[0] 000000: Prolog

233 Words
Dia berdiri dan dengan cepat mencium bibirku dengan cepat. Ciuman itu dalam, namun pelan. Aku melepaskan ciuman itu secepat dia memulainya. “Apa maksudnya!?” suaraku naik dua oktaf. Dia terkekeh. “Anggap saja doa keberuntungan dariku. Biasanya, mereka yang mendengarkan tentang kebenaran ini dari anak-anak panti ... semuanya mati,” jawab Fatimah dengan senyuman yang dibuat-buat, namun wajahnya terlihat sedih. “Ini, sesuai perjanjian,” komentarku datar, seraya menyerahkan cincin itu. Aku mengelap mulutku, mencoba menghapus rasa bibir wanita itu dari lidah dan mulutku. Rasanya manis, sial. “Kamu tahu, kamu berbeda dari dia. Dia terlalu polos, terlalu percaya denganku,” komentar wanita itu lagi. Aku tersenyum kecut. *** “Yang lain mana?” tanyaku kala tiba di gazebo itu. Hanya wanita pendiam itu yang sudah ada di sana. “Mereka ke kantin beli makanan katanya. Aku di sini soalnya sudah bawa bekal dalam tas,” jawabnya. “Gak ikut sama mereka aja gitu, makan bekal di kantin?” tanyaku heran. “Oh, aku tadi bilang menyusul sih,” jawabnya. “Pembohong.” “Oh tentu, bukannya itu kita berdua?” tanya wanita itu balik dengan ejekanku. Wanita itu mencoba menyetarakan posisi ‘kah? Aku hanya tertawa hambar. “Apa aku salah?” tanya wanita itu datar. Aku menggelengkan kepala, dia tidak salah berkata demikian.  “Bukannya manusia memang makhluk ahli pembohong?” tanyaku balik dengan senyum sinis. Dia hanya menganggukkan kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD