Hospital Runaway

1027 Words
    Keanu termangu menatap anak itu. Cukup jelas karena jarak mereka hanya dipisahkan oleh selembar tirai—yang tumben-tumbennya terbuka lebar. Keanu mau tak mau harus melihat.     Ia sudah muntah beberapa kali tapi belum berhenti juga. Bahkan kini yang ia muntahkan hanya berupa cairan bening. Isi perutnya sudah terkuras habis. Ia terlihat menderita dan kelelahan, bahkan untuk duduk saja harus dibantu oleh perawat.     Tak ingin melihat semakin lama, Keanu segera menutup tirai. Terlalu ngeri melihat tetangganya dalam keadaan seperti itu.     Hari ini jadwal kemoterapi pertama Keanu. Kini Keanu punya gambaran tentang apa yang akan ia alami setelahnya. Pastinya akan sama dengan anak sebelah. Keanu jadi berpikir lagi. ‘Enaknya jadi kemo apa nggak?’     "Keanu!" seru Laurent, perawat paling ramah yang pernah Keanu kenal. Laurent senantiasa tersenyum menampakkan lesung pipi di dekat bibirnya.     "Laurent.” Keanu balik menyapa.     "Udah siap?" tanyanya.     Bukannya menjawab, Keanu justru terdiam. Matanya fokus menatap meja beroda yang dibawa Laurent. Suntikan, pil, dan berbagai obat dalam tabung kecil berada di sana. Mendadak detak jantung Keanu memburu.     “Kenapa?” tanya Laurent lagi.     “Ng-nggak.” Keanu memberi jeda sejenak. “Laurent, seandainya aku nggak jadi kemo, apa aku bakal mati besok?”     Mata Laurent memicing. "Kenapa, K? Apa yang bikin kamu jadi ragu?” Laurent sengaja menggunakan nama panggilan Keanu yaitu K yang dibaca dengan ejaan barat. Supaya Keanu berkenan dan merasa nyaman membagikan kegundahannya, sebab keakraban yang ditawarkan secara tersirat oleh Laurent.     "Aku tadi lihat dia." Keanu menunjuk ke sebelah kanan, tempat tetangganya dirawat.     Laurent tersenyum. Ia bisa mengerti sekarang. "Namanya Devon. Kalau seandainya sekolah, dia udah kelas XII sekarang. Dua tahun lebih tua dari kamu, K."     "Setelah kemo, aku pasti bakal kayak dia tadi, kan?”     Laurent mengangguk samar. "Efeknya memang seperti itu, K. Tapi aku janji bakal nemenin sampai kamu ngerasa baikan.”     Keanu bukannya tak mempercayai Laurent. Tapi ia tetap dihantui rasa takut. "Apa kalau sudah kemo, aku pasti akan sembuh, Laurent?”     Raut Laurent berubah mendung. Ia merasa sedih karena semangat Keanu memudar. Padahal ia kemarin sudah berhasil meyakinkan anak itu untuk menjalani perawatan intensif. "Kemo nggak menjamin kesembuhan, tapi nggak salahnya kita berusaha, kan?"     Keanu mendengarkan Laurent dengan baik. Benar, tidak ada yang salah dari berusaha. Tapi … ia benar-benar takut.     "Laurent, gimana kalo jadwal kemo-ku diundur?”     "Diundur? Bukannya lebih cepat lebih baik, K? Sel blast berkembang lebih cepat dari yang pernah kamu kira.”     ‘Apa bener cepet banget?’ Keanu bertanya-tanya dalam hati.     Seminggu yang lalu, Keanu masihlah remaja biasa yang menjalani hidup dengan normal. Bersenang-senang bersama temannya, main game, sekolah, dan lain-lain. Tapi sejak vonis medulloblastoma itu, semua berubah total. Keanu berusaha tetap menjalani segalanya dengan normal, tapi tidak bisa. Karena semuanya memang sudah berubah tidak normal.     "Laurent aku takut.”     Laurent mengerti perasaan Keanu sekarang. Ia masih sangat muda. menghadapi hal buruk seperti ini sendirian pastilah sangat sulit. Maka dari itu Laurent tak boleh menyerah untuk meyakinkannya. Keanu masih muda, masih banyak yang harus ia capai. Apalagi lagi anak laki-laki. Banyak hal yang menjadi tanggung jawab saat dewasa nanti. "Kalau kamu punya keinginan sembuh yang kuat, semuanya proses pasti bakal berlalu dengan cepat. Setelah itu kamu akan merasa lebih baik.”     “Huum ….” Keanu bergumam membenarkan ucapan Laurent. “Aku sepertinya cuman belum siap. Boleh, ya, diundur sebentar aja!” Keanu memohon.     Tatapan memohon dari Keanu rupanya berhasil meluluhkan hati Laurent. “Oke, aku atur ulang jadwal kemo kamu. Nanti kamu setelah dua pasien di kamar sebelah. Persiapin diri kamu, nanti aku balik lagi.”     Keanu menganguk dengan kaku. Namun merasa sangat lega.     Setelah Laurent pergi, Keanu segera berpikir keras. Berpikir bagaimana caranya keluar dari rumah sakit ini secepat mungkin. Ya … ia akan kabur.     Keanu segera beranjak dari ranjang, mencabut jarum infuse, dan lalu mengganti piyama pasiennya. Ia bergerak secepat dan semulus mungkin agar tak ada yang melihat ataupun mendengarnya.   ***       BRUAK.     Keanu terjungkal ke belakang. Pun demikian seseorang yang ditabraknya. Karena terlalu buru-buru, Keanu jadi tak awas. Alhasil, saat akan melewati pintu, ia tak tak sengaja menabrak orang yang hendak masuk kamar ini dari arah berlawanan.     “Kamu nggak apa-apa?" tanya orang itu.     “Nggak apa-apa. Tapi lain kali tolong lebih hati-hati, ya," omel Keanu. Padahal ia sendiri yang salah, malah ngomel-ngomel.     Keanu berusaha berdiri. Tangannya mengusap p****t dengan kasar, ngilu sekali rasanya terbentur lantai.     Keanu hendak melanjutkan acara kaburnya, tapi pergerakannya terhenti saat matanya tak sengaja menatap orang—lebih tepatnya anak—yang ditabraknya tadi. Bukankah anak itu ... tadi bukannya ia masih di dalam, kenapa tiba-tiba sudah dari arah luar? Kapan keluarnya? Jangan-jangan ia adalah semacam The Flash atau … Jumper mungkin?     "Harusnya, kan, aku yang bilang ‘lain kali hati-hati’.” Ia buka suara. “Soalnya kamu yang nggak hati-hati dan berakhir nabrak aku?" Anak itu tak ragu mendekati Keanu.     Keanu terdiam menatapnya—Devon. Dilihat dari dekat seperti ini wajah pucatnya semakin jelas terlihat. Matanya cekung dan terdapat lingkaran hitam di sekitarnya. Juga, bibirnya kering dan pecah-pecah. Jangan lupakan pipinya yang tirus.     “Kenapa lihatin aku kayak gitu? Ngeledek gara-gara aku pendek?" Devon malah nyolot dengan caranya. Ia memang pendek, sih. Ia hanya setinggi telinga Keanu. Eh … atau Keanu saja yang tingginya keterlaluan?     Keanu beralih menatap topi kupluk warna putih yang dipakai Devon. Ia menatap topi itu tanpa berkedip. Membuat Devon merinding.     “Kenapa?" tanya Devon seraya memegangi kepalanya. Bingung dengan perubahan sikap anak jangkung di hadapannya.     Keanu mendadak gugup. Tanpa menunggu apa-apa lagi, ia segera beranjak dari hadapan Devon. Ia bisa melihat dengan jelas, kupluk itu dipakai untuk menutupi kerontokan rambut. Sangat mengerikan. Keanu jadi semakin mantap untuk kabur. Ia memang benar-benar harus kabur.     "Toh kenapa kalau aku mati? Bukannya nggak ada yang peduli?” gumam Keanu lirih pada dirinya sendiri.     "Hey!" Devon mengejar Keanu.     Mendengar seruan anak itu, langkah Keanu melambat. Ia menoleh. Ia bingung kenapa Devon mengejarnya?     "K-kamu pasien yang sekamar sama aku, kan?” tanya Devon ngos-ngosan karena berusaha menyamakan langkah dengan Keanu.     Keanu panik. Gawat, Devon mengenalinya. Bagaimana ini?     "Bukan!" Keanu menjawab dengan cepat dan keras, ia lalu berlari lagi. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Aduh, kenapa pula Devon mengenalinya segala?     "Heh, kamu mau kabur, kan? Berhenti kamu, jangan kabur!" teriak Devon lagi. Ia benar-benar ngos-ngosan. Menyamakan langkah dengan Keanu sungguh sulit.     Keanu semakin mempercepat langkahnya. Yang ada di pikirannya hanya kabur, kabur, dan kabur.     BRUK.     Langkah Keanu terhenti. Suara apa lagi itu? Ia menoleh. Astaga. Anak itu … Devon … Devon pingsan.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD