Aku tercengang melihat sosok yang sangat ku rindukan belakangan ini. Ingin sekali aku bertemu dengannya tapi jarak menjadi penghalang.
Sosok itu sedang memainkan ponsel dengan ekspresi wajah yang serius. Dan dia yang ku maksud adalah abang tercintaku satu-satunya, Bang Raka.
Dua bulan yang lalu kami terakhir bertemu. Sekarang dia menjadi jarang mengunjungiku karena sibuk mengurusi proyek barunya.
Aku melepaskan rangkulan suami tampanku dan langsung menghampirinya dengan langkah lebar seraya berteriak girang, meneriakkan namanya. "BANG RAKA!!"
Seketika perhatiannya teralihkan kepadaku. Dia merentangkan tangannya lebar-lebar dan tentu saja aku langsung memeluk tubuhnya erat. Aku sungguh sangat merindukannya.
"Queen kangen sama abang." aduku.
Meski aku sudah menikah, aku tidak bisa untuk tidak manja ke Bang Raka karena sudah terbiasa sejak kecil.
Kak Theo pernah melarangku untuk manja ke Bang Raka karena dia cemburu melihatku bersama Bang Raka. Aneh-aneh aja deh tuh cowok. Masa melihatku dengan Bang Raka saja dia cemburu.
"Abang juga kangen, makanya langsung ke sini."
"Tapi gimana kerjaan abang??"
"Abang serahkan ke sekretaris hehe."
"Kasihan Kak Naya, pasti pusing ngurusin sendiri." kikikku.
"Sesekali tidak apa lah haha."
Aku melepaskan pelukan kami dan duduk di sebelah Bang Raka. "Bagaimana hubungan kalian sekarang??" tanyaku kepo.
Bang Raka ini jadian dengan Kak Naya belum lama tapi Bang Raka sudah mengejar-ngejarnya sejak dua tahun yang lalu.
Kak Naya sulit untuk membuka hati karena kematian kekasihnya di detik-detik mereka akan menikah.
Namun, Bang Raka dengan gigihnya memperjuangkan cintanya. Kalau aku jadi Bang Raka sih gak akan kuat memperjuangkan seseorang selama bertahun-tahun lamanya.
"Baik-baik saja tapi kembarannya sangat menjengkelkan."
"Dia apain abang memangnya??"
"Pokoknya dia selalu membuat abang kesal. Untung dia kakak ipar, kalau bukan sudah abang hajar dia."
"Wahaha, sabar, bang."
"Eh, kenapa kita malah melenceng ke Naya. Ah ya, bagaimana hubunganmu dengannya? Tidak ada masalah, kan?" Bang Raka melirik Kak Theo yang duduk di hadapan kami dengan wajah datar.
Kak Theo selalu saja seperti ini jika ada seseorang yang menarik perhatianku. Intinya, dia ingin perhatianku hanya tertuju padanya seorang.
"Gak ada, bang."
"Syukur lah kalau begitu. Kalau ada masalah jangan sungkan meminta bantuan abang ya."
"Siapp."
"Kamu nambah chubby deh. Gemes abang." Bang Raka malah mencubiti pipiku dengan riang.
"Ih, Bang Rakaa!! Jangan cubit pipi Queen!!" protesku.
Bang Raka menyengir. "Tapi pipi kamu ini seolah memanggil abang untuk mencubitinya."
Cubitannya terlepas tapi berganti dengan ciuman bertubi-tubi hingga aku berusaha mendorong dadanya agar tidak menciumi pipiku lagi.
Kak Theo berdehem keras. Sepertinya dia kesal melihat Bang Raka menciumi pipiku. Namun, Bang Raka bertingkah seolah tidak mendengar deheman Kak Theo.
"Udah, bang. Pipi Queen basahh!!" kesalku.
Bang Raka tertawa. Membersihkan pipiku dengan tangannya.
"Bagaimana kabar mama dan papa, bang??"
"Mereka baik-baik saja. Hanya sajaa..."
Aku mendelik kesal karena Bang Raka menggantung ucapannya. "Kalau ngomong itu jangan setengah-setengah, bang."
"Itu loh, honey. Mama mengandung lagi!!!" histeris Bang Raka yang mampu membuatku terkejut.
"APAA?! AKU PUNYA ADIKK??! BAGAIMANA MUNGKIN?!!"
Bagaimana ceritanya mama punya anak lagi. Aku sudah besar dan menikah loh! Apa jadinya kalau suatu saat aku punya anak??
"Papa tuh, honey. Kebablasan kayaknya pas mereka pergi honeymoon ke Bali."
"Ih, tapi Queen gak mau punya adik."
"Mau gimana lagi. Adik kita sudah ada di dalam perut mama."
"Berapa usia kandungan mama, bang??"
"Kalau gak salah 7 bulan."
"2 bulan lagi dong ya."
"Yap."
"Perempuan atau laki-laki??"
"Kata mama sih laki-laki."
Aku menghela nafas lega karena calon adikku laki-laki.
Bukannya apa-apa ya, aku hanya takut perhatian keluargaku teralihkan ke calon adikku kalau dia perempuan.
Kekanakan ya aku??
Hum, kayaknya iya tapi masa bodo lah!
"Ehmm! Sebaiknya kita makan siang sekarang. Maid sudah selesai memasak." sela Kak Theo tiba-tiba.
"Kebetulan abang belum makan juga, honey. Yuk kita ke sana."
Bang Raka langsung membawaku ke ruang makan.
Karena seringnya Bang Raka mengunjungiku serta menginap di sini, Bang Raka menjadi tahu seluk beluk rumahku.
Bang Raka juga tak akan sungkan melakukan apa pun di sini, seolah ini rumahnya sendiri.
Lagi-lagi kami duduk berdampingan. Ku lihat wajah Kak Theo sudah muram. Biasanya aku akan selalu berada di sampingnya, mengambilkannya makanan. Hehe, maaf kak.
Bang Raka dengan penuh perhatian menyendokkan nasi ke dalam piringku. Menambahkan lauk serta sayur. "Habisin, honey. Biar pipi kamu makin chubby." kikiknya.
Aku mengangguk saja biar Bang Raka senang.
Aku menyendok nasi ke dalam mulut sembari mencuri pandang ke arah Kak Theo yang ternyata juga sedang menatapku.
Dia menatapku dengan tatapan datar.
"Eh, Kak Theo gak makan??" tanyaku.
"Ambilin, bee." rajuknya.
Belum sempat aku menjawab, Bang Raka sudah menyela. "Manja amat sih jadi cowok. Ambil aja sendiri makanannya." ledeknya.
"Manja dengan istri sendiri apa salahnya?" tanya Kak Theo dingin.
"Cih."
"Stttt!! Jangan berisik. Lahap saja makanan kalian." perintahku.
Kak Theo dengan wajah masamnya mengambil makanan yang terhidang di atas meja.
Gemesin banget sih.
Jadi pengen cium, ehh??
****
"Eh, Kak Theo ngapain??" tanyaku gugup ketika dia memojokkanku ke dinding.
Dia menunduk, mendekatkan bibirnya ke telingaku hingga aku bergidik ketika dia berbisik lirih. "Kamu membuat aku kesal, bee. Seharian ini kamu mengabaikan keberadaanku karena dia." Digigitnya pelan kupingku hingga aku tersentak.
"Geli, kak!!"
Kak Theo menjauh dariku, lalu menggendongku secara tiba-tiba. "Turunin Queenn!!" Ku gerakkan kakiku agar dia menurunkanku. Tapi tindakanku tidak mempengaruhinya sama sekali.
Kak Theo meletakkanku di atas kasur lalu mengungkungku di bawah tubuh besarnya. Menatapku dengan begitu intens sampai aku merasa malu sendiri.
"Karena telah mengabaikanku seharian ini, kamu akan ku hukum." seringainya.
"Ap--"
Bibirnya membungkam bibirku sehingga aku tidak jadi melanjutkan kata-kataku.
Ciumannya begitu menggebu-gebu sampai aku merasa kewalahan.
Ketika aku mendorong dadanya, ia segera menangkap tanganku. Mengenggam kedua tanganku dengan tangan kirinya lalu mengunci tanganku di atas kepala.
"Jangan memberontak, bee. Percuma." seringainya lagi.
Kemudian kembali melahap bibirku habis-habisan. Aku hanya bisa pasrah dengan menggerutu di dalam hati. Dia selalu saja seperti ini.
Ketika aku merasakan tanganku di ikat, aku segera memalingkan wajahku agar tidak diciuminya lagi.
"Kok tangan Queen di ikatt??" protesku kesal.
"Supaya tidak bisa mendorongku lagi, bee." jawabnya tanpa beban.
"Taa--"
Lagi, ucapanku tidak jadi terselesaikan karena dia kembali menyerang bibirku. Tangannya mulai bergerak nakal. Ciumannya beralih ke leherku hingga aku semakin bergidik kegelian.
Aku menahan suara laknat yang hendak keluar dari bibirku ketika dia membuat tanda di leherku.
"Aku menginginkanmu, bee." bisiknya serak.
-Tbc-