Bab 1.Enam Tahun Pacaran
Liana, kapan kamu akan menikah? Jangan tunda loh."
"Liana, adikmu aja nikah, kamu kok belum, jangan lama-lama pacaran!"
"Liana, desak pacarmu nikahi kamu, masa pacaran ga nikah-nikah sih?!"
Kalimat terakhir itu adalah murni omelan mamaku.
Yah, aku sudah terbiasa mendengar segala omongan, himbauan, kritikan, dan sindiran soal hubunganku dengan pacar aku, Tio.
Terutama mama aku, Ibu Ratu Teresa.
Begitu aku memanggilnya jika aku sudah kesal dengan omelan mama tiap kali menyinggung soal hubunganku yang katanya tiada berujung.
Uff, memangnya aku mau pacaran lama-lama?
"Liana, kalau dia ragu nikahi kamu, putusin saja!"
Mama selalu begitu, sepertinya tidak suka dengan pacar aku, Tio. Padahal awal-awal aku kenalkan mama paling antusias, deh.
"Iya, mama bukan ga suka Tio tapi kok kayak digantung gitu loh kamu itu?"
Digantung?
Satu minggu lamanya kalimat ini terngiang-ngiang di telingaku, merasuk ke pikiranku, menempel di memori otakku sampai aku sulit memejamkan mata jika malam, dan menjadi penyebab hilangnya konsentrasi saat aku bekerja di kantor alhasil aku sering ditegur Pak Messach, bos ganteng tapi killer.
Apa benar aku digantung?
Iya sih, umur pacaran kami itu bisa dibilang tak muda lagi, sudah menjelang enam tahun, tanggal 14 February nanti.
Aku dan Tio, pacar aku hanya selisih dua tahun. Bulan Maret nanti umurku sudah menginjak kepala tiga.
Tak muda lagi yah? Aku sih cuek asalkan kami saling mencintai dan setia.
Tahu apa sih mereka soal hubungan kami? Memang menikah itu seperti membalik tangan begitu yah?
Terus jika menikah muda, bisa dijamin nih bakal awet? Tidak'kan?
Semua itu butuh perencanaan.
Itu kalimat jitu yang kupakai buat melawan setiap omongan menulikan telinga.
"Rencana apa, tokh, Liana? Kamu kerja, dia kerja, gaji kalian lumayan gede, digabung tiga tahun sudah bisa beli rumah! Lah ini pacaran sampe enam tahun! Adikmu aja udah punya anak tiga! Tanya Tio! Kapan kamu dilamar?"
Mama aku selalu bisa mematahkan argumenku, sebal sekali!
Jadinya aku kepikiran kan?
Sungguh aku digantung? Akh! Kalimat itu berjingkrak-jingkrak lagi di pikiranku.
Ayo, Liana, jangan terpengaruh omongan provokatif itu, Tio itu cinta mati sama kamu! Seperti katamu, semua butuh perencanaan, batinku memotivasi diri sendiri.
Ini hanya soal waktu saja.
"Liana, pernah ga kamu tanya sama pacar kamu misalnya kelanjutannya gimana? Ada omongan tentang masa depan ga?"
Tante aku, Ruth juga ikut-ikutan menasehati aku.
Jujur sih, aku terlalu nyaman pacaran sama Tio, pria yang mempunyai senyum mempesona itu sehingga tak terbersit untuk bertanya sejauh itu sampai tak terasa usia pacaran kami bukan umur bulanan lagi. Waktu cepat berlalu yah?
"Jangan-jangan Tio ga serius sama kamu? Bisa jadi kan? Kalo serius pasti dong kamu diajak diskusi soal nikah? Jangan-jangan dia punya gebetan baru, kamu yang dikadalin! "
Alena sohib aku baru-baru ini juga mulai kepo, bahkan omongannya lebih 'sadis' lagi.
No! No! Aku yakin Tio setia, begitu juga aku, setia! Kami sudah kenal luar dalam!
Aku tahu sih, Alena bisa bicara begitu karena dia mungkin prihatin sama aku karena dia sudah mau menikah dua bulan lagi padahal dia pacaran baru dua tahun.
Tapi sekali lagi, aku mau bilang, ini soal waktu saja.
Aku dan Tio, kekasihku itu tidak punya masalah hati. Mungkin saja di dalam lubuk hati kami masing-masing tidak mau buru-buru nikah, karena bagi kami menikah itu bukan persoalan asal menikah. Banyak yang perlu dipertimbangkan, jangan sampai setelah menikah malah putus, malah cerai. Belum lagi persoalan punya anak kan?
Maka aku mau bilang kepada mereka semua yang kepoin hubunganku dengan Tio, ini masalah waktu saja.
Dan aku yakin seyakin-yakinnya hari itu akan tiba, dimana Tio, kekasihku akan melamar aku dengan suasana romantis yang ku impikan.
Lihat saja!
Aku tersenyum penuh arti melihat pantulan cermin, diriku yang cukup cantik, wajah bulat oval, rambut lurus paniang, tinggi 160 cm, bobot tubuh 68 kg. Yah, aku sedikit gemuk menurut teman-teman aku, tapi tak apa aku tak masalah dengan bentuk tubuh aku, tokh Tio juga tak mempermasalahkannya 'kan?
Aku memoles lipstik tipis di bibir tipisku, pipi chubby kuberi perona tipis senada pewarna bibir.
Aku menggulung rambutku ke atas, menjepitnya.
Oya, aku lupa dengan alis mata.
Ku paling sulit mengukir bulan sabit di atas alis mata. Tapi tetap ku coba.
Oke, selesai sudah.
Aku siap berangkat kerja, sebentar lagi aku dijemput Tio, kekasih hatiku, kami satu kantor hanya lain devisi.
Asa-asa-ku akan kupupuk terus sampai pada akhirnya hari itu tiba.
Drrrt
Ponselku bergetar. Hmm pasti Tio yang nelpon.
Aku tersenyum melihat layar ponselku, panggilan masuk dari pacarku, seperti dugaanku.
"Ya sayang... Bentar lagi aku turun."
"Oke.. Aku udah di bawah lima menitan." Suara Tio di seberang saluran telepon.
"Ya, bentar.. " Ku matikan telpon dan segera turun ke bawah, kamar kost ku ada di lantai dua.
Sesudah kunci kamar, dengan setengah berlari aku menuruni tangga.
Aku sudah sampai, ku buka pagar, terlihat Tio dengan motor scoopy-nya sedang menungguku.
"Yang, lama yah nunggu aku?" sapaku.
"Lima menit lah, yuk entar telat." ajaknya seraya men-starter motornya.
Namun saat aku hendak naik ke motornya tahu- tahu Tio menyeletuk, "Na, kamu pake sandal jepit ke kantor?"
Mataku langsung melihat ke bawah. Ya ampun! Saking buru-buru nya aku sampai lupa ganti alas kaki. Pantesan saat turun tangga tadi langkah kakiku terasa ringan.
"Astaga! Lupa!" Ku tepuk jidatku. Tio geleng-geleng kepala.
"Lum tua loh udah pikun." gumam Tio.
Aku cengengesan. .
"Ku ganti dulu, tunggu bentar ya.. " kataku balik kanan kembali ke kamar kost ku. Dari sudut mata sempat ku lihat Tio melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
Ku percepat langkahku, jangan sampai Tio menunggu terlalu lama.
Kuambil kunci di dalam tas dan segera memasukkannya ke dalam lobang kunci kamar tapi kok susah yah, tidak bisa dibuka. Ku coba beberapa kali, tetap tidak bisa. Kenapa yah? Padahal aku mau cepat-cepat nih.
Tiba-tiba... Kreet!
Eh, pintu itu terbuka?!
Dari balik pintu yang terbuka sedikit muncul kepala seorang gadis yang tidak asing bagiku.
"Mbak?. Ada apa ya?" tanyanya heran.
Saat itulah aku sadar akan kecerobohanku.
"Aduh! Maaf ya... aku salah kamar!" Cicitku. Gadis itu hanya menggeleng kepalanya lalu menutup pintu kembali.
Aku salah fokus. Kamarku ada di sebelah kamarnya. Pantesan tidak bisa dibuka!
"Oon!" Aku memarahi diri sendiri sembari membuka pintu kamarku lalu secepatnya mengganti alas kakiku dengan sepatu Pantofel.
Aku pun melangkah dengan cepat menemui Tio.
"Lama amat!" gerutu Tio.
"Iya, sorry yah." Aku melipat bibir.
"Ayo, naik, pegang kuat, ngebut!" titahnya. Dengan segera aku melakukan perintahnya lalu melingkarkan tanganku ke pinggangnya.
Motor pun melaju dengan kecepatan 80 km/jam membelah jalan raya ibu kota.
Semoga kami tidak telat sampai ke kantor dan check clock tepat waktu.
*****