerja sama dengan Anda juga, Bu Bianca.” Bianca lalu menoleh ke Evelyn. “Sampai bertemu lagi, Bu Evelyn.” “Ya,” jawab Evelyn singkat. Setelah Bianca keluar dan pintu tertutup, suasana ruangan mendadak sunyi. Arthur berjalan mendekat, berusaha tersenyum. “Gimana pemeriksaan kamu hari ini, sayang?” tanyanya seolah tak terjadi apa-apa. Evelyn menatapnya lekat. “Mas harus ikut besok. Mas Arya mau menjelaskan langsung ke kita berdua tentang langkah apa yang cocok untuk kita.” Arthur tampak ragu sesaat, lalu mengangguk. “Besok ya… oke. Mas akan luangkan waktu buat kamu.” Evelyn menghela napas lega. “Terima kasih, Mas.” Arthur langsung menggandeng tangan Evelyn. “Sekarang kita makan dulu, yuk. Mas lapar.” Evelyn tersenyum kecil. “Ayo. Kita ke restoran favoritku saja. Aku juga belum makan sejak pagi.” “Siap,” jawab Arthur sambil tersenyum lebar. Mereka berjalan keluar ruangan. Namun di balik senyum itu, hati Arthur bergetar tak tenang. “Untung tadi aku cepat mengalihkan perhatiannya…” batinnya gelisah. “Kalau sampai Evelyn curiga sedikit saja dengan perselingkuhan ku… semuanya bisa hancur .” Mereka masuk ke dalam lift dan turun menuju lobi. Begitu sampai di bawah, mobil sudah menunggu di depan. Arthur lebih dulu masuk, disusul Evelyn. “Ke restoran biasa saja, Pak,” ujar Arthur. “Baik, Mas,” jawab sopir sambil menyalakan mesin. Mobil mulai melaju. Baru beberapa menit di perjalanan, ponsel di tangan Evelyn bergetar. “Mas, mama nelepon. Aku angkat dulu ya,” kata Evelyn sambil menoleh pada Arthur. “Iya,” jawab Arthur singkat. Evelyn mengangkat panggilan video itu. “Halo, Mah,” sapa Evelyn. Wajah Laura muncul di layar. “Halo, sayang. Gimana pemeriksaan kamu tadi?” Evelyn menghela napas pelan. “Aku disuruh datang lagi besok, Mah… sama Mas Arthur.” Laura langsung tersenyum puas. “Tuh kan mama bilang apa dari awal. Kamu itu sering nggak percaya sama firasat mama.” Evelyn tersenyum kecil. “Iya, Mah…” Arthur lalu mendekat sedikit dan ikut bersuara ke arah kamera. “Maaf ya, Mah, tadi saya nggak bisa ikut karena ada meeting penting dengan klien.” “Halah, alasannya meeting terus,” jawab Laura setengah menggoda, setengah menyindir. “Tapi ya sudah, besok wajib ikut.” “Iya, Mah. Saya usahakan pasti ikut,” jawab Arthur. Laura lalu seperti teringat sesuatu. “Oh iya, nanti malam kalian datang ke acara pertunangan Arya, ya. Mama tunggu di sana. Nggak enak sama Papa kalau kalian nggak datang, kiya masih keluarga.” Evelyn sedikit terkejut. “Mas Arya sudah punya tunangan, Mah?” “Iya,” jawab Laura antusias. “Sekalian kalian juga bisa mengucapkan terima kasih ke Mas Arya karena sudah bantu kamu.” Arthur langsung menyahut, nadanya dibuat ramah. “Tentu, Mah. Saya dan Evelyn pasti datang.” “Nah, gitu dong,” kata Laura senang. “Acaranya di hotel bintang lima. Nanti mama kirim share location. Kita ketemu di sana saja.” “Iya, Mah,” jawab Evelyn. Hening dua detik, lalu Laura menambahkan lembut, “Hati-hati di jalan, ya, kalian.” “Iya, Mah. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Panggilan berakhir. Evelyn menurunkan ponselnya perlahan. “Mas… nanti malam kita datang ke acara Mas Arya,” kata Evelyn. Arthur mengangguk sambil menatap ke depan. “Iya. Kita datang. Sementara Evelyn bersandar di kursinya, hatinya juga tak kalah kacau. “Mas Arya bertunangan…” gumamnya dalam hati. “Kenapa dadaku terasa aneh dengarnya? Kenapa tadi dia masih menggoda ku apa dia hanya bercanda?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD