Dipecat

1295 Words
"Perusahaan bangkrut, sebagian karyawan dikeluarkan dan mereka tidak dapat uang kompensasi dari pihak kantor termasuk kau, Daren Pratama." Daren menatap atasannya dengan penuh kecewa. Padahal sudah hampir 5 tahun dirinya bekerja di sana dengan penuh semangat dan juga selalu dapat dipercaya. Namun, mengapa mereka mengeluarkan dirinya begitu saja? Bukan pekerjaan mudah bagi Daren bekerja sebagai supervisor di bagian produksi. Tapi kenapa saat dirinya dikeluarkan bahkan uang pesangon pun tidak ia terima? "Tapi Pak, bukankah saya wajib menerimanya?" Brak!!! Pemilik perusahaan itu menggebrak meja dan memberikan Daren sebuah amplop yang ikut terlempar olehnya. "Saya sudah tidak punya lebih lagi jadi, mau atau tidak dengan uang yang saya berikan itu terserahmu." Daren menatap amplop itu dengan manarik napasnya panjang. Mungkin inilah akhirnya. Daren sudah tidak punya pekerjaan lagi. "Baik, saya terima. Terimakasih sebelumnya." Daren mengambil amplop itu, segera pergi dari sana. Perusahaan di bidang textile itu telah membuat hidupnya nyaman. Ia bekerja sepenuhnya hanya untuk istri tercinta dan dia menikmati pekerjaannya selama 5 tahun. Namun, apa boleh buat jika dirinya dikeluarkan bahkan tidak mendapat uang dari hasil jerih payahnya selama ini. Daren hanya pasrah dengan keadaan. Daren, pria berumur 30 tahun bertubuh tinggi dengan tinggi 180 cm. Mempunyai postur tubuh yang sempurna dan berwajah tampan itu memiliki bola mata coklat dan sipit. Ia bahkan sering disebut sebagai orang luar. Namun, Daren asli kelahiran Bandung tepatnya di daerah perkotaan. Semenjak ia menikah 2 tahun yang lalu, ia mengajak istrinya untuk tinggal di Yogyakarta tempat ia bekerja di sana. Perjalanan rumah tangganya sangat harmonis sebab Daren sengaja membawa Kayra jauh dari kedua orang tuanya dan hidup mandiri. Kayra ialah gadis kelahiran Jakarta, dia tumbuh sebagai gadis cantik dan punya kepribadian baik. Pertemuannya hari itu, membuat keduanya saling menyukai. Saat itu Daren main ke rumah temannya dan tak sengaja bertemu dengan Kayra. Saat itu lah mereka mengenal satu sama lain. Siang ini, Daren pulang dalam keadaan tidak bersemangat. Ia melihat sang istri sedang mencuci pakaian menggunakan tangan. Daren ialah pria tak tegaan. Apalagi melihat sang istri masih mengerjakan tugas rumahnya sampai siang ini. Lantas, pria itu segera melepas sepatu dan ikut berjongkok di samping Kayra. "Biar kubantu," kata Daren tersenyum. Kayra terkejut akan kedatangan Daren yang tiba-tiba. Biasanya Daren pulang sekitar pukul 4 atau tidak jam 5 sore baru ia ke rumah. Namun, sekarang bahkan baru jam 11 siang dirinya sudah ada di rumah. Bahkan Kayra tidak tahu kapan dia masuk rumah. "Loh, mas sudah pulang? Tumben siangan?" kata Kayra menghentikan aktivitasnya. "Nggak biar aku aja, mas tunggu aja ya!! Kalo mas mau makan, aku udah masak tadi. Nasi sama lauknya ada di atas meja." Kayra mengambil pakaian basah di tangan Daren dan melanjutkan lagi aktivitasnya. Ia tidak mau dibantu sebab memang inilah kewajibannya. Daren menatap sang istri dengan penuh kekhawatiran. Ia takut jika Kayra tidak menerima dirinya yang sekarang menjadi pengangguran. Dua tahun lalu, di mana mereka baru menikah, Kayra lupa mematikan kompor gas, saat itu juga rumah yang ditempati dirinya dengan sang istri habis terbakar. Rumah itu hasil dari Daren bekerja, sedikit-sedikit ia mengumpulkannya dan ia bisa membangun rumah sederhana di sana. Namun, sejak kejadian itu, Daren tidak bisa membelikan rumah lagi untuk Kayra karena semua uang bahkan semua berkas sudah habis terbakar. Selama kurang lebih 2 tahun, Daren dan Kayra tinggal di rumah kontrakan. Walaupun begitu, tapi mereka menikmatinya sebab selalu menjalani kehidupan rumah tangga selalu berdua. Susah senang dihadapi berdua. Daren ataupun Kayra menyukainya. Melamar pekerjaan pun percuma tanpa adanya ijazah tidak mungkin Daren bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Maka dari itu ia takut Kayra kecewa padanya. "Neng, bisa mas bicara sebentar?" kata Daren hati-hati. Kayra masih dengan aktivitasnya. "Bicara apa mas? Nanti aja setelah aku menyelesaikan pekerjaanku. Sekarang mas makan saja dulu," jawab Kayra. Daren tidak bisa memaksa sang istri sebab ia tahu jika pekerjaannya belum selesai. Lantas, Daren pun memilih untuk duduk di kursi meja makan, membuka tutup tudung saji itu lalu mengambil beberapa sendok nasi untuk makan siangnya. Perutnya sudah lapar. Selesai makan, Daren dengan cepat mencuci piring bekas makan dan langsung membantu istrinya yang sedang menjemur pakaian. "Mas udah gak usah, biar aku aja." Kayra menolak bantuan dari suaminya. Namun, Daren tetap mengambil pakaian itu lalu menjemurnya. Kayra bisa apa jika suaminya keras kepala seperti itu. Lagipula ia sedikit senang. Pekerjaannya juga sedikit berkurang. Selesai dengan jemuran, kini Daren membawa Kayra untuk duduk dengannya di ruang tengah. Daren menggenggam tangan Kayra dan menciumnya. "Maafkan mas, mas sudah tidak bisa berangkat kerja lagi besok, besok dan besoknya lagi." Kayra mengerutkan kening. "Memangnya kenapa?" "Mas dipecat!!" *** Keesokan harinya, nampak Kayra sudah memasukkan semua pakaian ke dalam koper, Daren memeluknya dari belakang. "Apa tidak apa-apa kalau nanti kita ikut di rumah ibu?" Daren resah. Kayra tersenyum memegang tangan Daren yang melingkar di lehernya. "Nggak mas, ibu pasti nerima kita. Mas gak usah khawatir, bagaimanapun keadaannya nanti, kita hadapi sama-sama." "Terimakasih, sayang. Kau paling mengerti diriku." Kayra memutar tubuhnya hingga kini berada di depan Daren. "Mas, kalau nanti ibu berkata apa-apa tentang rumah tangga kita, mas tidak usah mendengarkannya. Anggap saja omongan ibu tidak ada." Kayra tahu jika ibunya sangat membenci Daren. Bahkan sejak awal mereka menikah pun, Elisa tidak menyukai Daren. Hanya saja ayahnya menyetujui pernikahan mereka sebab Darma yakin Daren ialah pria baik dan bertanggung jawab. Walaupun kedua orang tua Daren sudah tiada. Namun, Daren sudah bisa hidup mandiri. Hal itulah yang disukai Darma. *** "Apa? Kalian mau tinggal di sini?" Begitu tak menerimanya Elisa saat tahu Daren dan Kayra akan ikut tinggal bersamanya. Rumah milik Darma itu sendiri lumayan besar dan cukup untuk ditempati beberapa orang. Namun, Elisa tidak ingin jika menantunya itu ikut tinggal bersamanya juga. "Enak saja, memangnya kau bisa bayar berapa selama kau tinggal di sini, huh? Pekerjaan saja sudah tak ada. Kau mau ikut gratisan, begitu? Heugh!!" Elisa bersedekap tangan dengan kepala yang sedikit mendongak. Elisa mempunyai sifat angkuh. Maklum, dirinya tak tahan jika melihat seorang miskin seperti Daren apalagi Daren itu ialah menantunya sendiri. "Tapi bu, aku sama Mas Daren hanya tinggal untuk sementara waktu sebelum Mas Daren mendapatkan pekerjaan baru," kata Kayra memohon agar Elisa bisa mengerti keadaannya dan suami. Elisa lantas berbalik, menatap Daren yang hanya tadi berdiri sambil menundukkan kepalanya. "Huh, dasar menantu payah. Cari pekerjaan saja tidak bisa. Lantas, apa selama ini kau tidak bisa membahagiakan Kayra? Dari dulu juga ibu tidak ingin kamu menikah dengan lelaki miskin ini, Kay. Kalau saja ayahmu tidak setuju, mungkin kamu bakal nikah sama Radit, pemilik perusahaan Garmen dan dia merupakan atasan ayahmu. Mungkin hidupmu bakal senang, tidak seperti sekarang, susah, hidup miskin, tak berkecukupan," cetus Elisa. "Tapi aku bahagia walaupun hidup sederhana sama Mas Daren, bu. Tolong ibu jangan mengungkit masa lalu. Lagipula Pak Radit itu bukan pria baik-baik, dia atasan yang sombong." Kayra mulai membuka suaranya. "Diam kamu. Terus saja bela lelaki payah ini, Kay. Kamu memang tak pernah mendengar perkataan ibu. Itu terserahmu, mau kalian tinggal di sini pun terserah. Ibu hanya tidak ingin punya masalah sama ayahmu. Itu saja. Tapi, kalau Daren sudah punya pekerjaan, ibu harap kalian segera angkat kaki dari sini dan cari tempat tinggal lain." Elisa melenggang pergi, ia sudah muak dengan keberadaan Daren apalagi Kayra selalu memihak suaminya. Di sana Darma menghela napasnya panjang. Entah apa yang harus ia lakukan terhadap istrinya yang begitu keras kepala. Ia begitu tak enak melihat Daren selalu direndahkan oleh Elisa. Darma lantas berjalan ke arah Daren dan sudah menepuk pundaknya. "Jangan dengarkan ucapan ibumu. Kamu boleh tinggal di sini selama kamu bisa mendapatkan pekerjaan lain. Oh iya, nanti ayah tanya sama atasan ayah, kali aja di sana masih ada lowongan pekerjaan." Daren tersenyum, senang melihat ayah mertuanya begitu pengertian. "Terimakasih sebelumnya Ayah," ucap Daren. "Sama-sama Nak, sebaiknya kalian masuk ke kamar dan simpan semua barang-barang kalian. Kalian pasti capek kan, perjalanan dari Yogyakarta ke sini itu tidak lah sebentar," sambung Darma. "Baik, Ayah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD