Episode 1 - Mereka Tak Percaya

1570 Words
Pemuda berparas tampan itu terbangun dengan napas terengah hebat. Ia lihat kedua tangannya yang bergetar. Ia lihat pakaian yang melekat di tubuhnya. Lalu ia sentuh perutnya. Sudah tidak ada. Sudah hilang. Ia sudah kembali ke dunia nyata? "S-syukurlah ... terima kasih, Tuhan. Akhirnya aku bisa kembali!" Garlanda melampiaskan rasa syukurnya yang begitu besar. Bagaimana tidak? Sebab ia akhirnya kembali ke dunia nyata. Setelah sekian lama terjebak dalam dunia mimpi itu. Ia lalu melihat ke sekitar. Tidak salah lagi. Ini adalah tubuhnya. Ini adalah dirinya. Sudah lama sekali rasanya menunggu ia berada dalam dirinya sendiri seperti sekarang. Namanya Garlanda. Ia buru-buru beranjak dari atas ranjang. Ia berlari keluar kamar. Di bawah riuh sekali. Saudara-saudaranya sedang sarapan. Tentu saja riuh karena ia terlahir sebagai anak bungsu dari 9 bersaudara. Di zaman sekarang ini, jarang sekali keluarga yang memiliki lebih dari dua anak. Misal sampai lebih dari dua, maksimal empat saja lah, itu sudah dianggap banyak. Sudah dianggap sebagai keluarga besar. Apa lagi sembilan orang. Dijamin di dalam rumah tidak akan pernah sepi. Selalu ramai dan riuh di setiap kesempatan. Garlanda buru-buru turun. Ia benar-benar harus segera memberi tahu mereka tentang keanehan yang sering ia alami ini. Sebelum ia kembali menjalani kehidupan yang berbeda, dalam tubuh dan identitas yang berbeda pula. Garlanda memang terlahir dengan keanehan seperti itu. Ia memiliki sebuah penyakit, yang membuatnya tidur sangat lama. Dan ia tidak hanya tidur. Tapi juga bermimpi. Bukan mimpi yang indah. Melainkan sebaliknya. Ia terus terjebak dalam mimpi-mimpi yang menyeramkan, tragis, dan juga aneh. Yang lebih tidak enaknya ... mimpi-mimpi itu terasa nyata. Rasa sakitnya ... semua benar-benar seperti dialami secara nyata. Oleh karenanya, setiap kali Garlanda bangun dan menjadi dirinya sendiri -- di mana itu adalah sebuah momen langka -- ia akan menggunakan kesempatan itu, untuk menceritakan tentang penyakit anehnya itu. Supaya ada yang bisa menolongnya terlepas dari masalah ini. Alih-alih mendapatkan pertolongan, justru hanya hinaan dan cacian yang selalu Garlanda dapatkan. Bahkan mereka menertawakan Garlanda. Menganggap Garlanda adalah orang gila dan aneh. "Astaga ... Garland ... kenapa kamu belum mandi? Yang lain sudah siap berangkat sekolah dan bekerja. Kenapa kamu malah belum siap sama sekali seperti itu?" Jasmina kakak sang kakak pertama yang sebentar lagi akan menikah, segera memarahi adik bungsunya itu. "Kamu nggak kasihan sama Mama sama Papa apa? Mama sama Papa kerja keras banting tulang setiap hari demi menyekolahkan kita semua. Padahal usia mereka sudah tidak muda lagi. Tapi kamu selalu saja jadi orang nggak bersyukur seperti ini!" Cameron sang kakak kedua juga ikut memarahi Garlanda. Yang lain pun menatap tak suka pada si bungsu. Si bungsu yang baru saja menginjak usia 17 tahun beberapa hari lalu. Namun tak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun sama sekali. Karena tak ada yang ingat. Sementara Minerva dan Radivan orang tua mereka hanya duduk sembari menyantap sarapan mereka. Hanya menatap tak peduli ketika anak bungsu mereka menjadi sasaran empuk kemarahan saudara - saudaranya. "Biarkan aku jelaskan dulu." Garlanda berusaha menjelaskan meski sulit. "Tolong ... tolong sekali aja percaya sama aku. Aku mohon ...." Garlanda memohon dengan sangat. Wajahnya memelas. Kedua matanya berair. Air matanya siap untuk berlinang. Meratapi setiap rasa sakit yang ia rasakan, sebab bahkan keluarganya sendiri, tidak percaya dengan kondisinya yang sudah sangat mengganggu ini. Padahal Garlanda ingin sekali segera terlepas dari penyakit anehnya ini. Bahkan tanpa dikatai aneh pun, Garlanda juga sudah tahu bahwa ia adalah orang yang aneh. Sebab memiliki penyakit yang aneh pula. "Aku baru saja bangun. Dan aku sangat bersyukur karena sudah kembali ke dalam tubuhku ini. Ini adalah kesempatan untuk kembali mengatakan pada kalian semua. Tolong, kalian harus percaya. Karena aku nggak tahu kapan lagi aku akan punya kesempatan untuk mengatakan yang sejujurnya pada kalian semua. Tolong aku. Aku ingin sembuh. Aku nggak pengin jadi seperti ini terus!" Garlanda terus memohon - mohon pada mereka semua. Tapi tetap saja. Tidak ada yang percaya padanya. "Alah ... kamu mau mengarang cerita lagi, kan? Sudah lah, Garland, sudah. Hentikan omong kosong kamu. Kamu harusnya sudah bisa mulai berpikir dewasa. Sudah nggak waktunya lagi bersikap bodoh dengan mengatakan hal - hal mustahil seperti itu." Eva sang kakak ketika mengawali ucapan - ucapan kebencian itu lagi. "Kamu mau bilang apa lagi, Garland? Bahwa kamu semalam berada dalam kehidupan yang berbeda? Nama yang berbeda? Usia yang berbeda? Kamu tiba - tiba berubah nama jadi Carlos, kamu memiliki karakter yang berbeda. Kamu jadi seorang anak konglomerat? Kamu jadi seorang bad boy? Atau apa lagi? Coba ceritakan!" Niall sang kakak keempat malah memancing. Ia sembari tersenyum mengatakan itu, tapi tentu bukan senyum penuh kasih sayang. "Aku semalam terbangun menjadi seseorang bernama Uto. Dia adalah seorang laki - laki. Usianya seumuran sama aku. Tapi dia nggak tinggal di bumi." Semua orang di sana seketika tertawa hebat. Tawa mengolok - olok. Tawa tak percaya sama sekali dengan ucapan Garlanda. "Kalau nggak tinggal di Bumi, lalu tinggal di mana, hah? Di planet Mars?" Rebeka sang kakak ke lima kali ini. "Mungkin," jawab Garlanda. "Yang jelas tempat itu sangat asing. Dan di sana, laki - laki bisa mengandung." Garlanda menjelaskan. Semua orang pun kembali tertawa. "Astaga ... Garland ... kamu ngarang cerita macam apa lagi sih ini." Nastasha sang kakak ke enam mulai meremehkan cerita adiknya juga. "Kamu terlalu banyak baca komik science fiction pasti. Makanya kamu jadi halu begitu. Udah lah, Garland. Cukup. Kamu ini tinggal di dunia nyata. Mana ada laki-laki hamil. Apa lagi sampai melahirkan. Memangnya mau keluar dari mana bayinya? Ada-ada aja kamu tuh!" Semua orang lagi-lagi tertawa terbahak-bahak atas penderitaan Garlanda seorang diri. Tanpa ada orang yang mau membelanya, merangkulnya. Garlanda bingung, ia harus minta tolong pada siapa lagi. Karena ia hanya mengenal keluarganya ini. Ia ingin minta tolong pada orang luar. Tapi ketakutan sudah menyerang terlebih dahulu. Keluarganya saja sangat sulit untuk percaya padanya. Apa lagi orang lain. Belum lagi jika Garlanda keluar, tiba-tiba dalam perjalanan ia tertidur. Bisa dikira ia mati dan dikuburkan hidup-hidup. Garlanda sudah dibuat trauma dengan kelakuan keluarganya sendiri, sehingga ia takut untuk berinteraksi dengan dunia luar yang lain. Takut ia akan diperlakukan sama oleh mereka. Tidak dipercayai, meski sudah menceritakan masalahnya sesuai dengan kenyataan yang ada. "Jangan gitu dong, Kak." Felix sang kakak ke tujuh berlagak seperti akan membela Garlanda. Tapi tentu saja tidak. Memang tidak ada sama sekali yang berpihak pada Garlanda. Semua orang tak percaya padanya. Semua orang menganggap dia anak aneh. Tidak pantas seseorang yang aneh seperti itu menjadi adik mereka. Menjadi bagian dari keluarga mereka. "Kalau benar laki - laki di sana bisa hamil. Lalu kamu sendiri gimana? Siapa nama kamu tadi di sana hm? Uto?" Felix melanjutkan pengejekannya. Namun sebuah reaksi tak terduga dilakukan oleh Garlanda. Ia pun mengangguk. "Iya," katanya. Semua orang tercenung. Terdiam. Sama sekali tak menyangka dengan jawaban Garlanda. "Aku mengalami kehamilan juga di sana. Bahkan aku sudah aka melahirkan. Aku merasakan kontraksi demi kontraksi itu. Begitu menyakitkan. Perutku membesar, dan mengeras. Ada seorang bayi yang terus bergerak di dalam sana. Dan ia mendesak ke bawah, ingin keluar. Rasanya aku sudah nggak kuat lagi. Rasanya aku mau mati. Napasku rasanya sudah mau habis. Tapi untungnya aku terbangun. Dan aku kembali dalam tubuhku ini." Suasana masih hening. Semua orang terdiam karena jawaban dari Garlanda barusan. Sampa seseorang bernama Hiro, kakak ke delapan Garlanda tertawa keras. Yang lain pun ikut tertawa terbahak-bahak. Lain halnya dengan Radivan sang Ayah. Ia nampak begitu marah. Kedua rahangnya mengeras. Ia begitu kesal dengan jawaban putra bungsunya yang semakin hari semakin aneh saja. Radivan beranjak dari kursinya. Ia berjalan mendekat pada Garlanda. Garlanda pun merasa amat sangat takut. Terlebih setelah melihat tatapan tajam sang ayah padanya. "P-Papa ... Papa ... tolong jangan marah. Tolong ... tolong sekali ini saja ... tolong satu kali saja percaya sama aku. Aku nggak bohong, Pa. Aku serius. Aku mengalami itu semua. Makanya aku bingung harus bagaimana, Pa. Makanya aku minta tolong. Aku juga ingin hidup normal seperti Papa, Mama, dan kakak-kakak semuanya. Tapi aku terus mengalami ini. Aku juga ingin sembuh, Pa. Tolong aku, Pa." Garlanda memohon-mohon. Ia sekarang sudah menangis sembari berlutut di hadapan sang ayah supaya ia tidak dihukum. Minerva hanya diam. Ia tidak akan menolong putra bungsunya. Ia serahkan semua pada sang suami. Terserah nanti anak itu akan dihukum apa lagi. "Satu-satunya orang yang bisa menolong kamu ... adalah diri kamu sendiri. Kamu harus mulai belajar hidup dalam dunia nyata. Jangan hidup dalam dunia khayalan kamu terus, Garland!" Radivan mengucapkan itu semua dengan nada suara yang tinggi dan penuh amarah. "Pa ... Papa harus percaya sama aku, Pa. Tolong, Pa." Garlanda terus memohon dan memohon. Namun itu justru semakin membuat Radivan kesal. Yang lain pun hanya menonton. Sama sekali tak ada yang membela Garlanda. Radivan mulai menyeret putra bungsunya. Ia masukkan anak itu ke dalam sebuah kamar gelap di bawah tangga. Garlanda terus memohon untuk tidak memasukannya ke kamar itu lagi. Tapi percuma saja. Ia sudah didorong paksa masuk ke sana. Dan ia kini sedang menggedor pintu dari dalam, supaya pintunya kembali dibuka oleh sang ayah. "Papa ... buka pintunya, Pa. Buka!" Garlanda benar-benar berharap bahwa Radivan akan berbaik hati membukakan pintu untuknya. sesekali berbelas kasihan padanya. Namun seperti yang sudah diduga, tak ada yang peduli. Tak ada yang kasihan. Semua meneruskan kegiatan sarapan masing-masing. Sama sekali tidak peduli dengan Garlanda yang berteriak minta tolong terus menerus. Sementara Garlanda tengah kesakitan di dalam sana. Kepalanya dihantam rasa sakit luar biasa. Kemudian pemuda itu tersungkur. Raganya terjatuh menghadapi dinginnya lantai. Dan ia kembali kehilangan kesadarannya. Tertidur begitu dalam. Kembali dihadapkan dengan mimpi-mimpi yang mengerikan dan tidak masuk akal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD