| 16
Tangisan dan kesedihan menyelimuti malam. Kini tidur malamnya menjadi terganggu oleh derasnya beban fikiran. Hanya bisa diam dan terus berdiam. Bersandar pada tumpukan bantal merah, pandangan yang kosong, mulut memimikkan isi hati bersama boneka panda yang setiap hari menemani tidurnya. Dirasa entah sanggup atau tidak dalam menjalani semua ini.
Terdiam seorang diri sambil memandangi foto almarhum kedua orang tuanya membuat ia kuwalahan menahan sisak tangisnya. Siapa sangka bahwa sejak lahir ia tidak diberi kesempatan untuk merasakan dekapan hangat dan melihat raut wajah kedua orang tuanya secara langsung. Lagi-lagi Lala masih bersuyukur karena setidaknya ia masih diberi kesempatan untuk melihat kedua orang tuangnya dalam wujud lembaran foto album. Sebagian foto tersebut sudah mengalami kerusakan, tetapi Lala berusaha untuk memperbaikinya, dan sebagian foto ia salin dalam bentuk goresan tangan karya gambar dan lukisannya.
“Papah sama Mamah tau nggak kalau Lala sekarang sedang bingung dan sedih banget? Lala harus bagaimana Pah? Papah pasti tau semuanya tentang apa saja yang menimpa Lala. Papah dan Mamah juga lihat sendiri kan, seperti apa cara Tante Susi dalam memperlakukan Lala. Dan coba kalian bayangkan, jatah uang untuk sekolah Lala juga sering direnggut oleh Tante Susi, sekarang Lala bingung Pah, biaya administrasi sekolah harus lunas sebelum ujian kelulusan, kalau nggak gitu nanti ijazah Lala nggak bisa diambil. Kalau Lala nggak punya ijazah kan Lala nggak bisa cari kerja, masak Lala cari kerja pakai ijazah SMP? uang Lala pribadi hanya tujuh puluh ribu rupiah, Pah.” Lala mencurahkan isi hatinya pada foto almarhum kedua orangtuanya.
“Apakah nasip Lala akan menjadi seorang pengemis dan gelandangan Pah?” tanya Lala kepada foto tersebut.
“Lala nggak mau menjadi seorang pengemis Pah, Lala ingin memberi sedekah, bukan malah meminta minta kepada orang-orang. Lala ingin menjadi wanita yang sukses. Lala juga ingin mendirikan tempat yayasan sebagai wadah anak yatim piyatu Pah, Lala ingin menghidupi mereka. Sebagai wujud syukur Lala yang selama ini sudah banyak membantu Lala. Lala ingin membalas kebaikan tersebut. Tapi, untuk saat ini Lala harus berbuat apa supaya bisa menggapai semua cita-cita Lala? Papah sama Mamah jangan diam saja, ayo bantu Lala menjawab pertanyaan ini...” Lala terlihat sangat sedih hingga tak memperdulikan keadaan sekitar.
Malam itu Lala sama sekali tidak memperdulikan tugas sekolah dan tidak menyiapkan buku pelajaran sama sekali. Yang ada di fikirannya hanyalah bagaimana ia dapat melalui semua ini, bagaimana caranya untuk melunasi administrasinya dengan tempo yang yang singkat? Apakah ia harus mencari pinjaman uang kesana-kesini? Dan kepada siapa ia harus meminjam uang tanpa adanya jaminan? Masih tergolong dini bagi usia Lala untuk melewati ujian ini. Dimana seorang anak yang seharusnya fokus terhadap pendidikan, kini harus bertempur dengan probelmatika kehidupan.
Usai mencurahkan isi hatinya kepada foto almarhum kedua orang tuanya, perlahan-lahan sisak tangisnya mulai berkurang, air mata yang mulanya mengalir dengan deras kini sedikit demi sedikit mulai surut. Tanpa ia sadari berkali-kali ia menguap hingga akhirnya tidur terlelap sambil memeluk foto kedua orang tuanya.
***
Di pagi harinya, usai menyiapkan peralatan sekolahnya. Tanpa membuat olahan sarapan dan menyantap sarapan, ia langsung bergegas mengambil sepeda pancalnya dan berangkat ke sekolah. Bukan karena bangun kesiangan atau apa, yang jelas ia masih geram atas perlakuan Susi.
Ia terus menggayuh sepeda pancalya meskipun harus melawan hembusan angin kencang yang berlawanan. Memang terasa berat, apalagi dengan kondisi perut kosong. Hal itu dapat membuatnya menjadi lemas. Semangatnya perlahan mulai berkurang. Sepanjang perjalanan ingatannya kembali tertuju pada masalah yang ia hadapi.
Tinnnnnnnn.....
Klakson mobil yang terdengar sangat jelas tepat berada di belakang Lala. Hal itu membuat ia kaget dan tersadar dari lamunannya.
“Mbak, kalau naik sepeda pancal hati-hati ya. Disini jalanannya sepi, banyak pengendara yang melaju dengan cepat.” Ucap pegendara mobil usai membuka kaca mobilnya.
“Maaf, Pak.” Sahut Lala dengan panik.
Ternyata masih ada orang baik yang masih peduli dengannya. Usai menegur Lala, orang tersebut melanjutkan perjalanannya dengan santai. Begitu juga dengan Lala, iya kembali fokus pada perlajanannya menuju sekolah.
“Untung tadi nggak ditabrak mobil itu. Aku harus fokus, nggak boleh mikir yang aneh-aneh kalau dijalan.” Ucap Lala pelan.
Sesampai gerbang sekolah, ia turun dari sepeda pancalnya dan mendorongnya ke area parkiran khusus sepeda pancal. Lalu ia berjalan menuju kelasnya dengan santai. Ia berusaha tegar saat dihadapan teman-temannya. Entah sampai kapan ia bisa menutupi kesedihannya.
~Dorr~
Belin mengertak Lala dari belakang saat ia berjalan sendirian, Lala kaget dan langsung menoleh ke belakang. Ternyata sahabatnya sendiri yang sedang mengagetkannya.
“Apaan sih, Bel, pagi-pagi udah bikin kaget aja.” Ucap Lala sedikit kesal. “Yaelah gitu doang udah kaget, makanya kalau jalan itu jangan ngelamun, jadi mudah kaget kan!” sahut Belin. “Udah deh jangan resek, aku nggak suka bercanda yang nggak penting gini.” Ucap Lala ketus dan berjalan lebih lepat dari Belin. “Itu anak kenapa sih? Dari kemarin sikapnya dingin banget, beda dari biasanya.” Batin Belin.
“La, tungguin dong, kamu jalannya cepet banget kayak maling dikejar polisi ajah.” Teriak Belin sambil mengejar Lala.
Saat pelajaran berlangsung Lala pun tetap bersikap dingin kepada Belin, karena ia masih merasa kesal. Berkali-kali belin berusaha mengajak berbicara juga tidak ditangapi oleh Lala. Lala terlihat sangat fokus menghadap papan tulis, padahal pandangannya kosong. Tangannya bergerak seperti orang sedang menulis, tetapi ia hanya mencoret-coret buku tulisnya. Hal itu membuat Belin kawatir dan penasaran,
“La, kamu sebenarnya kenapa sih? Dari kemarin-kemarin kamu klihatan beda, kadang ceria kadang klihatan murung gitu.. kalau memang ada masalah, kamu ceritakan saja jangan dipendam sendirian.” Ucap Belin. “Nggak apa-apa kok, aku baik-baik saja.” Sahut Lala pelan. “Kamu jangan bohong, mungkin kamu bisa membohongi teman-teman yang lain, tetapi tidak dengan aku! Nih ada cermin kecil, lihat wajah kamu.” Belin memberikan cermin kecil kepada Lala tanpa sepengetahuan guru yang sedang mengajar. “Kamu kelihatan banget kalau sedang tidak baik-baik saja. Wajah kamu kelihatan pucat, lingkar mata kamu juga kelihatan sedikit gelap, aku mau kamu jujur sama aku! Kalau kamu nggak mau cerita, jangan anggap aku sahabat lagi!” gertak Belin supaya Lala mau menceritakan masalahnya.
Belin meninggalkan bangku Lala dan berharap Lala akan mencegah kepergiaannya dan langsung menceritakan masalahnya, sayangnya Lala hanya diam saja dan sama sekali tak menghiraukan Belin.
Tak lama kemudian Lala berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati meja guru. “Bu, saya izin ke UKS.” Lala meminta izin kepada guru tersebut. Tak perlu waktu lama, guru tersebut langsung memeriksa keadaan Lala dengan menyentuh dahinya untuk memeriksa suhu tubuhnya. “Ya ampun suhu badan kamu tinggi sekali, sebaiknya kamu pulang dan istirahat dirumah, Nak! Nanti biar petugas UKS yang mengantar kamu pulang.” Ucap Bu guru. “Tidak usah, Bu, saya masih kuat kok. Saya perlu istirahat sebentar saja di UKS karna kepala saya sedikit pusing.” Sahut Lala. “Kamu yakin nggak pulang saja? Kalau istirahat dirumah kan bisa lebih tenang.” Tanya Bu guru. “Yakin, Bu. Saya hanya butuh istirahat sebentar.” Sahut Lala. “Yasudah kalau kamu kekeh seperti itu, cepat sembuh ya, Nak.” Ucap Bu guru. “Terimakasih Bu sudah memberi saya izin, saya pergi ke UKS dulu.” Ucap Lala dan berjalan meninggalkan kelas.
Setelah mengetahui kepergian Lala yang hampir dua puluh menit membuat Belin penasaran. Kemudian ia menanyakan tentang kepergian Lala kepada guru yang sedang mengajar.
“Lama banget tuh anak izinnya, lagi kebelet atau jangan-jangan dia ke kantin? Tapi perasan aku jadi nggak enak gini, apa aku coba tanyakan ke Bu guru aja ya biar jelas?” batin Belin.
Kemudian ia menghampiri meja guru untuk menanyakan kepergian Lala. “Permisi, Bu.” Izin Belin dengan sopan. “Iya, ada apa, Nak? Tanya Bu guru dengan ramah. “Saya mau menanyakan soal Lala, Bu. Dia tadi izinnya kemana ya kok lama sekali?” tanya Belin. “Lala tadi izin untuk ke UKS, Ibu periksa dahinya ternyata suhu badannya tinggi, Ibu suruh pulang saja tapi dia tetap kekeh ingin disekolah.” Ibu guru menjelaskan kronologi kondisi Lala. “Berarti Lala sekarang di UKS ya, Bu?” tanya Belin untuk memastikan. “Iya, Lala izin ke UKS.” Jawab Ibu guru. “Kalau gitu saya mohon izin untuk menyusul Lala ya, Bu. Saya kawatir dengan kondisinya.” Pinta Belin dengan panik. “Iya, syukur kalau kamu bisa membujuk Lala untuk segera pulang kerumah biar bisa istirahat dengan baik.” Sahut Ibu guru. “Baik, Bu. Terimakasih banyak.” Lanjut Belin.
Begitu mendengar langsung dari lisan Ibu guru mengenai kondisi Lala. Belin sangat kawatir dan langsung bergegas menyusul Lala. Selain Belin yang mengkhawatirkan kondisi Lala, diam-diam William menguping pembicaraan Belin dengan Ibu guru barusan, dan tak lama kemudian William membuntuti Belin yang sedang berjalan menuju UKS.
“Bel, tunggu!.” Teriak William.
Saat mendengar teriakan yang memanggil namanya, seketika langkah kaki Belin terhenti dan menoleh ke pusat suara. Ia melihat sosok William yang berlarian mendekatinya dengan raut wajah yang menunjukkan kegelisahan.
“Iya, Wil, ada apa?” tanya Belin saat William sudah berada disebelah kanannya. “Kamu mau nyari Lala kan? Aku ikut.” Ucap William. “Iya, yuk.” Belin mengajak William menuju ruang UKS. “Kok ke arah UKS? Lala kenapa? Tanya William. “Nggak tau, kata Ibu guru tadi suhu badan Lala tinggi, tetapi Lala tetep kekeh ingin disekolah, nggak mau pulang. Makanya aku mastiin kondisi Lala seperti apa.” Jawab Belin. “Aduh.. ada-ada aja sih Lala, semoga Lala baik-baik saja.” Ucap William dengan panik.
Sesampai UKS, Belin segera mengetuk pintu dan memasuki ruangan tersebut. Disana hanya ada Lala dan petugas UKS yang mengawasi Lala.
“Permisi.. saya sahabatnya Lala dan ingin melihat kondisinya sekarang.” Ucap Belin. “Baik, kalau Mas nya ada perlu apa?” tanya petugas UKS yang ditujukan kepada William. “Saya pacarnya sekaligus calon suaminya kelak.” Sahut William.
Petugas tersebut sedikit menahan tawa setelah mendengar pengakuan William. “Baik, silahkan.” Petugas UKS memberi izin Belin dan William untuk mengunjungi Lala.
Belin dan William berjalan beriringan menuju ranjang Lala. Begitu melihat kondisi Lala yang sangat pucat, Belin segera mengampiri Lala dan duduk disebelahnya.
“La, suhu badan kamu masih tinggi dan wajah kamu sangat pucat. Kamu sudah makan belum?” tanya Belin. Lala hanya menggelengkan kepala saja sebagai isyarat bahwa ia belum sarapan. Melihat respon gerakan tubuh Lala, William langsung bergegas pergi untuk membelikan roti dan s**u untuk Lala. “Tunggu dulu aku mau beli sesuatu.” Pamit William.
“Kamu ada apa sih La? Jangan mikir yang aneh-aneh, kita sebentar lagi bertempur melawan banyak ujian sekolah, kamu harus jaga fisik sebaik mungkin. Nih minum dulu teh angetnya.” Ucap Belin sambil menyuapkan minuman kepada Lala. “Aku kecapekan aja, Bel, kamu jangan kawatir.. besok paling udah sembuh.” Ucap Lala. “Awas aja kalo besok masih sakit!” ancam Belin. “Kepala aku pusing banget Bel, aku nggak tau kenapa.” Ucap Lala. “Kayaknya pusing karna kamu belum sarapan, kayak gejala masuk angin gitu. Tunggu sebentar lagi, kurir setia kamu sampai dengan membawa oleh-oleh kok.” Canda Belin untuk menghibur Lala.
“Permisi..” William datang membawa beberapa bungkus roti sisir dan dua s**u kotak kemasan 250 ml. “Nah, ini dia kurirnya sampai, hehe.” Goda Belin. “Maaf, saya bukan kurir, tetapi saya calon jodohnya Mbak yang berbaring lemas ini.” Canda William untuk menghibur Lala. “Apaan sih.” Ucap Lala singkat. “Beranda kok, tapi ya aminnn deh hehe. Oiya ini harus kamu makan sekarang.” William memberikan roti dan s**u tersebut.
Lala tersenyum melihat Belin dan William yang nampak sangat memperdulikannya. “Terimakasih banyak ya, Bel, Wil.” Ucap Lala. “Iya, santai aja kali, yang penting kamu sembuh. Ini rotinya buruan dimakan, atau nunggu aku suapin?” Sahut William. “Eh enggak kok, iya aku makan rotinya, makasih ya, Wil. Maaf udah ngrepotin.” Ucap Lala. “Ehem.” Gumam Belin. “Bilang aja kalo iri, kamu nggak pernah mesra gini kan sama doi kamu?” goda William. “Enak aja.” Sahut Belin dengan judes. “Tuhh kelihatan banget boongnya.” Ucap William.
Mendengar pertengkaran Belin dan William semakin membuat kepala Lala pusing. “Aduh, maaf banget ya jangan berisik kepala aku tambah pusing.” Ucap Lala dengan pelan. “Iya-iya maafin aku.” William meminta maaf kepada Lala.
Tak lama kemudian usai memakan selembar roti sisir dan satu kotak s**u strawberry, Lala merasa cukup kenyang dan ingin buang air kecil. Ia meminta Belin untuk membantunya berjalan ke kamar mandi yang berada tak jauh dari ruang UKS.
“Bel anterin aku ke kamar mandi ya.” Pinta Lala. “Iya ayuk, kamu disini aja Wil, jangan ikut.” Ucap Belin. “Iya-iya, lagian aku bukan laki-laki hidung belang.” Jawab William.
Lala beranjak dari tidurnya dan mengumpulkan energi. Tiba-tiba saat ia sedang berdiri tubuhnya terasa lemas, penglihatannya sedikit demi sedikit mulai kabur, rasanya seperti melayang. Lala memegang tangan Belin dengan sangat erat. “Bel gelap, jangan lepasin tangan aku.” Ucap Lala pelan sambil memegang erat tangan Belin. “Iya, jalannya pelan-pelan.” Sahut Belin.
~Brugg~
Lala pingsan, sontak Belin teriak meminta tolong kepada William yang sedang duduk di dalam ruangan UKS.