KOKI BARU

1420 Words
POV ARON "Wanita itu keterlaluan, pantas saja suaminya selingkuh. Dia kasar begitu," desis Selvi sambil memperhatikan punggung Yuka yang kian menjauh. Sorot kemarahan terpatri jelas di wajah Selvi karena Yuka menyiram wajahku dengan jus. "Dia istriku." Balasku. "Hah." Selvi terbelalak, lalu menggelengkan kepala memandangku seperti orang bodoh. Aku membersihkan wajahku yang basah dengan sapu tangan yang ku ambil dari saku celana. Yuka benar-benar keterlaluan, mempermalukan aku di tempat umum. Padahal aku ini suaminya. "Pantas saja dia marah, orang kamu-nya gila. Dia pasti berpikir kalau aku adalah selingkuhan kamu. Aku harus jelasin ke dia, kalau dia cuma salah paham." Selvi menepuk lenganku dengan keras, lalu mengomeliku tiada henti. "Tidak perlu, biar aku saja yang menjelaskan padanya." Aku mencegah Selvi yang sudah berdiri hendak mengejar kepergian Yuka. "Dia bisa marah sama kamu, Ron." Protes Selvi. Ia tampak begitu merasa bersalah. "Aku hanya menguji cintanya, sepertinya dia sangat mencintaiku. Buktinya dia menyiram wajahku dengan jus karena cemburu." Di dalam hati aku terus mengutuk Yuka, aku akan membuat perhitungan padanya. Sudah keluar rumah tanpa izin dariku, bahkan menjelek-jelekkan aku di hadapan temanku. Padahal tadinya Selvi yang sedang berjalan di depanku terpeleset karena sepatu hak tinggi yang ia kenakan patah. Reflek aku menangkap kedua lengannya sebelum Selvi jatuh ke lantai dan malu jadi tontonan, apalagi cafe sedang ramai dengan orang. Tanpa sengaja, aku melihat Yuka yang berdiri di bingkai pintu cafe melihat ke arah kami yang sedang berpelukan. Aku geram karena Yuka keluar rumah tanpa meminta izin dariku. Maka dari itu, aku mengabaikan keberadaan Yuka. Aku malah membawa Selvi duduk di sampingku, sengaja memprovokasi Yuka. Siapa sangka, Yuka malah menghampiri aku dan Selvi. Aku penasaran, mau apa Yuka menghampiri kami. Ku lihat matanya sudah berkaca-kaca, tatapan matanya begitu sendu. Aku pun mulai tak tega melihatnya. Hampir saja aku mau memberinya penjelasan, tapi Yuka malah melakukan sesuatu yang membuatku kembali marah. Dia menjelek-jelekkan aku dan mengatakan bahwa aku tukang selingkuh. Sudah untung aku mau menampung w************n sepertinya tinggal di rumahku dan tidak menceraikan Yuka saat pertama kali aku melihat wajahnya. Awalnya aku memang salah, karena terlalu sibuk bekerja mengelola restoran milik keluarga dan membantu pekerjaan papa di kantor, aku malas membuka CV dari calon istriku. Aku pasrah saja dengan pilihan orang tuaku. Andai aku tahu wanita seperti apa yang akan aku nikahi, tentu aku langsung menolak perjodohan itu mentah-mentah. Yuka memang cantik, tapi sayang dia adalah wanita yang suka gonta ganti pasangan. Aku memiliki trauma dengan wanita penghibur, makanya setiap melihat Yuka, aku merasa jijik karena terus terbayang dengan masa laluku. *** Setelah keluar dari Cafe, aku tak kembali ke kantor. Aku lebih memilih pulang untuk menegur Yuka. Ku lihat jam di dinding masih menunjuk angka 2. Aku menyeduh kopi sambil menunggu Yuka di ruang depan. 3 jam sudah berlalu, aku semakin geram pada Yuka, sudah pukul 5 tapi Yuka tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Ia tersesat di jalan, atau kabur setelah kejadian di Cafe. "s**l, aku tidak punya nomor telponnya." Aku mengepalkan tangan kuat-kuat untuk melampiaskan emosiku. Tepat adzan magrib, pintu rumah di buka dari luar. Tak lama kemudian, Yuka muncul di bingkai pintu. Aku bangkit dari sofa dan menghampirinya. "Dari mana saja kamu baru pulang?..." Tanyaku dengan tegas supaya Yuka tak bertingkah seenaknya di rumahku. "Bukan urusan kamu." Jawabnya ketus. Yuka malah melengos dan melewati aku begitu saja. "Apa kamu bilang? Aku ini suamimu." Aku masih mengikuti Yuka yang tak mau berhenti melangkah. "Sejak kapan kamu menganggap aku ini istrimu, Mas?" Yuka berhenti melangkah, menatapku dengan mata yang sudah berembun. Senyum sarkas terbit di bibirnya, "Bahkan, di matamu pelac*r saja lebih berharga di banding aku." Yuka beranjak pergi. Namun, aku menarik tangannya cukup keras hingga tas yang di menggantung di bahunya jatuh dan isinya berceceran. Mataku tertuju pada amplop coklat yang berceceran di lantai. Secepat kilat aku memungut salah satunya. "Kembalikan padaku." Yuka berusaha mengambil amplop coklat di tanganku, tapi segera ku jauhkan dari jangkauannya dan mulai membacanya. Di kalimat awal saja aku sudah tahu kalau itu surat permohonan kerja. "Jangan membuatku malu, kau istri dari pengusaha kaya. Kenapa masih bekerja?..." "Aku nggak mau kamu terus ngerendahin aku, Mas." "Istri macam apa kamu! Kamu mau bekerja, tapi tak meminta izin dariku. Padahal aku ini suamimu." Ucapku dangan nada tegas. Aku merasa Yuka tak menghargai aku sebagai suaminya. "Jika aku izin, apa kamu akan mengizinkanku." "Nggak." Jawabku mantap. Yuka hanya menghela napas dan berlalu pergi. *** Pagi-pagi sekali Yuka sudah bangun untuk melakukan ibadah sholat subuh, kemudian membaca Al-Qur'an. Setelah itu ia mulai memasak nasi dan telor mata sapi. Hanya itu yang ia sajikan untukku di pagi hari. Mungkin dia masih belum pandai memasak. "Belajar masak, aku tidak mau setiap hari makan telur ceplok." Setelah 1 minggu menikah dengan Yuka, ini kali pertama aku melayangkan protes karena makanan yang Yuka masak. "Iya." Jawab Yuka singkat kemudian berlalu pergi dan membersihkan piring kotor di wastafel. Aku menggulir layar hp, melihat data statistik pemasukan dari restoran dan investasiku di beberapa perusahaan. Sementara Yuka membereskan rumah, lalu mengepel lantai. Aku bangkit dari sofa, lalu berjalan menuju ke kamarku. "Mas, lantainya lagi aku pel." Protes Yuka saat sepatu pantofel yang ku kenakan mengotori lantai. "Tinggal pel lagi, apa susahnya." Aku tetap berjalan di atas lantai yang basah. Mau bagaimana lagi, aku manusia yang tak punya sayap. Mustahil 'kan aku terbang untuk masuk kamar. Wajah Yuka berubah masam dan kembali mengepel ulang lantai yang kotor membentuk sepatuku. Aku pun kembali melangkah masuk ke kamar untuk mengambil kontak mobil dan dompet. Tak lama kemudian, aku keluar kamar dan kembali menginjak lantai yang masih belum kering. Ku lirik Yuka yang mendesah berat melihat sepatu yang ku kenakan kembali mengotori lantai. *** Di luar rumah, aku pantau kegiatan Yuka selama di rumah lewat CCTV. Yang Yuka lakukan hanya membersihkan rumah dan beribadah. Pikiranku bertanya-tanya, apakah Yuka benar-benar mantan PSK dan dia sedang bertaubat memperbaiki diri. Namun, tetap saja aku jijik dengan bekas pria lain. Ku lihat Yuka berpakaian rapi. Tak biasanya ia merias wajah dan memakai pakaian yang bagus. Beberapa saat kemudian, Yuka keluar dari rumah. "Huhfff ..." Aku menghembuskan napas dengan kasar. Mau kemana lagi dia, padahal sudah ku beri peringatan untuk tidak keluyuran. Nanti sepulang dari restoran, akan ku interogasi saja dia untuk antisipasi takut dia melakukan pekerjaan haram itu lagi. Siang hari, salah satu karyawanku mengetuk pintu ruanganku. Ku tutup laptop, lalu mempersilahkannya masuk. "Pak, makanan yang di buat koki kita untuk menu baru sudah siap untuk di coba." Sulis adalah salah satu koki andalanku memanggilku untuk mencicipi dan menilai kreasi barunya. "Iya," aku beranjak dari sofa dan pergi ke meja yang sudah di siapkan. Di atas meja banyak makanan yang akan di buat sebagai menu baru untuk restoranku. Aku mulai mencicipi makanan yang di masak oleh koki terbaikku. Aku mendengus kesal, tak ada satupun yang cocok di lidahku. "Kamu bercanda, mau menjadikan makanan ini menu baru restoran ini! Tidak ada yang enak. Kalau makanan ini jadi salah satu menu di restoranku, bisa cepat gulung tikar restoran ini." Ucapku dengan ketus karena kecewa pada koki andalanku. Namun, ada satu makanan yang belum aku sentuh, bentuknya saja sudah jelek, pasti rasanya lebih tidak enak. "Maafkan saya, Pak. Saya akan berusaha membuat menu lagi." Sulis menunduk dengan wajah lesu dan tubuh yang gemetar ketakutan, "Itu ada satu makanan yang belum bapak coba. Hasil uji coba koki baru. Siapa tahu saja cocok." "Bentuknya saja sudah tak meyakinkan. Awas nggak enak, ku pecat kau," Ucapku. Mata Sulis langsung terbuka lebar, wajahnya berubah pucat. Meski ragu, tetap saja ku cicipi makanan buruk rupa itu. Ternyata rasanya sangat lezat. Hanya bentuknya saja yang perlu di perbaiki. "Ini siapa yang masak?" Tanyaku. "Karyawan baru, Pak. Dia bilang jago masak dan butuh pekerjaan. Karena koki di restoran ini sudah mengundurkan diri, jadi saya menyuruhnya untuk membuat makanan." Sulis berucap dengan tangan gemetar. Ya, restoranku sedang membuka lowongan pekerjaan untuk koki dan waiters. "Cepat panggil dia kemari." Titahku. "Siapa, Pak?" Tanya Sulis dengan bodohnya. "Yang masak ini." Aku menunjuk makanan yang menurutku bisa memanjakan lidah. Meski masakan Sulis terbilang enak, tapi Sulis itu sangat lemot. "Sekarang, Pak?..." "Tahun depan. Ya sekarang 'lah." ucapku dengan nada tinggi. Aku bisa struk kalau terus bicara dengan Sulis. "Iya, Pak." Sulis berlalu pergi. Aku makan makanan yang menurutku paling enak sambil menunggu si pembuatnya. Tak lama kemudian suara Sulis membuatku menghentikan kegiatan makanku. "Ini Pak, koki barunya!..." Aku mendongak, kemudian membelalakkan mata. Ternyata koki baruku si Yuka. Yuka pun tak kalah terkejutnya saat melihat aku. Rupanya dia bisa masak, tapi kenapa tiap hari hanya masak telur ceplok untukku. "Kamu yakin dia orangnya?" Tanyaku. "Yakin 'lah Pak, kan dia masak di depan saya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD