Mimpi (Part 1)

1657 Words
Hari-hari terus berjalan dan tidak bisa diberhentikan. Begitu juga dengan semua ujian yang kami hadapi ini. Belajar ataupun tidak, dikerjakan ataupun tidak semua akan tetap berjalan. Tak seorang pun bisa menghentikannya. Ujian Negara terakhir kami jalani hari ini. Setelah ujian Negara, kami harus mulai lagi dengan ujian sekolah. Baik itu teori maupun praktek. “Naaaa......” “Hmmmm...” “Gak sanggup na.. K.O.” Ica bersungut-sungut sembari meletakkan wajahnya di atas meja kantin. Terlihat wajahnya yang kusut lengkap dengan kantung mata seperti panda. “Sabar ya neng, ujian sekolah pasti bisa. Kan semua kisi-kisi udah dikasih. Tinggal belajar dari situ pasti bisa lulus,” aku menenangkan Ica sambil mengelus kepalanya pelan. “Pulau B.. kamu masih jauh banget..” “Lewatin ujiannya dulu baru bisa dapet ticket emas ke Pulau B” ujarku bercanda. “Untung gue pesen baksonya ekstra pedes ya Na biar bisa napas dikit otaknya. Sedari minggu lalu udah mendidih, tinggal tunggu menguap ajak otaknya sampe kering.” Ucapan Ica membuatku tertawa. “By the way Na, kemarin pas gue upload foto kita di Stargram sepupu jauh gue ada yang katanya kenal sama lo. Dia sih masih sekolah di Negara A tapi katanya mau pulang kuliah kesini.” “Loh bukannya kebalik ya? Harusnya kuliah di luar negri kok malah aneh sepupu kamu,” “Kata ortunya sih udah niat belajar. Dikirim ke Negara A karena kebanyakan main-main jadi fasilitas disita semua. Udah tobat baru ditarik kesini lagi deh,” “Yah.. Sultan beda-“ ucapanku terpotong oleh suara seseorang yang asing untuk kami. Raut wajahku berubah menjadi datar seketika. Aku paling tidak suka jika orang yang tidak kukenal memotong pembicaraanku. “Hallo, Meena ya? Kenalin nama gue Keenan. Boleh minta nomer lo nanti selesai ujian kita ja-“ “Sorry, saya masih ngobrol sama temen saya dan sekarang udah mau mulai lagi ujian kedua. Duluan ya Ca!” Kemudian aku berdiri membalikan badan dan berjalan ke arah kelasku. “Duh! Nama lo Keenan kan? Salah banget deh lo mau kenalan sama Meena caranya kayak gitu. Sama aja minta di blacklist namanya! Lulus juga belom tentu udah mau ajakin Meena jalan. Udah ah gue juga balik kelas” Ica bicara dengan sedikit geregetan. Meninggalkan pria bernama Keenan itu dalam diam dan malu. Selama berada di kantin ternyata banyak mata yang memperhatikan aksi Keanan tersebut. Pasalnya, Keanan cukup terkenal di kalangan anak gadis karena parasnya yang tampan. Tetapi untuk Meena, paras tampan saja tidak cukup, tidak penting bahkan. Yang terpenting baginya adalah mencintai dirinya dan kedua orang tuanya. Wajah akan menua, kekayaan bisa dicari. Tetapi perasaan cinta dan kepercayaan tidak bisa dibeli. *****  “Meena! Udah kelar?” Teriak Ika dari depan pintu kelasku. Aku sedang membereskan barang-barangku sembari terus bersiap-siap untuk pulang. “Udah nih, yuk Ca. Kita mau langsung pulang? Mampir ke toko dessert dulu ya?” “Sekalian temenin gue belanja ya Na. Refreshing dulu sebelom hasil ujian keluar semua minggu depan” “Yaudah aku telepon Mama dulu ya kasih tau kalo aku pulang terlambat,” “Okey Na, gue tunggu di parkiran.” ***** Seminggu berlalu begitu cepat. Banyak orang bilang kalau waktu yang tidak ditunggu pasti cepat sekali datangnya. Terutama untuk sabahatku Ica. Ketatukan sekali jika nilainya tidak cukup untuk membuatnya lulus. Pagi-pagi sekali Ica sudah menjemputku ke rumah. Mau lihat papan pengumuman paling pertama katanya. Takut kalau tidak lulus nanti histeris di depan banyak orang. Walaupun aku yakin Ica lulus, apapun ucapanku tidak bisa membuatnya tenang. “Na!!!! Gue LULUS Na. LULUSSSS!!” Ica berteriak-teriak sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ternyata lulus pun tetap membuatnya histeris. Beberapa anak lain bahkan merasa terganggu dengan suaranya dan sempat terkena tangannya yang begitu semangat. “Iya Ca, iya. Lusa upacara kelulusan bisa tenang kan kamu? Gak jadi minta surat sakit dari om kamu yang dokter itu?” “Hehehehehe.. Jadinya aku bisa dandang maksimal deh lusa.” “Kan kita upacara kelulusan pake seragam neng, dandan jangan heboh ya,” ujarku sambil mencubit pipinya Ica gemas. Kemudian lagi-lagi kami mampir ke mall sepulang melihat pengumuman itu. Kali ini kami sambil membeli perlengkapan untuk pergi ke pulau B. Acara yang sangat ditunggu-tunggu Ica. Lulus sekolah, pergi berlibur sama teman-teman bisa masuk ke Club Malam karena sudah punya KTP. Setelah itu kami pun pulang ke rumahku. Ica meminta ijin kepada ibuku untuk pergi ke pulau B merayakan kelulusan kami. Ayah dan Ibuku pun memberikan ijin. Bagi mereka, jarang sekali aku meminta ijin untuk pergi bersama teman-teman seumurku. ***** Setelah upacara kelulusan, kami semua total 20 orang langsung berangkat ke Pulau B menggunakan penerbangan komersil. Kami menyewa sebuah villa dengan ukuran cukup besar dengan 7 kamar. Villa nya terbilang sangat bagus apalagi memiliki private pool dengan view langsung ke pantai. Sunsetnya pun terlihat dengan jelas. Pemandangan yang benar-benar cantik dengan cahaya matahari yang menampilkan semburat warna oranye pada golden hours itu. Teman-teman pun berkumpul di kolam renang. Anak laki-laki menggunakan celana pantai dan sebagian bertelanjang d**a. Sedangkan anak perempuan rata-rata menggunakan bikini. Sama halnya dengan Ica dan aku. Bedanya Ica menggunakan bikini putihnya tanpa luaran. Sedangkan aku masih menggunakan luaran berjaring dan kain yang diikat selututku. Aku tidak suka terlalu menunjukkan bagian tubuhku di tempat umum. “Wow Na?!” Suara Ica yang cukup kencang membuat teman-teman menoleh ke arahku. Membuat wajahku terasa panas. “Umm.. Aku duduk disini aja ya Ca gak join di pool,” “Okey Na..” “Hai..” suara seorang laki-laki membuatku cukup terkejut. “Oh Hai” sahutku datar “Nama lo Meena ya? Temen deketnya Ica? Kenalin nama gue Clark sepupunya Ica,” “Oh, Ica spertinya pernah bicara soal sepupunya yang di luar negri,”   “Wah.. Cepat juga” gumam Clark “.......” suaranya bergumam terlalu kecil untuk kudengar “Dulu lo pernah sekolah di SD T sampe lulus?” “Hmm... Ada perlu apa ya?” aku malas menanggapi pria asing. Sayangnya dia sepupu Ica. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja seperti biasanya. “Nggak apa, kayaknya pernah lihat aja. Mau minum apa? Biar gue ambilin?” “Gak usah makasi Clark, saya mau balik ke kamar saja. Bye” “Loh Na udah mau balik? Baru aja gue naik mau nyapa SE PU PU gue satu ini yang malahan nyapa lo duluan,” Ica kesal dengan kegenitan Clark lalu menepak bahu lelaki kekar itu. “Sunsetnya udah beres Ca, kurang nyaman aja sama bajunya. Sekalian siap-siap buat makan malam. Duluan ya Ca” aku pun bangkit berdiri menuju kamarku. Entah mengapa seperti ada sesuatu yang mengganjal. Apakah itu tentang hal yang baru saja ditanyakan Clark atau hal lain aku masih tidak tahu. Hanya saja aku merasa gelisah. ***** “Meena! Sini sayang duduk sebelah gue. Biar anak-anak cowok aja yang sibuk bakar-bakarin dagingnya,” “Hai Meena. Mau gue ambilin makanan apa? Minumnya sekalian?” “Hai Ca. Oh, gak usah Clark thanks nanti saya bisa ambil sendiri.” “Ehem, gue yang notabenenya sepupu lo gak ditawarin? Meena doang?” “Kalo lo kan jago makan, gak dikasi juga nambah sendiri.” “Resek lo Cal?!” gerutu Ica sambil menepuk tangan Clark. Kami bertiga pun tertawa. Clark akhirnya menghampiri anak laki-laki yang sedang memanggang dan membantu mereka. “By the way Na, lo keliatan gak nyaman dari tadi? Karena sepupu gue itu?” “Ng.. nggak Ca. Aku juga gak tahu rasanya ada yang ganjel aja. Oh, sepupu kamu kenapa bisa ikut kesini? Aku kira ini khusus anak sekolah kita aja.” “Iya ternayata Clark kenal dengan beberapa temen kita. Mereka yang ajak. Sekalian mau ketemu sama lo katanya. Dia ngotot kalo kenal sama lo dari dulu. Mungkin lo udah beken dari dulu kali Na. Dia inget lo, lo nya nggak. KESIAN” kami pun tertawa. Mungkin benar kata Ica, karena dahulu aku tidak memiliki teman dan aku focus belajar. Hanya ada satu kejadian yang kuingat samar-samar saat upacara kelulusan SD, tetapi aku tidak mau ambil pusing. Makanan yang dibakar pun mulai matang. Perlahan kami mulai menyantap makanan sambil berbincang dengan teman-teman yang lain. Malam pun semakin larut. Kami semua merasa bahagia satu tingkat pendidikan sudah dilewati. “Nih Na, Ca. Cobain minumannya enak.” “Apaan nih Clark? Bukan aneh-aneh kan?” ujar Ica sambil memicingkan matanya curiga “Cobain aja, temen lo yg bawa” “Thanks Clark,” ujarku “Masih mau tambah makanannya?” “Saya nggak, thanks. Mungkin Ica mau.” “Gue juga udah begah Clark, thanks.” Tidak lama ponsel Ica berbunyi, menampilkan nama seorang pria di layarnya sebelum Ica sempat menyeruput minuman yang diberikan Clark. “Opps, gue terima telepon sebentar ya. Titip Meena ya Clark jangan ada buaya yang ngedeketin!” Ica buru-buru pergi dengan muka berseri. “Ica punya pacar?” Aku menjawab pertanyaan Clark dengan mengangkat bahuku. Karena yang kutahu Ica masih single. “Kalo lo sendiri Na? Udah punya juga?” ‘Ah rupanya pertayaan tadi mengarah kesini’ aku bicara dalam hati. “Belum saatnya. Masih banyak pencapaian yang akan saya raih. Rasanya untuk pacaran akan banyak membuang waktu.” Jawabku datar “Kalo sama Ica, gue perhatiin lo bisa bicara santai. Tapi begitu sama orang lain, lo hmm... datar banget, dingin kali lebih tepatnya” “Ternyata kamu to the point juga ya. Gak heran sepupuan sama Ica. Sepertinya itu bukan hal yang bisa saya diskusikan dengan orang yang baru saya kenal tadi” ingin cepat-cepat kembali ke kamar, aku memutuskan untuk menengguk habis minuman yang diberikan Clark. Menjaga sopan santun. “Its okay. Nanti setelah kita jadi deket gue siap ngedenger-. Loh kenapa Na?” Saat mau berdiri badanku terhuyung. Kepalaku terasa sakit menusuk dan badanku terasa panas. “Na.. Meena. Lo kenapa? Bisa dipenggal Ica nih gue. Na..” Clark yang mulai panik menepuk pipiku. Teman-teman lain mulai sadar dan beberapa anak laki-laki mulai berjalan menghampiri. Clark mencegah lelaki lain itu untuk mengantarku ke kamar. Dia memilih untuk menggendongku yang mulai kehilangan kesadaran. ‘Brakkkk’ “Meena kenapa Cal?!” Ica yang sudah selesai menelpon masuk ke kamar dengan terburu-buru. “Gue juga gak tau, tadi abis minum one shot terus dia langsung sempoyongan.” “One shot? Maksud lo? Yang tadi lo kasih itu liquor?” “Lah iya, temen lo bawa buat acara ini” “b******k LO CLARK! Meena gak bisa minum alcohol. Bahkan dia gak pernah minum. Malah lo paksa buat dia minum one shot!” “Dia tiba-tiba minum gitu. Gue juga gak tau Ca. I’m so sorry. Gue gak ada maksud jahat sama sekali sama Meena. I swear. Justru gue mau lindungin dia dari temen-temen lo tadi.” “Hhhhh.. lo jagain Meena dulu deh gue ajak temen gue buat beli obat kalau Meena bangun nanti,” “Sorry Ca, thank you” Beberapa jam kemudian aku tersadar. Kepalaku terasa berdenyut. Bunyi ponselku membuatku terjaga. Entah kenapa Clark dan Ica ada di dalam kamarku. Samar-samar aku ingat kejadian Clark menggendongku. Pemikiran itu terpecah karena ponselku terus berdering. Ternyata ini sudah tengah malam. Nomor yang tidak kukenal muncul di layar ponselku. Ternyata sudah ada lebih dari 10 kali panggilan tidak terjawab. Aku mencoba berdiri menjauh ke sisi kamar yang lain agar tidak membangunkan Ica dan Clark. “Halo, selamat malam” sapa ku kepada penelpon itu “Benar ini dengan Meena Tarani? “Iya benar, saya sendiri. Ada keperluan apa tengah malam seperti ini pak?” Tanyaku penasaran. Tidak lama kemudian, ponselku pun terjatuh. Membuat keduanya tersentak bangun. Tangisku pun pecah   Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD