1. Tentangku Pov\'s Chaira

3661 Words
Hari sudah semakin sore, aku segera beranjak dari tepi pantai menuju gazebo yang telah disediakan oleh pihak penjaga pantai. Kulangkahkan kaki sambil menendang butir butir pasir yang menyapu di kakiku. Aku memilih gazebo yang berada paling ujung karna spot pemandangannya sangat pas dan menakjubkan. Menikmati matahari terbenam adalah salah satu rutinitas yang tidak pernah aku lewatkan akhir-akhir ini, melihat senja aku merasakan sensasi tersendiri yang sulit untuk kugambarkan. Entah sejak kapan aku menyukai senja, memandangi matahari tenggelam kembali keperaduannya. Aku masih ingat saat remaja, aku lebih tertarik memandangi matahari terbit dari ufuk timur. Menikmati hari penuh tawa dan keceriaan secerah sinar mentari pagi. 'Apakah suasana hati bisa berpengaruh dengan kegemaran?' batinku bertanya. Langit sudah menampakkan warna orange di ufuk laut, aku masih disini memandangi keindahan di hadapanku, sambil meratapi kepahitan hidup yang kujalani kurang lebih satu tahun terakhir. Namaku Chayrani Nur Ramadani, aku anak bungsu dari dua bersaudara yang kebetulannya kami terlahir kembar. Kakakku Prianti Nur Ramadhani sudah menikah lima bulan sebelum pernikahanku. Menurutku Mbak Priya lebih beruntung dariku, karena bisa menikah dengan pria pilihan sekaligus belahan jiwanya. Mereka sekarang sudah memiliki seorang anak yang cantik dan hijrah ke Jakarta karena pekerjaan suaminya yang mengharuskan mereka berada disana. Oh ya temanku biasa memanggilku Chaira atau Key. Terserah mereka memakai yang mana asal jangan merubah nama yang sudah orang tuaku berikan, karna ada banyak harapan dan do'a didalamnya. Berbicara soal harapan orang tua, mereka berharap aku juga menemukan kebahagiaanku sama seperti yang sudah saudara kembarku rasakan. Sebelum menikah aku sudah memiliki teman dekat, hubungan kami juga tahap serius. Aku tidak menyebutnya kekasih, karena komitmen awal kami bersama, tidaklah membicarakan layaknya orang pacaran. Tapi kami serius ingin mengenal satu sama lain. Aku belum memperkenalkannya di hadapan keluarga, karena dia belum siap. Bukan dia tidak ingin serius denganku tapi dia mengetahui seluk beluk keluargaku seperti apa, sedang dia hanya pria sederhana yang datang dari kampung. Itu sebabnya dia ingin keluargaku melihatnya layak menjadi pendampingku. Lamaran kerja yang dia ajukan di perusahaan otomotif terbesar Jepang memberinya kesempatan bekerja selama lima tahun. Aku bangga dengan tekad dan usahanya, aku berjanji akan menunggu saat itu tiba. Aku beruntung bisa mendapatkan cinta dari pria sebaik dirinya, tapi sekarang aku menjadi pengkhianat dalam hubungan yang telah kami jalani selama ini. Khairul Afnan, pria pekerja keras dia adalah seniorku di bangku perkuliahan. Kami sering bertemu karena kami terlibat dalam satu organisasi yang sama di Salah satu universitas terbaik di kota Makassar. Khairul adalah mahasiswa berprestasi, jalur beasiswa membuat dia bisa kuliah di tempat tersebut. Dia berasal dari keluarga sederhana dan pas-pasan. Yang membuatku simpati padanya karna dia bekerja keras membiayai hidupnya sendiri selama tinggal di kota sebesar ini, tanpa mau merepotkan orang tuanya. 'Kenapa sekarang aku memikirkan khairul, apa aku merindukannya? Ya Allah ampuni aku yang sudah berani merindukan lelaki lain selain suamiku.' Aku sudah menikah! Perjodohan yang sebelumnya sudah disepakati oleh keluargaku. Pernikahan sekali seumur hidup bersama dengan orang yang dicintai menjadi impian setiap perempuan termasuk aku yang memimpikannya. Tapi mimpi hanya sebatas angan, semua harapan yang kuinginkan tidka sejalan dengan kenyataan yang harus kujalani. Perjodohan itu telah disusun begitu rapi oleh kakek dan nenek bahkan disaat aku masih terlalu kecil. Mereka telah menyepakati tanpa memikirkan bagaimana nasib kami yang menjalaninya kelak.. 'Aku tidak mengerti bagaimana pola fikir kakek nenekku dahulu, bisa-bisanya mereka menjodohkan anak cucunya sedangkan mereka masih tergolong bocah ingusan' Astaghfirullah, ampuni ucapanku Ya Allah! Hidupku sangat penuh drama, aku tidak percaya kisah yang biasanya aku lihat di layar televisi bisa terjadi dalam hidupku bahkan sekarang aku yang menjadi pemeran utama. Aku mengambil ponsel lalu mengarahkan kamera pada pusat keindahan yang terpampang nyata di depan mata, sayang sekali jika momen indah seperti ini terlewatkan begitu saja. Aku memeriksa hasil bidikan yang sempat aku ambil dalam beberapa kali kutipan. 'Cantik, luar biasa Maha besar Allah yang telah menciptakan bumi yang begitu besar beserta keindahan tiada tara didalamnya' Adzan Maghrib berkumandang membuyarkan lamunanku akan senja petang ini, aku segera menuju Mushollah yang berada tidak jauh dari tempat dudukku. Membersihkan sisa butiran pasir kecil di celana jeans yang kukenakan, lalu mengambil wudhu aku segera bermunajat pada Rabbku. "Ya Allah! Hamba mohon ampun atas segala salah dan khilaf yang hamba lakukan, baik yang hamba sengaja maupun yang hamba lakukan secara tidka sadar. Engkau maha mengetahui segala sesuatunya Ya Allah, hamba tidak memohon kemudahan tapi hamba mohon di beri kekuatan untuk bisa melewati setiap takdir hidup yang sudah Engkau gariskan pada hamba, karna hamba yakin ujian ini masih dalam batas mampuku". Ada banyak untaian doa yang kulantunkan pada Tuhanku berharap dari sekian banyak yang kuminta bisa segera dikabulkan olehNya. Aamiin ya rabbal alamin. Aku mengeluarkan ponsel dari tasku, lalu menekan tombol aplikasi ojek online yang semakin memudahkan penggunanya. Hari ini aku sedang malas menyetir jadi aku keluar menggunakan taxi saja, tapi karena waktu sudah menunjukkan suasana macet, jadi aku memutuskan pulang dengan memakai jasa ojek motor. Lebih mudah dalam menerobos kemacetan. Aku tiba dirumah setelah setengah jam perjalanan, sebelumnya aku sempat meminta bapak ojolnya mampir dan menungguku berbelanja snack cemilan di Minimarket yang dekat dari rumah. Aku memberikan satu lembar uang limapuluh ribu kepada bapak ojol tersebut. "Mbak kembaliannya" menyodorkan padaku uang duapuluh ribuan. "Buat Bapak aja, Bapak sudah baik hati mau menungguku berbelanja tadi" ucapku. "Terimakasih banyak ya Mbak, semoga rejeki Mbak semakin dilipat gandakan" Aku mengaminkan doa bapak ojol tersebut, lalu bergegas membuka pintu rumah. "Dari mana saja? Suami pulang kerumah bukannya disambut, malah keluyuran" Suara itu otomatis membuatku menoleh keruangan yang bersebelahan dengan ruang tamu, aku melihat Farhan yang bersandar di balik sofa bed santainya. "Apa selama keluyuran kamu juga sudah menjadi bisu?" serangnya lagi Aku mengangkat kantong kresek yang kupegang, bisa sjaa, dia yang sudah buta tidak bisa membaca nama minimarket ternama yang tertera di kresek tersebut. "Aku habis dari Minimarket" "Apa ke Minimarket harus membutuhkan waktu selama itu? atau kamu habis kencan buta? Jangan coba-coba membuatku malu di luar sana" "Aku tidak mau, ada yang mengenalimu sebagai istriku, aku tidak ingin rencanaku gagal" "Memangnya apa rencanamu, boleh aku boleh tau?". Pertanyaan inilah yang selalu ingin aku tanyakan padanya tapi baru sampai hari ini aku bisa mengeluarkannya. "Sudahlah, lupakan saja!" Lalu dia beranjak dari tempat duduknya. "Malam ini kita kerumah bunda, bersiaplah aku juga akan bersiap-siap" "Kenapa mendadak?" "Lima belas menit tidak lebih tidak kurang atau tidak ada waktu sama sekali, cepatlah bersiap kecuali kamu ingin kita berangkat sekarang juga".Selalu seperti itu, dominan dan suka memerintah. Daripada tidak di beri pilihan, aku segera berlalu dengan cepat ke arah kamarku. Kami memang tidur di kamar yang terpisah. Aku sudah selesai dengan ritual mandiku yang sangat singkat, plus dandan seadanya. Aku hanya mengenakan longdress hitam dipadukan ring belt bagian pinggangnya. Aku turun ke ruang tamu dengan tergesa-gesa, takut membuat pria egois itu meradang jika terlalu lama menunnguku. Aku berjalan santai melawan rasa canggungku, baru kali ini aku melihat Farhan yang menatapku dalam pandangan lekat. Entah apa yang ada di fikirannya sekarang. "Hai, aku sudah siap" aku mengangkat tanganku di hadapan wajahnya agar dia terbangun dari lamunannya "Oh iya aku.. aku.. aku.. sedang memikirkan sesuatu, kamu sudah selesai??" tanyanya dengan gugup. "Apa ada yang salah denganku? Maksudku apa aku harus ganti baju mungkin? Maafkan aku karna waktuku yang terbatas tidak bisa membuatku memilih pakaian dengan benar" "Nggak kok, semuanya sudah bagus, kalau harus berganti pakaian akan membuang waktu lagi, cukup seperti itu, kamu sudah cantik" pujinya padaku Aku segera melangkahkan kakiku, berjalan lebih dulu mendahuluinya sambil menyembunyikan wajahku yang mungkin sudah memerah akibat mendengar pujian yang baru saja terlontar dari bibirnya. Ada sesuatu yang merasuk dadaku hanya mendengar pujiannya tersebut. Aku melawan gemuruh gejolak dalam dadaku sebisa mungkin mengatasi agar aku tidak terlihat canggung dihadapannya. Aku segera masuk setelah Farhan membukakan pintu mobil untukku. Aku semakin terbuai dengan sikapnya yang tiba-tiba menjadikanku seolah orang yang sangat berharga untuknya. 'Sadar key, kamu tidak boleh hanyut dalam permainan ini. Bisa saja dia sedang merencanakan sesuatu, kamu tidak boleh terbawa dalam suasana ini' batinku ikut menegaskan posisiku. "Key apa aku membuatmu tertekan selama ini?" Tanyanya membelah kesunyiaan di antara kami "Aku tidak mengerti maksud ucapan kamu?" "Bunda bilang kamu terlihat kurusan sejak kita menikah, apa aku terlalu mengekangmu?" "Aku malah merasa biasa aja, badanku memang seperti ini sejak dulu" "Apa sesuatu terjadi padamu tanpa sepengetahuanku?" Farhan menoleh padaku mengaharap jawaban dariku. "Aku semakin tidak mengerti tujuan pertanyaanmu" Jawabku bingung. "Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, segeralah! Jangan memberi aku pertanyaan yang sulit kujawab. Lebih tepatnya aku kesulitan memahami maksud dan tujuan dari ucapanmu tadi". Lanjutku menoleh padanya yang sedang fokus menyetir. Kulihat Farhan terdiam dan sesekali memainkan jari telunjuk di setir mobilnya, aku tau ada yang ingin dia bicarakan padaku. "Livia akan pulang minggu depan dari Jogja, dan dia akan berada disini menghabiskan masa liburannya." Aku menggukkan kepala mencoba mencari solusi yang diinginkan Farhan walau aku belum tau tujuannya apa mengatakan itu padaku, toh selama ini mereka berdua memang setiap saat selalu berkomunikasi secara intens meskipun ada aku. "Kok kamu diam aja Key?" "Aku harus bagaimana?" "Maksud aku gini, Livia tidak tahu tentang hubungan kita, dan aku tidak mau dia sampai tahu tentang pernikahan ini. Kita akan bercerai kan, jadi setelah kita bercerai mungkin aku akan segera melamarnya" 'Owhhh.. jadi ini maunya? Kenapa nggak bilang dari tadi aja kalau Liviamu akan datang dan kamu kebingungan dengan keberadaanku' "Terus kamu mau aku melakukan apa supaya Liviamu nggak tau tentang hubungan kita? atau apa aku harus keluar dari rumahmu?" "Kok kamu ngomong gitu? Atau kamu cemburu yah karena Livia sudah kembali" Tentu saja aku dibuat terkejut mendengar kenarsisan pria egois yang berada tepat disebelahku ini. "Cemburu? Aku baru tahu kalau disamping sikap dinginmu selama ini ternyata kamu juga terlalu narsis" Aku tertawa sejenak melihatnya yang shock mendengar ucapanku "Aku nggak cemburu, cemburu hanya untuk orang yang memiliki rasa sayang berlebih terhadap pasangannya. Cemburu juga menunjukkan perasaan cinta pada pasangannya, apabila ada orang lain berada diantara hubungannya. Tapi itu tidak berlaku pada hubungan kita, lagian aku tidak memiliki perasaan apapun padamu". tegasku. 'Semoga saja kata-kataku benar' batinku mencoba meyakinkan perasaanku. "Baguslah, jadi kamu tidak perlu sakit hati melihat kebersamaanku dengan Livia nantinya" Aku mengangguk mengiyakan saja ucapnnya. "Bagaimana kabar kekasihmu, siapa namanya, aku sedikit lupa??". Tentu saja aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Untung saja mobil kami sudah sampai rumah bunda, jadi aku bisa terbebaskan dari ucapan ngawur suamiku, ralat suami yang akan jadi mantan suami satu tahun mendatang. Lucu kan..? Setelah mengobrol lama aku melirik jarum jam pada jam tanganku. Kulihat sudah menunjuk ke angka sepuluh lewat lima belas menit. Bunda memintaku istirahat karena ayah dan Farhan masih hanyut dalam diskusi mengenai trik memajukan perusahaan. Aku isirahat di kamar Farhan yang memang disediakan bunda saat kami menginap disini. Kamar ini juga sebelumnya ditempati Farhan sebelum memutuskan membeli rumah pribadinya yang sekarang kami tempati. "Key selama ini kita terlalu tegang menjalani hidup, bisakah kita berteman?" "Baiklah kita berteman sekarang" aku membalas uluran tangan farhan padaku apa salahnya kami berteman. Mungkin dengan begini kita akan saling menerima takdir ini. Aku mengingat ucapan terakhir kami sebelum turun dari mobil tadi. Pembicaraanku dengan Farhan yang meminta kami terbuka apapun masalahnya, supaya kehidupan yang kami jalani tidak sesulit yang sudah kami lalui kemarin. Entah sudah berapa lama aku melamun, aku baru tersadar setelah gagang pintu bergerak. "Apa pembicaraan kamu sudah selesai dengan ayah, kita pulang sekarang kan?" Tanyaku langsung berdiri menghampiri meja rias merapikan rambutku karna tidak lama setelah ini kami akan pulang ke rumah Farhan. Aku tidak berani mengklaim rumah Farhan sebagai rumahku sampai saat ini meskipun kami sudah satu tahun lebih menempatinya bersama. "Malam ini bunda meminta kita menginap disini" sahutnya "Terus??" "Kalau kamu keberatan kita nginap, aku bisa jelaskan sam bunda kok" ucapnya lagi. Ada raut wajah kecewa yang aku lihat dari wajahnya. "Tunggu bentar yah, aku akan bilang kita bisa menginap disini lain waktu. Aku bisa beralasan jika sedang banyak kerjaan yang harus kuselesaikan di rumah". Farhan beranjak hendak membuka pintu kamar, namun aku mencegahnya. Tiba-tiba aku mengingat mamaku yang sangat riang ketika kami datang berkunjung kerumahnya. "Nggak apa-apa kok, kita nginap disini saja malam ini" Farhan tetap berlalu keluar kamar, seperti inilah kegiatan kami disaat menginap dirumah mama ataupun dirumah bunda. Aku tetap berada dikamar dan Farhan melanjutkan sisa obrolan. Aku sudah berganti pakaian, memang bunda menyediakan beberapa pakaian untukku dan Farhan dilemari yang tersedia disini. Buat jaga-jaga situasi mendadak seperti ini. Bunda memang mertua terbaik semoga saja bunda tidak kecewa padaku, bunda sangat menyayangiku meskipun aku hanya menantu di rumah ini. Bunda memperlakukanku selayaknya putri kandungnya sendiri. Bunyi alarm dari ponselku cukup mengejutkanku, mataku rasanya agak berat terbuka. Aku menekan tombol merah agar suara dering itu segera berhenti bergema. Aku merasa agak nyaman dengan tidurku saat ini, aku masih ingin menikmati memeluk guling yang memberiku kehangatan selama semalam ini. 'Astaghfirullahaladzim' Jadi semalam Farhan yang menjadi gulingku? Apakah itu berarti aku yang memeluknya..? Aku langsung menepuk pipiku. 'Apa aku bermimpi?' Rasa perih kurasakan menjalar dipipiku, berarti ini bukan mimpi. Aku menepuk jidatku lalu beranjak bangun untuk menunaikan shalat subuh. Aku keluar dari kamar mandi, setengah kaget saat melihat Farhan menghampiriku "Tunggu, kita berjamaah" Lalu dia pun menutup pintu. Aku terharu menjabat tangan suamiku untuk pertama kalinya kami shalat berjamaah seperti ini. Aku berdoa kepada Allah agar kebersamaan ini tidak hanya berakhir disini. 'Ya Allah salahkah aku yang berharap lebih pada hubungan ini, aku akan belajar membuka hati menerima pernikahan ini seandainya Engkau memang mentakdirkan kami bersama' 'Key sadar key, apa yang kamu harapkan darinya. kekasihnya akan kembali sebentar lagi, sadarlah kamu hanya istri sesaat saja'. Air mataku menetes begitu saja. "Ya Allah semua kupasrahkan padamu, Engkau yang membolak balikkan hati manusia.Tetapkanlah aku untuk terus berada di jalan ridhoMu. AAMIIN". *** "Bagaimaana tidurmu??" Perjalanan pulang yang semula hening tiba-tiba Farhan memecah kesunyian dengan pertanyaannya. "Tidurku seperti malam-malam sebelumnya" "Kamu berbohong, pasti yang semalam lebih nyenyak kan karena kamu sambil meluk aku". Aku jadi salah tingkah dengan celotehannya yang lebih banyak menggodaku. "Lagian kamu ngapain ikut tidur di kasur? Aku tidak tau kalau aku meluk kamu, soalnya aku pas mau tidur meluknya guling bukan badan kamu. Atau jangan-jangan kamu yang iseng mindahin gulingnya? iya kan? Ayo ngaku!" jawabku tidak mau kalah. "Sumpah key, pas aku masuk gulingnya udah jatuh duluan ke lantai, aku gak bohong" "Terus ngapain kamu ikut ke kasur biasanya juga di sofa" "Aku nggak bisa tidur, makanya aku pindah disebelah kamu. Lagian kasurnya luas kalo cuman buat kita berdua sangat luas malah" "Berarti benarkan kamu yang usilin aku pas tidur" "Aku cuman diam di samping kamu. Kamunya aja yang langsung meluk aku tiba-tiba, mana kencang banget lagi. Aku sampai susah nafas". Kami tertawa bersama, Aku tidak menyangka Farhan si pria egois yang selama ini kusematkan di nama belakangnya mampu meruntuhkan egonya sekedar membuatku tertawa. *** Sudah beberapa minggu hubunganku dengan Farhan membaik, seperti yang lalu kami masih bercanda. Hidup kami sudah sedikit berwarna sejak kami memutuskan berteman. Berteman?? yang benar saja kami itu suami istri loh. Setauku laki-laki dan perempuan tidak bisa hanya sekedar berteman, karna diantara salah satu dari mereka pasti merasakan cinta. Aku berdoa semoga saja itu tidak terjadi pada kisah kami. Semenjak menikah dengan Farhan aku masih tetap bekerja, tepatnya aku tetap menjalankan usahaku yang sudah aku rintis saat aku masih mengenyam bangku kuliah.Usaha kecil-kecilan, sebuah ruko yang diperuntukkan orang tuaku kebetulan memiliki halaman yang cukup luas. Itulah yang aku sulap menjadi food court yang menyediakan aneka macam makanan kekinian yang digemari semua kalangan baik anak, remaja, tua dan muda. Aku tidak pernah menyangka usaha yang dulunya hanya sekedar niat untuk menambah uang jajan setiap hari, ternyata bisa sukses mengumpulkan pundi pundi rupiah. Bahkan aku mempekerjakan beberapa orang untuk menangani semua, jadi walaupun aku tidak hadir disana semua akan tetap berjalan. Aku bersyukur atas apa yang aku miliki sekarang. Sementara Farhan suamiku meneruskan usaha yang sebelumnya di rintis oleh kakeknya, dan Ayah mempercayakan Farhan memegang kendali diperusahaan yang memproduksi pakan ternak di kawasan perindustrian Makassar. *** Hari ini Farhan mengajakku makan siang di restoran yang menyajikan makanan seafood kesukaanku. Kebetulan tempat itu baru saja lounching, sekalian aja kami mencobanya. Sejak hubungan kami membaik kami sering menghabiskan waktu bersama entah makan siang atau dinner romantis ala orang pacaran. Tapi tentu saja kami bukan pasangan, hubungan kami sekedar di atas kertas berlabel KUA. "Key kamu suka??" dia melirik ke arahku. Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Kepiting saos tiram dan udang crispy goreng merupakan makanan andalanku setiap masuk di resto seafood. "Senang banget yah sama seafood" "Aku senangnya hanya kepiting sama udang" Kulihat Farhan mengangguk-anggukkan kepalanya, sekali-kali dia mengambil alih membuka capit kepiting untukku. "Apa kamu senang juga makan seperti ini?" tanyaku tanpa menoleh padanya. Aku terlalu sibuk mengunyah sampai tidak ingin melewatkan barang setetes pun. "Aku senang makan apa saja, gak harus menu tertentu. Aku termasuk orang yang senang mencoba segala jenis kuliner" Aku meraih tissu yang berada di ujung meja, lalu membersihkan mulutku yang belepotan akibat saos tiram. "Aku senang melihat porsi makanmu yang lahap seperti itu, mau nggak nanti aku ajak kulineran??" "Boleh" jawabku singkat . "Tunggu sini bentar yah, aku selesaikan pembayarannya dulu" Tanpa menunggu persetujuanku, Farhan bergegas kemeja kasir membayar semua tagihan. Tiba-tiba aku melihat notifikasi pop up di Handphone miliknya yang tertinggal di meja. Aku melihat sebuah nama yang bertuliskan *my love* semakin penasaran aku menekan tombol kunci agar screen nya kembali menyala aku membaca pesan yang muncul disana. 'Yang 1 jam lagi aku akan sampai, jangan sampai telat yah' Ada setitik perasaan sakit merasuk dadaku. Ada apa denganku? Farhan selalu menegaskan tentang hubungan kami, tapi kenapa aku merasa bahwa aku mulai terbawa arus perasaan karna hubungan kami yang semakin membaik akhir-akhir ini. Aku benci dengan perasaan ini, kenapa harus aku yang memiliki rasa terhadapnya lebih dulu. Kami berjalan berdampingan keluar dari resto tersebut. "Makasih atas makan siangnya" Aku sangat senang bisa makan makanan fovoritku lagi setelah selama ini aku malas menikmati kulineran fovoritku sendiri. Ah aku baru ingat terakhir kali aku makan seafood saat Khairul yang mengajakku sebelum keberangkatannya ke Jepang. "Boleh aku minta sesuatu lagi??" "Mintalah, akan aku penuhi" "Boleh aku panggil kamu kakak??" "Apa ini yang kamu sebut permintaan tadi" Farhan tertawa mendengar permintaanku yang menurutnya lucu. "Maaf aku hanya tidak enak terus-terusan menyebut namamu. Kamu lebih tua dari aku, rasanya tidak sopan menyebut nama secara langsung" Lagi-lagi dia menertawakan ucapanku. 'Apa yang salah dengan kata-kataku' "Key, kalau sekedar mau manggil aku kakak, mas, abang atau sejenisnya, tidak usah pake ijin. Santai aja.. Panggil aku senyamanmu.. Aku tadi malah berfikirnya kamu bakalan minta berlian, emas atau ganti mobil misalnya". Ucapnya sambil mengacak rambutku, tapi tawanya tetap tidak surut. Jujur aku terbius oleh lesung pipi indahnya. "Kalau aku bilang aku menginginkan semua yang kakak sebutkan tadi, apa kakak bersedia memberikannya untuk ku?" Giliran aku yang tertawa sampai terbahak-bahak melihat ekspresinya. Matanya melotot terkejut mendengarkan ucapanku. Aku terus tertawa smapai perutku terasa perih. menahan tawa jika mengongat ekspresi keterkejutannya tadi. "Tenang aja kak, aku hanya bercanda. Jadi kita impas kan" Aku segera berjalan kearah dimana mobilku terparkir. Saat hendak membuka pintunya Farhan menahan tanganku . "Key aku belum bisa berjanji memberikanmu semuanya saat ini, tapi kupastikan akan membawa semua barang itu padamu. Suatu hari nanti". Jadi dia benar mengambil hati ucapanku tadi. Ah terserahlah aku sedang tidak ingin memperpanjang masalah sepele ini. Tapi aku juga berharap sih, setidaknya ada kenangan darinya yang bisa aku lihat ketika hubungan kami benar sudah berakhir. "Baiklah kak aku permisi" pamitku padanya. "Kamu mau kemana? " "Aku akan pulang kerumahmu, aku lelah mau istirahat" jawabku "Jangan mengulang kata rumahmu itu lagi dihadapanku, itu rumahmu juga" Aku masuk kedalam mobil menetralisir perasaaan aneh yang menjalar di hatiku. Ya Allah bisakah Engkau mencabut rasa ini untuknya..! *** Tadi pagi setelah melaksanakan shalat subuh aku membereskan tempat tidurku. Memang di rumah kami ada asisten rumah tangga yang bekerja, tapi untuk urusan di kamarku, kalau aku masih mampu mengerjakannya maka aku yang akan melakukannya. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, aku memutuskan untuk bersepeda mengelilingi kompleks saja hari ini. Hitung-hitung kapan lagi aku ada waktu luang seperti ini sambil mengenal para tetangga. Setelah puas berkeliling aku singgah ditaman kecil yang banyak ibu-ibu tertawa senang bersama anak dan keluarganya. Aku ikut bahagia melihat romantisme keluarga mereka, terbersit rasa ingin seperti mereka. 'Mungkinkah?' yah hanya waktu yang bisa menjawab atau aku akan tetap seperti ini yang selamanya akan serba kulakukan sendiri. Keringat ku sudah turun aku segera mengayuh sepeda menuju rumah. Saat memasuki ruangan keluarga aku mencium aroma masakan yang sangat harum. 'perasaan bibi kemarin ijin ga masuk' Aku segera kekamar untuk membersihkan diri sekaligus mandi tanpa menghiraukan cacing cacing di perutku yang meminta jatahnya. *** Aku membuka lemari mencari pakaian rumahan yang nyaman ku kenakan seharian dirumah. Hari ini aku berniat bermalas-malasan saja. Pilihanku jatuh pada setelan celana warna maroon yang bajunya tidak berlengan. Segera kupakai lalu memoles krim siang diwajahku, tidak lupa tambahan lipgloss bernuansa nude dan yang tidak boleh ketinggalan celak mata yang tidak boleh ketinggalan. 'Sempurna' aku menatap cermin dihadapanku. Perutku sudah sangat managihku untuk diisi aku segera berniat ke dapur membayangkan aroma masakan bibi tadi membuatku tidak sabar mencicipi masakannya. Aku membuka pintu segera, langkahku terhenti ketika kulihat sosok Farhan berdiri dihadapanku dengan tangan terketuk hendak mengetuk pintu. "Ada apa kak??" "Tadi aku akan memanggilmu makan, tapi keduluan kamu membuka pintu" "Aku memang mau turun kak, udah lapar banget" aku mengusap perutku lalu tertawa. "Baik, ayo aku sudah masak udang tumis" "Kakak yang masak??" tanyaku sangat tidak percaya dengan ucapannya. "Iyalah, bibi kan tidak masuk, jadi hari ini aku yang masak". Farhan menepuk kursi di sebelahnya ketika aku hendak duduk di hadapannya. "Duduk sini aja deh dekat sama aku" aku segera beranjak ketempat yang dia tunjukkan. "Wahh, ternyata kakak jago masak juga" pujiku pada masakannya. Aku tidak sekedar asal memuji tapi memang untuk ukuran laki laki yang pandai masak ini sangt luar biasa menurutku. "kita sudah boleh buka restoran kedepannya kalau kakak sudah bosan mengelola perusahaan. Terus nggak perlu cari koki, soalnya kokinya kan sudah ada" Kulihat ekspresi kak Farhan yang langsung datar. "Apa aku salah bicara kak?" "Tidak, aku mengingat cita-cita kecilku. Sebenarnya aku ingin sekali jadi Chef, sebelum terjun di dunia perusahaan yang riwet ini. Tapi karena ayah tetap kekeh, aku yang menjalankan usahanya, membuatku tidak memiliki pilihan. Aku sudah mengikhlaskan semuanya, aku merasa enjoy menjalani tugasku sekarang. Walaupun awalnya aku menolaknya tapi tanggung jawab yang kuemban di kantor menuntutku mencintai pekerjaanku". Tepat sekali, aku pun setuju! Tak kenal maka tak sayang. Setelah mengenal tanggung jawabnya dia mencintai pekerjaannya. Sama halnya denganku, semakin kesini semakin mengenal sisi baik Farhan dan semakin besar pula rasa ini tertuju untuknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD