Part 2. Sekedar Mencoba

1003 Words
Darel duduk dengan tenang di sebuah restoran tempatnya membuat janji temu dengan seorang perempuan yang akan Randi kenalkan kepadanya. Tidak ada rasa gugup yang Darel rasakan seperti kebanyakan orang. Karena sama-sama bekerja, mereka memutuskan bertemu ketika malam hari. “Darel ya?” Darel mendongak dan mendapati seorang gadis dengan rambut terurai indah.  “Benar.” Katanya dengan senyum ramah, “Kania?” gadis itu juga tersenyum kemudian duduk di depan Darel. “Maaf, telat. Saya sudah berangkat lebih awal, tapi jalanan benar-benar macet.” Sesal gadis itu. Penilaian pertama Darel ketika melihat gadis itu adalah, cantik. Terlihat anggun, dan cara berbicara nya juga lembut. Untuk fisik, Darel memberikan nilai 75. Dia akan memberikan nilai untuk lainnya, ketika dia sudah mengobrol dengan gadis itu nanti. Darel berinisiatif untuk memanggil pelayan terlebih dulu agar mereka bisa memesan sesuatu. lelaki itu sudah memesan jus jeruk tadi, namun belum memesan makanan apapun. “Boleh pesan banyak?” tanya gadis itu malu-malu. Darel tersenyum dan mengangguk. “Silahkan.” Jawabnya. Darel ikut memesan dan kemudian seorang pelayan tersebut pergi untuk mengambilkan pesanan mereka.  “Maaf kalau pesannya banyak. Saya memang suka makan.” Kata gadis di depan Darel itu dengan blak-blakan.  “Bukan masalah. Tubuh juga butuh nutrisi.” Sambung Darel dengan santai namun masih dengan sopan.  Darel kembali menilai perempuan itu di dalam hatinya. Cenderung blak-blakan dengan apa yang dipikirkan. Dia bahkan tidak merasa malu mengungkapkan kesenangannya. Bagi Darel itu bukan masalah besar. Perempuan seperti itu justru biasanya adalah perempuan yang asyik. Dan memiliki banyak pembahasan ketika Darel kehabisan sesuatu yang akan dibahas. Sejak tadi, ada saja yang menjadi pembahasan keduanya. Tentang pekerjaan, tentang hobi, dan hal-hal lain yang tak mengizinkan keheningan masuk diantara mereka dan menjadi yang ketiga. Bahkan ketika mereka makan pun, obrolan itu masih berlanjut sesekali.  “Memangnya Darel terakhir pacaran kapan?” mereka sudah selesai makan dan masih duduk dengan tenang di kursi mereka.  “SMA.” Jawaban itu benar-benar membuat Kania terpana. Terlihat sama sekali tak menyangka jika itu akan terjadi pada lelaki seperti Darel. “Dan itu sudah berlalu hampir sepuluh tahun.” Gadis itu terlihat kaget. Darel tersenyum lembut.  “Setelah menginjak dewasa, saya merasa jika sudah tidak waktunya lagi untuk saya bersantai-santai. Mungkin pacaran, bagi kebanyakan orang memacu kita untuk bisa bekerja keras. Tapi bagi saya, kasihan sekali anak orang kalau saya ajak hidup susah.” Ada kekehan di sana yang membuat Kania ikut tersenyum. “Saya membuat rencana dalam hidup saya, dan pacaran bukan masuk dalam daftar.”  “Kalau dulu suka sama cewek?” “Saya pendam saja dalam hati. Dan lama-lama rasa itu hilang begitu saja.” Ucapan Darel seperti mudah untuk dilakukan. Tapi tidak begitu untuk lelaki tersebut.  “Wah!” heran Kania, “Bisa begitu ya?” ekspresi yang ditunjukkan oleh gadis itu juga penuh kekaguman.  “Ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan bukan?”  “Tapi bagi saya itu benar-benar luar biasa.” Kata Kania lagi. Pertemuan pertama mereka berakhir dan mereka terpisah di restoran tersebut ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tidak ada keputusan yang Darel ambil dalam pertemuan malam ini. apakah mereka akan berlanjut ke pertemuan selanjutnya, atau akan berhenti sampai di sana. Darel kali ini tak gegabah mengambil keputusan. Mereka sudah saling bertukar nomor telepon dan itu akan mempermudah keduanya seandainya salah satu mereka merasakan ketertarikan. Tapi jika Darel ditanya apakah tertarik dengan gadis itu, maka jawabannya adalah lima puluh persen dia tertarik.  Sebetulnya itu sudah lumayan dibandingkan dengan gadis yang dikenalkan oleh Randi waktu itu. Dia langsung menolak tanpa lagi pertimbangan.  Hidup sendiri di Jakarta memang bukan hal baru bagi Darel. Jika sekarang dia sudah menempati rumahnya sendiri, maka dulu dia harus tinggal di tempat kos. Itu sudah biasa untuk anak perantauan. Karena itu, dia segera menginginkan teman hidup agar rumahnya tak lagi sepi.  Ketika dia sudah berada di kamarnya dan duduk di meja kerjanya, hanya keheningan yang menemaninya.  “Gimana, Kania?” Waktu sudah berubah hari, dan demi menuntaskan rasa penasaran nya, Randi bahkan tanpa ragu datang ke kantor Darel dengan membawa makanan sekaligus makan siang di sana.  “Dia oke!” jawabnya, “Tapi gue rasa, butuh waktu untuk lebih mengenal dia.” “Kalau gitu lo bisa melakukannya.” Darel tak langsung menjawab. Kunyahannya berhenti dan barulah bibirnya terbuka untuk menanggapi Randi. “Jangan dulu deh.” Katanya dengan lugas, “Gue rasa dia lebih asyik dijadikan teman baik dibandingkan menjadi seorang istri.” “Astaga!” Randi menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kan lo bilang dia, oke. Jadi apalagi sekarang keluhannya?” Darel sepertinya memang sedang dilanda dilema. Tadi dia mengatakan jika butuh waktu untuk mengenal, tapi sekarang justru mengatakan jika Kania lebih asyik dijadikan teman. Entah apa yang ada di pikiran Darel kali ini. “Gue hanya pikir seperti itu.” Tak ada jawaban pasti yang diberikan oleh Darel dan itu membuat Randi menghela nafas panjang. “Sekarang lo bilang aja ke gue,” Kata Randi akhirnya, “Tipe lo itu seperti apa?” mungkin hanya memastikan saja agar jika dia memiliki tipe yang Darel sebutkan, dia bisa kembali memperkenalkan nya lagi kepada temannya itu.  “Gue nggak punya tipe ideal yang spesifik. Gue hanya ngerasa, gue bisa tertarik sama dia ketika gue ngeliat dia.”  “Jadi kasus Kania ini nggak begitu?” Randi mendesak. Dan kedikan bahu yang diberikan oleh Darel membuat Randi mengeluarkan kata Mutiara berupa sumpah serapahnya. Dia sepertinya memang sebal sekali dengan sahabatnya tersebut.  “Balik lah gue.” Katanya setelah melihat jam yang ada di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 12.45. Kantor Randi tidak jauh dari kantor Darel, karenanya lelaki itu santai saja tanpa buru-buru pergi.  Darel akan melanjutkan pekerjaannya ketika mendapat chat dari seseorang. Kania : Hai, Darel Begitu isinya yang terbaca. Darel menatap ponselnya lama. Jika dia tak membalas pesan tersebut, maka sangat tidak sopan sekali. Maka hatinya mengatakan, apa salahnya saling mengirim chat. Bisa saja sekarang dia tak tertarik, tapi siapa tahu nanti justru dia yang akan mengejarnya. Darel : Hai, Kania.  Maka dia membalas. Dengan tambahan, ‘Bekerja?’ pada chat tersebut. Kania : Kerja. Hanya mau menyapa Darel. Nggak papa kan? Darel kembali mengambil ponselnya yang diletakkan di atas meja karena matanya sempat fokus pada laptop di depannya. Darel : Nggak papa. Tapi apa Kania belum masuk? Udah jam satu kan? Darel kembali meletakkan ponselnya di atas meja dan fokus kembali ke layar komputernya dengan gambar-gambar 3D sebuah proyek. Kania pun tak kunjung membalas, dan Darel pun juga tak berharap jika pesan balasannya akan segera di balas kembali oleh gadis itu.  Kania : Udah dulu ya. Tempur lagi sama kerjaan. Selamat bekerja. Jeda setengah jam pesan itu baru terbalas. Dan Darel tak lagi membalas karena dia tahu jika Kania pasti sudah melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan dia pun melakukan hal yang sama. *.*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD