01. Prolog : Tumbal Pesugihan (1)

1260 Words
“Jadi, apakah kalian sudah memutuskannya?” Seorang pria paro baya dengan kumis tebal melintang, bertanya sembari menatap tajam pasangan pasutri berumur yang duduk di depannya. “Apa tak ada cara lain, Mbah?” Sang suami bertanya dengan berat hati, sementara istrinya memilin gaunnya hingga kusut. “Tak ada! Butuh pengorbanan besar untuk mendapatkan hasil luar biasa. Kalau tak begitu, orang akan berbondong-bondong memohon kekayaan.” Mbah Suro, dukun yang ternama karena kesaktiannya, mendengkus kasar. Sudah sering pasiennya mencoba menawar, permintaannya tak akan berubah. Mbah Suro tak pernah mengganti tumbalnya demi apapun! “Tapi bagi kami sangat berat. Dia adalah putri kesayangan kami, dia permata yang kami jaga dengan baik selama ini,” ucap si istri dengan mata berkaca-kaca. Mbah Suro tersenyum sinis. “Harus ada yang dikorbankan untuk pilihan yang kalian ambil. Cepat putuskan, waktu saya terbatas!” Kedua pasutri itu saling memandang dengan sorot mata sedih. Berat hati mereka memutuskan hal ini, namun kemiskinan yang mengancam membuat mereka sesak ... tak bisa bernafas. Bagai buah simalakama, apapun keputusan yang mereka ambil membuat mereka serba salah. “Ma, bagaimana sekarang?” Sang suami, Pak Juno bertanya pada istrinya. “Terserah Papa. Mama menurut saja. Mama bingung. Keadaan kita sangat terjepit. Sebenarnya Mama tak tega mengorbankan anak kita, tapi ... kalau kita tak segera mendapatkan kekayaan dalam waktu singkat, rentenir itu ... Tuan Alfonzo akan ....” Marni, sang istri menghela nafas berat. Setetes airmata bergulir membasahi pipi perempuan itu. “Meski kita tak mengorbankan Menik, dia juga akan mati. Tuan Alfonzo tak akan membiarkan kita sekeluarga hidup bila kita tak bisa melunasi hutang kita pada mafia itu,” keluh Pak Juno putus asa. “Jadi, menurut Papa, lebih baik dua orang hidup daripada ketiganya tak bisa selamat?” cicit Marni enggan. Dengan berat hati Pak Juno mengangguk. Menyaksikan perundingan yang tak kunjung selesai, kesabaran Mbah Suro semakin menipis. Dia spontan meminta kepastian dari mereka. “Maaf, ya. Waktu saya tak banyak. Bagaimana keputusan kalian?” Kedua pasang mata dengan sorot putus asa itu saling memandang, kemudian mengangguk bersamaan. Mbah Suro tersenyum puas. “Baik, karena kalian telah menyetujuinya. Mari kita segera melaksanakan ritual untuk mengambil tumbal pesugihan kalian!” *** “Dia tampan sekali. Astaga, kakiku meleleh setiap kali melihatnya!” cetus Menik dengan mata berbinar. Siapa lagi yang dimaksud olehnya kalau bukan Delon, sang cogan di SMA Setia Budi? Sudah jadi rahasia umum, Menik adalah fans nomor satu kapten basket sekolah mereka ... dari kelas X hingga kelas XII. Tak ada yang tak diketahui Menik tentang Delon. Dia mengoleksi segala hal tentang Delon, dia hapal setitik-koma perihal Delon sampai ke dalaman segala. Sayang, Menik si cewek tukang ghibah ini tak pernah berani menunjukkan perasaannya pada idolanya. Dan meski menyadari perasaan Menik padanya, Delon memilih pura-pura tak mengetahuinya. “Kalian lihat! Lihaaat!” pekik Menik heboh. “Apa dia melihat kemari?” Sohib Menik, dua gadis sesama tukang ghibah, menoleh berjamaah pada cowok bahan gosip utama mereka. Seorang pemuda tampan berdiri di lapangan basket dengan kostum basketnya dan berpeluh ria. Rupanya Delon baru saja menyelesaikan pertandingan basketnya. Kini dia sedang mengguyur rambutnya dengan air dari botol mineral yang ditumpahkan diatas kepalanya. “Seksiiinya ....” Mereka bertiga ternganga lebar, dengan mata mengerjab kagum. “Apa tadi kalian melihat Delon melirik Menik? Sebelum dia mengguyur rambutnya! Mungkin dia gugup melihat Menik, jadi dia membasahi wajahnya!” cerocos Menik bersemangat. Silvi dan Sasa mengangguk asal, padahal asli mereka tak melihat Delon memperhatikan Menik. Masa bodo! Iya-iyain aja deh ucapan Menik supaya traktirannya lancar. Menik itu royal dan loyal pada temannya. Itu sebabnya mereka berdua betah bersahabat dengan Menik yang cerewet dan tukang ghibah. “Menurut kalian, apa sekarang saat yang tepat untuk menyatakan perasaan pada Delon?” tanya Menik dengan pipi merona malu. Silvi dan Sasa saling menatap, kemudia mengangguk antusias. “Kenapa tidak? Go, Menik! Go! Pasti Delon akan menerima perasaanmu!” “Kalian yakin?” cicit Menik sembari melirik Delon yang tengah membereskan barang-barangnya di tepi lapangan basket. “Aduh, mau nunggu kapan lagi? Kita sudah mau lulusan, Nek! Sana, nyatakan perasaanmu!” Menik hanya pasrah ketika kedua sohibnya mendorongnya untuk mendekati Delon. Dia menghampiri cowok ganteng itu dan berdiri kikuk di depannya. “Hai, Delon. Se-selamat ya atas kemenangan timmu,” sapa Menik kikuk sembari mengangsurkan tangannya yang agak gemetar. Biasanya dia tak segugup ini bila berhadapan dengan Delon, tapi kali ini beda karena dia bertekad akan menyatakan perasaannya. Delon tersenyum ramah, namun tak membalas jabatan tangan Menik. “Terimakasih, dan maaf ... tanganku lembap terkena keringat.” “Loh, mestinya tak apa ... keringat orang ganteng mah wangi ... eh, bebas,” celetuk Menik keceplosan. Begitu tersadar dia menepuk mulutnya sendiri. “Sorry, tadi Menik teringat dialog sinetron abal-abal yang Menik tonton.” Delon mengangguk dan tersenyum tipis. Matanya gelisah menatap ke sekelilingnya. Dia merasa tak nyaman menyadari begitu banyak mata teman-temannya yang mengawasinya bersama Menik, gadis bukan siapa-siapa yang terkenal akan sikapnya yang norak. Habis itu, tukang ghibah nomor satu di sekolah lagi! “Hm, ada perlu apa? Gerah nih, pengin mandi,” sindir Delon. Maksud hati sih pengin mengusir halus, namun yang diusir sangat tak tahu diri. “Memang hawanya gerah ya?” Menik mengipas-ngipas dirinya. “Delon juga merasa begitu, ya? Mau Menik bantu kipas?” Dengan polosnya Menik mengipas-ngipaskan tangannya di depan wajah Delon yang mengkilap indah walau berkeringat. Siulan menggoda sontak terdengar dari beberapa teman yang usil. “Cieee ... cieee ... yang lagi modus, nih!” Delon berusaha menahan kekesalannya, sedang Menik yang tak sensi justru merasa disemangati oleh teman-temannya. “De-delon, mereka baik, ya. Tahu saja apa yang Menik rasakan,” gumam Menik dengan tersipu-sipu malu. Delon mendengkus dingin. “Abaikan saja mulut ghibah mereka!” Menik yang tak menyadari kedongkolan Delon, justru berbunga-bunga. Dia mengira Delon membelanya dari godaan usil teman-teman. “Delon baik sekali sama Menik. Menik sangat tersanjung. Menik tak akan menyia-nyiakan perasaan Delon. Menik akan selalu menjaga Delon. Bahkan saat menjadi hantu pun, Menik tak akan melupakan Delon. Menik akan mencari Delon dan berusaha membantu dan merawat Delon dengan .... Delon mau kemana?” Menik merasa bingung karena ketika dia asyik menumpahkan perasaannya, Delon justru dengan santai melenggang kangkung meninggalkannya. Delon tak membalas pertanyaan Menik, cowok itu hanya melambaikan tangannya tanpa repot menolehkan kepalanya. “Tunggu, Menik belum selesai bicara,” pinta Menik. Delon terus melangkah menjauhinya. Jarak di antara mereka semakin lebar, spontan Menik berteriak supaya Delon bisa mendengarnya. “Delon! Jangan khawatir ... meski jadi hantu pun perasaan Menik tak akan berubah! Menik cinta pada Delon!” Delon terdiam di tempat mendengar teriakan pernyataan cinta dari Menik. Sekejab suasana di lapangan basket sunyi senyap, sebelum sayup-sayup terdengar bisikan ghibah dimana-mana. “OMG! Akhirnya tukang ghibah kita menyatakan perasaannya.” “Nekat sekali dia. Apa dia tak sadar siapa dia, siapa Delon?” “Apa Delon akan menerimanya?” “Kalau mata Delon masih waras dan otaknya belum korslet pasti dia akan menolaknya.” Delon mendengar bisik-bisik tetangga ... eh, bisikan teman-temannya. Hatinya panas, harga dirinya meradang. t***l sekali! Mengapa gadis itu harus menyatakan perasaannya pada saat yang enggak begini? Pakai suara toa lagi! Ini bencana nasional bagi Delon. Tangannya mengepal erat, Delon menegakan dirinya untuk melakukan sesuatu yang kejam. Biar mata gadis itu terbuka dan tak bermimpi lagi! “Maaf, saya sama sekali tak menyukaimu! Kamu jauh dari tipe saya. Tolong bangun dari mimpi kamu. Kita sangat berbeda.” PRANG! Hati Menik hancur berantakan seketika mendengar penolakan Delon di depan teman-temannya. Airmatanya menetes begitu menyadari tatapan sinis dan mencemooh mereka pada dirinya. Mereka sangat berbeda? Jadi kalau Delon bintang apakah dia kutu kupret? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD