“Aku tidak bisa janji, Mom. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini.”
“Di akhir pekan?”
Dylan mengangguk dan menyadari jika ibunya tidak bisa melihat anggukannya itu. “Kau tahu aku sibuk. Pekerjaan di sini tidak pernah ada habisnya.”
Tentu saja itu hanya alasan. Pekerjaannya memang banyak, tetapi semua staff dan para Direktur menjalankan tugas mereka masing-masing dengan sangat baik. Dylan bahkan hampir menyesal tidak berada di sini sejak lama. Jika ia melakukannya sejak dulu, besar kemungkinan waktu bersantainya akan jauh lebih banyak.
“Tetapi usahakan ya? Sebentar saja juga tidak apa. Toh jarak Perancis dan Jerman tidak jauh. Kami merindukanmu.”
Apakah ‘kami’ yang Mom maksud termasuk Nayla? Tanya Dylan dalam hatinya.
Jawaban Dylan hanya berupa gumaman tidak jelas sebelum ia mengucapkan selamat tinggal dan menutup pembicaraannya dengan sang ibu. Ia menghela napas kemudian memejamkan mata. Ia masih merasa lelah dan mengantuk, tetapi telepon dari ibunya membuatnya tidak bisa tertidur lagi.
Nayla hamil lagi. Itu yang tadi Mom katakan padanya. Saat ini, Mom dan Dad sedang ada di Jerman untuk mengunjungi mereka sekaligus membantu mengurus si kembar karena Nayla mengalami mual parah di awal kehamilannya itu.
Meskipun merindukan orangtua dan keponakan kembarnya yang cantik, Dylan sedang tidak ingin berada di sana. Ia tidak ingin melihat Nayla kesakitan karena itu juga akan menyakiti hatinya.
Dulu, saat akan melahirkan si kembar, Dylan juga berada di sana. Ia melihat bagaimana Nayla kesakitan menahan kontraksinya, dan Dylan tidak ingin melihat itu lagi. Cukup sekali dan ia tidak ingin mengulanginya lagi.
Mungkin, sakit karena mual parah dan akan melahirkan memang berbeda jauh. Namun tetap saja, ia tidak akan menemukan Nayla yang ceria dan periang seperti yang selama ini dikenalnya. Dylan akan menemukan Nayla yang pucat dengan mata cekung dan juga bibir kering. Tidak. Ia tidak ingin melihat Nayla seperti itu.
Selain itu, Dylan tidak ingin melihat bagaimana Nathan akan begitu perhatian kepada istrinya. Seharusnya ia yang berada di sana. Seharusnya ia yang memperhatikan Nayla seperti itu. Seharusnya ia yang menikah dengan gadis itu. Seandainya ia tidak melakukan kesalahan bodohnya.
Dylan tahu bagaimana Nathan begitu mencintai Nayla, dan sejujurnya, mereka berdua memang cocok satu sama lain. Dua hati yang pernah disakiti oleh orang terdekat mereka itu saling menemukan dan menyembuhkan. Mereka membalut luka masing-masing dan pada akhirnya menyadari bahwa rumah itu telah ditemukan dalam kebersamaan mereka.
Yah, pada akhirnya, cinta memang akan selalu menemukan jalannya sendiri untuk pulang. Meski jauh dan berliku, cinta akan selalu kembali kepada pemilik hati yang sebenarnya. Dan jelas, pemilik itu bukan dirinya. Lalu mengapa hati Dylan masih terus terasa sakit setiap kali mengingat itu?
Bagi kebanyakan orang, terutama para wanita, dirinya adalah pria yang tidak punya hati. Dylan mengencani wanita yang berbeda setiap akhir pekan. Wanita-wanita berambut gelap dan bertubuh mungil yang membuat para wanita pirang dan seksi mengerutkan bibir dengan kesal.
Bahkan, ada beberapa wanita yang rela mengecat rambutnya dan melakukan operasi pengecilan p******a maupun p****t dan paha hanya agar Dylan meliriknya. Oh, ia memang melirik mereka, tetapi hanya itu. Ia tidak akan meniduri wanita berambut gelap dan bertubuh mungil jadi-jadian. Oke, kalian paham ‘kan maksudnya?
Hal tersebut tentu saja menjadi ‘angin segar’ bagi para wanita mungil yang selama ini sangat jarang dilirik oleh pria. Tidak banyak pria yang menyukai p******a kecil dan tubuh seperti peri di atas ranjang mereka.
Bagi Dylan, itu adalah kesenangan karena ia bisa membayangkan tengah memeluk Nayla dan bercinta dengannya. Seringnya, Dylan menahan mulutnya agar tidak menggumamkan nama Nayla saat sedang klimaks. Akan tetapi, beberapa kali hal itu terjadi dan ia hanya memandang wanita yang ditidurinya tanpa rasa bersalah.
Sejak awal, Dylan selalu menjelaskan apa yang ia inginkan. Jika mereka keberatan, tentu saja pintu untuk pergi selalu terbuka lebar. Dan kebanyakan mereka tidak mempermasalahkan itu. Yah, hanya sebuah nama yang tidak didengar orang lain, tidak akan mengurangi kebanggaanmu karena telah dipilih oleh Dylan Galahault.
Ponsel Dylan berdering lagi ketika ia mencoba untuk kembali tidur. Kepalanya pening karena terlalu banyak minum tadi malam. Dan berhubungan seks. Tentu saja itu tidak akan lepas dari malam akhir pekannya. Di hari biasa, Dylan membatasi diri dengan tidak minum terlalu banyak. Juga tentang wanita. Waktu bercinta baginya adalah Jum’at malam hingga Minggu.
Akan tetapi, jika ia menginginkan wanita di hari lain, Dylan hanya perlu pergi ke klub langganannya dan mencari wanita yang ia inginkan. Hubungan seks yang cepat akan mampu membuatnya tetap waras menjalani harinya.
“Halo?” ucap Dylan ragu saat melihat nomor tak dikenal itu. Ia jarang memberikan nomornya kepada orang lain yang tidak ia kenal.
“Hai, Seksi! Kau sudah bangun?”
Kepala Dylan yang pening semakin berputar saat ia mencoba mengingat suara itu. Ia ingat suara ini. Seseorang yang pernah berhubungan dengannya pasti. Tetapi siapa namanya? Suaranya terdengar familier. Seseorang yang sangat ia sukai, ia tahu itu. Jika tidak pengar karena minum-minum semalam, Dylan tahu ia pasti bisa mengingat nama wanita ini.
Ada begitu banyak wanita yang berhubungan dengannya meskipun tidak banyak yang mengetahui nomor pribadinya. Jadi, jika wanita ini mengetahui nomornya, setidaknya wanita itu pasti spesial.
Sial! Ia tidak bisa mengingatnya. Oke, Dylan akan mengurangi minum mulai sekarang jika itu membuatnya seperti orang bodoh yang tidak bisa mengingat apapun esok paginya.
“Aku asumsikan kau sedang mengingat siapa aku dan tidak bisa menduga siapa namaku. Jahat sekali kau!”
Dylan menyeringai geli mendengar tebakan yang sangat tepat itu. “Jadi maukah kau memberitahuku siapa namamu, Manis? Aku mencoba mengingatmu. Sumpah pramuka.”
Meskipun di dalam hatinya kacau balau karena Nayla, Dylan tidak pernah terlihat seperti itu di mata orang lain. Menggoda seorang wanita adalah keahliannya. Entah suasana hatinya baik atau buruk.
“The Royal’s musim semi lalu. Atau kau ingin yang lebih spesifik lagi setelah itu?”
Bibir Dylan membentuk senyuman lebar saat akhirnya ia mengingat siapa wanita yang tengah bicara dengannya ini. “Daniella, Sayang! Seingatku aku masih menyimpan nomor ponsel terakhirmu. Kenapa sekarang hanya nomor asing saja?”
Jika ada satu wanita yang pernah Dylan harapkan mampu menyembuhkannya, Daniella-lah orangnya. Namun sayangnya, hubungan mereka lebih cocok jika menjadi teman. Bukan pasangan.
Mereka sempat berkencan selama beberapa bulan. Hubungan seks mereka juga menyenangkan. Akan tetapi, setelah beberapa waktu, gairah itu memudar. Hanya saja, Dylan merasa ia tidak ingin menjauh dari wanita mungil dan cerewet itu.
Meskipun mencoba bertahan, tetap saja hubungan itu menjadi hambar. Mereka masih bicara, masih bertemu, tetapi tidur bersama selalu menjadi hal yang enggan untuk mereka berdua lakukan. Untunglah Daniella memiliki inisiatif membicarakan tentang itu dan bagaimana dirinya juga tidak ingin menjauh dari Dylan.
Jadi, setelah beberapa kali mencoba, mereka memutuskan mengakhiri hubungan asmara dan menjalin pertemanan. Ketertarikan fisik mereka rupanya telah bergeser. Ada lebih dari sekedar fisik yang membuat mereka ingin terus dekat. Kenyamanan. Dylan bisa membicarakan apapun dengan Daniella, begitu juga sebaliknya.
Daniella tinggal di Marseille jadi mereka tidak sering bertemu. Terakhir, Dylan ingat bertemu wanita itu sekitar satu bulan lalu saat ia sedang rapat di Marseille. Setelahnya mereka hanya beberapa kali berkirim pesan.
“Aku harus mengganti nomor lamaku karena seseorang.”
“Dan seseorang ini pasti brengsek.”
Daniella mendesah. “Jauh lebih buruk dari itu. Dia membuatku berantakan.”
Suara sedih itu membuat alis Dylan terangkat. Berantakan yang Daniella maksud berarti hal lain. Wanita ini telah menemukan rumahnya, tetapi entah mengapa, pasti ada yang salah.
“Akhirnya kau menemukannya. Ada masalah apa?” tanya Dylan dengan penuh perhatian. Setelah hanya menjadi teman, kebahagiaan Daniella menjadi penting untuk Dylan.
“Ceritanya panjang. Maukah kau minum kopi bersamaku pagi ini?”
“Di Marseille? Aku rasa aku bisa…”
“Tidak. Aku ada di sini. Ada seminar kesehatan yang harus kuhadiri di Paris.”
Oh, jika ada hal yang lupa Dylan informasikan tentang Daniella, adalah soal pekerjaannya. Ya, wanita itu seorang dokter. Dokter kandungan. Bagaimana mereka bertemu, akan Dylan ceritakan nanti.
“Di mana kau ingin bertemu? Aku akan ada di sana secepatnya.”
“Aku belum sempat ke mana-mana. Kau tahu aku jarang ke Paris. Apa tidak ada restoran yang bisa kau rekomendasikan untukku?”
Pikiran Dylan teringat kafe milik Sofia dalam sekejap. Tidak ada tempat lain yang bisa menyajikan kopi yang lebih nikmat selain milik Sofia. Juga muffin.
“Aku punya langganan, tetapi hanya sebuah kafe kecil. Apa kau tidak keberatan?”
“Kau tahu aku bisa minum kopi paling tidak enak di rumah sakit tanpa mengomel.”
Dylan tersenyum. Ya, Daniella wanita yang tidak terlalu peduli pada sesuatu yang mewah dan elegan. Wanita ini hampir seperti Nayla. Hampir, tetapi tidak sama.
“Aku akan mengirimkan pesan untukmu. Kita bertemu di sana setengah jam lagi.”