"Kalea, ayo sarapan dulu, Nak." Kalea menghentikan langkahnya, dia menolehkan kepalanya ke belakang menatap Arista yang tengah tersenyum hangat padanya. Bola matanya melirik sekitar, dia tak menemukan keberadaan sang ayah di sana. "Aku bisa sarapan di kampus. Aku berangkat dulu, Ma," balas Kalea datar lantas pergi begitu saja. Arista memandang punggung sang putri dengan tatapan sendunya. Tak bohong, hatinya sakit mendapati perlakuan tak peduli Kalea. Biasanya putri semata wayangnya itu akan memohon agar mereka bisa sekadar makan bersama, tetapi sejak hari itu Kalea bahkan selalu makan di luar ataupun memasak sendiri. "Andai kamu tau rasa sakitnya, Nak. Apa kamu akan tetep bersikap nggak peduli ke Mama?" Mata Arista berkaca-kaca tanpa bisa Arista cegah air matanya luruh begitu saja. D

