1. SMA Bengawan

1120 Words
Kelopak mata tajam tersebut perlahan terbuka saat merasakan sinar matahari berusaha menembus. Pemuda dengan kamar berantakan itu masih menggeliatkan tubuh dengan perlahan karena diatas kasurnya masih terdapat barang-barang yang digunakan untuk mengerjakan tugas semalam. "Kakak Lalph?? Bangun!!!" Suara teriakan dari balik pintu membuat pemuda bernama Cleon Ralpheus Dafandra langsung menegakkan tubuh. Ia tak ingin telinganya kembali terkontaminasi oleh suara cempreng Adik kesayangannya. Cklek! Mendengar pintu kamar terbuka, Leoni Grisela Difadara atau biasa dipanggil 'Sela' itu langsung memekik girang. "KAKAK!!!" Sela merentangkan kedua tangannya supaya Ralph mau menggendongnya. "Sela gak mandi? Nanti telat sekolahnya," tutur Ralph saat melirik jam yang ada di dinding menunjukkan pukul 05:30. "Sela lapal," jawabnya pelan. Ralph tersenyum manis kepada Adiknya. "Sela mandi dulu, ya? Kakak buatin makan dulu." "Oke, Kakak!" Gadis kecil itu segera turun dari gendongan Ralph dan berlari menuju kamar mandi. Sementara Ralph langsung menuju dapur untuk membuat sarapan. “Semangat untuk hari ini!” Ralph berseru sembari memasukkan nasi ke dalam wajan untuk digoreng. *** Sepeda yang dikendarai oleh Ralph sudah memasuki pekarangan salah satu sekolah elite di Ibukota. Pemuda itu merasa sangat bersyukur karena bisa diterima oleh SMA Bengawan. Bukan karena ia anak orang kaya sehingga dapat menimba ilmu disana, melainkan beasiswa salus, sampai lulus. "Wah, ada anak besalus nih." Celetukan berupa sindiran itu tak membuat langkah Ralph terhenti. Justru pemuda itu tetap melaju menuju kelasnya membuat seseorang yang nyeletuk tadi dongkol. "Heh! Jangan karena jadi kebanggaan guru, lo bisa seenaknya!" tukas pemuda bernama Jeno Adrian Icarus. Seorang pemuda yang terkenal sengklek serta playboy di penjuru Ibukota. Langkah yang tadinya lancar seketika terhenti. Ralph paling tidak suka jika ada yang beranggapan dirinya menjadi 'kebanggaan guru'. Menurut Ralph, semua murid bisa menjadi kebanggaan asalkan mau berusaha. "Semua bisa jadi kebanggaan, asalkan memiliki usaha," cetus Ralph dingin. Pembahasan seperti ini sangat sensitif untuknya. "Weits, santai dong! Semua anak besalus kebiasaan ngegas kayaknya," gurau Jeno menjengkelkan. Siapa saja yang melihat raut itu, pasti inginnya menonjok. Itu memang sudah menjadi kebiasaan Jeno karena dia seseorang yang selalu membanggakan harta kekayaan orang tuanya. “Gue gak suka basa-basi. Kalau lo nyari bahan buat bercanda, jangan gue." Setelah mengatakan itu, Ralph berlalu pergi meninggalkan Jeno yang tersenyum smirk. "Kalau lo fikir, gue gak tau tentang kejadian selama ini. Lo salah besar, Cleon," ujar Jeno dengan sorot tajam. Tangannya mengepal erat sebelum ada tangan mungil yang menerobos genggaman tersebut. "Jeno kenapa marah-marah?" tanya gadis cantik berstatus sahabatnya, Brisia Camelie Anderson. Helaan nafas berat Jeno keluarkan supaya emosi itu tak meledak di hadapan sahabatnya. "Gue gak kenapa-kenapa, Bris," jawab Jeno santai. "Yaudah kalau gitu. Kita ke kelas, yuk!" seru Brisia menggelayut pada lengan Jeno. "Eh ... Bentar-bentar," cegah Jeno membuat kening Brisia menukik tak paham. "Kenapa, sih?" bingung Brisia mengederkan pandangan. Setelah mengetahui apa penyebab sahabatnya menghentikan langkah, Brisia akhirnya mendengus dongkol. "Wah, eneng cantik pujaan A'a Jeno." Akhirnya sifat sengklek Jeno kembali saat melihat salah satu sahabatnya melintas. Gadis yang sempat digoda Jeno pun memutar malas matanya. "Apa, hah??!!" Baik Jeno maupun Brisia mengusap dadanya karena kaget. Sahabatnya yang satu ini sudah mirip dengan lampor. Sangat emosional sekalipun lawan bicaranya hanya berkata santai. "Ralin kenapa sih? Suka banget marah-marah?!" cetus Brisia sengit. "Diem lo! Gue eneg sama kelakuan tuh Crocodile!" Classica Raline Millano, menukas pembicaraan Brisia. Entah apa dosa di kehidupan sebelumnya hingga harus dipertemukan dengan makhluk menyebalkan seperti Jeno. "Hehe ... Jeno sih, Ralin marah kan!" Brisia termasuk orang yang plin-plan karena ia suka mencari tempat perlindungan yang aman. "Sialan lo Brisia. Tadi aja pas gak ada Ralin, mau nempel ke gue," delik Jeno kesal. Brisia memeletkan lidah. "Brisia kan cari aman, salah sendiri Jeno lemah." Jeno merasakan harga dirinya tercoreng karena hinaan yang dilontarkan sahabatnya. Hatinya terasa perih menanggung beban sendirian. Mengapa tak ada yang mau membela dirinya? Karena tak mau dihujat sendiri, Jeno pun menghampiri pemuda yang kebetulan baru turun dari mobilnya. "Vero ... Bantu gue dong!" Jeno merengek kepada pemuda yang dipanggil Vero tersebut. Alvero Lionard Hansen, sahabat dari Ralin, Brisia, serta Jeno itu langsung menepis tangan laknat sahabatnya. Ia tak segan menoyor kepala pemuda lebay itu jika hatinya sedang tidak sreg. "Ngapain nempel-nempel? Lo kira gue gay?" "Lo bertiga kenapa sih, gak ada yang mihak gue?" "Karena congor lo berisik!" Setelah berucap pedas, Ralin langsung berlalu diikuti Brisia dan Alvero. “Gue salah apa?" lirih Jeno setelah melihat kepergian para sahabatnya. “WOI TUNGGUIN GUE!!!!" *** Suara ketukan heels terdengar sepanjang koridor sekolah karena semua murid pagi ini sudah memulai kegiatan belajarnya. Brisia yang bersandar pada tembok langsung memicing tajam pada seonggok manusia dengan heels berisik tersebut. "Ralin ... Ralin ... Dia berisik banget sih?" ucap Brisia dengan suara yang lumayan keras sehingga membuat seisi kelas menoleh "Maksud lo siapa?" sahut Ralin malas. "Bu Menik." Ralin yang tadinya tak tertarik langsung menegakkan badan. "Mana tuh orang?" "Tuh." Jari lentik Brisia menunjuk kearah luar kelas. Jeno yang tadinya sibuk dengan para ceweknya pun tertarik untuk nimbrung. "Lo berdua gibah gak ajak-ajak gue!" Jeno berujar pura-pura ngambek. "Lo sepenting apa, sih?" sarkas Ralin tanpa menoleh. "Si--" Drrtt..Drrtt "Ha--" "Ke lokasi sekarang!" Tut Ralin menghela nafas. Tidakkah sutradara disana ngertiin kalau dia sedang sekolah? Karena tak mau mencari masalah, Ralin akhirnya beringsut mengemasi seluruh peralatan sekolahnya. Ketiga sahabatnya hanya mampu menatap iba kegiatan sahabatnya yang sangat tak manusiawi tersebut dan Ralin sungguh membenci tatapan kasihan dari para sahabatnya. "Jangan lihatin gue kayak gitu!" sentak Ralin tajam membuat seisi kelas yang tak tau menahu pun penasaran. Si Ralin kenapa sih? Iya, kerjaannya marah mulu Jangan gibah! "Saya permisi." pamit Ralin meninggalkan Pak Sarif yang melongo karena muridnya ngacir. Sampai kapan, lo kayak gini, Lin? Batin salah satu sahabatnya dengan sorot tak terbaca. Di koridor sekolah, Ralin masih berlarian karena jarak dari ruang kelas menuju parkir sangatlah jauh. Bruk! Jidat mulus itu menabrak sesuatu yang keras hingga Ralin meringis ngilu. Matanya memejam dengan gigi bergemelatuk. "Lo gak bisa gunain mata sesuai kegunaannya, hah??!!" sentak Ralin murka. Kepalanya mendongak menatap sepasang mata seseorang yang menurutnya, aneh. "Sorry, gue gak sengaja," ucap orang tersebut menjulurkan tangan. Ralin yang kelewat murka langsung menepisnya. "Minggir lo, pengganggu." desis Ralin sebelum menjauh meninggalkan pemuda yang hanya mampu menatap sendu punggungnya. Sepanjang perjalanan, Ralin tak henti mengumpat karena macet yang membuatnya ditelfon oleh sang sutradara terus menerus. "Sialan!" Tin! Tin! Klakson mobilnya terus berbunyi hingga makian demi makian memasuki gendang telinganya. Tapi, dia tak peduli. Menurut orang sombong seperti Ralin, mereka semua hanyalah hama. Sekitar satu jam kemudian, mobil yang dikendarai olehnya tiba di sebuah lokasi yang menurutnya sangatlah indah. Bibir pink tersebut tak henti berdecak kagum sampai sebuah suara menginterupsi. "Berhenti kagum sebelum kau menyelesaikan kewajibanmu." Senyuman yang awalnya merekah seketika sirna begitu saja. Itulah yang membuat Ralin malas berinteraksi dengan hama karena mereka selalu seenaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD