jingga 1

1520 Words
Angkasa menghela napas untuk kesekian kalinya, malam ini dirinya memilih terjaga di kantor dengan tumpukan berkas, daripada harus pulang dengan tekanan yang membuatnya tersisa. Angkasa meletakan gelas air mineral keatas meja setelah menenggak pil penenang untuk meredakan nyeri di kepalanya. Perlahan ia memutar kursi kerjanya menghadap jendela kaca di belakangnya yang menunjukan indahnya gemerlap cahaya kota Palembang. Indah kota dengan segala aktifitas malam yang masih terlihat cukup padat, saat jam di atas mejanya masih menunjukan pukul 21.13 malam. Kasa beranjak, berdiri tepat di meja kaca dengan kedua tangan yang ia masukan di saku celananya. Diam, memandang hamparan bangunan di bawah sana, hingga sebuah ingatan muncul begitu saja di saat ia berdiam diri seperti ini. Ingatan yang selalu menyiksanya tanpa henti. Kembali, suara hembusan nafas kasar lolos begitu saja dari mulutnya, pria itu memilih duduk kembali ke kursi kerjanya untuk melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat tertunda. Menjadi anak pemilik perusahaan dan kebun sawit ribuan hektar, nyatanya masih membuat seorang Angkasa harus bekerja di bawah tangan sang ayah. Sosok yang menunjuknya langsung menjadi CEO di perusahaannya. Beban berat ada di pundak Kasa, pria yang terkesan dingin dan arogan itu menjadi sosok yang tegas dan mengabdi kepada perusahaan. Sifatnya yang tegas dan disiplin tentu membuat para karyawan segan dan hormat kepadanya. Pria itu memilih duduk di kursinya, melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti tadi. Hingga dering ponsel membuatnya tersadar dari pekerjaannya, Kasa meraih ponselnya, menggeser icon berwarna hijau sebelum menempelkan pada telinga. "Halo, assalamualaikum nak?" Suara lembut itu menyapa pendengarannya, Kasa tersenyum mendengar suara ibu nya, sosok yang selalu memberi perhatian walau hanya lewat telpon. "Kamu masih di kantor?" Kasa terkekeh pelan, belum juga ia menjawab salam dari sang ibu, wanita paruh baya itu sudah memotong kalimatnya. "Waalaikumsalam, Bu. Iya Kasa masih di kantor ini. Masih ada setumpuk pekerjaan." "Emangnya nggak bisa dikerjakan besok, kah? Ini sudah larut loh. Istirahat nak, jangan terlalu di porsir. Gimana mau dapet istri kalo kamu aja masih sibuk sama pekerjaan." Kasa memandang luar jendela dengan tangan sibuk memainkan bolpoin, mengetuk meja dengan ritme pelan. Kasa tahu kemana arah pembicaraan ini, sebagai anak pertama tentu membuat Kasa di tuntut untuk siap dengan segala hal, dan sekarang ia merasa di kejar rentenir saja hanya untuk masalah istri. Ibunya terlalu tidak sabaran untuk melihat ia bersanding dengan seorang wanita dan memiliki keturunan, hanya saja Kasa tidak terlalu tertarik untuk itu. Tentu saja Kasa normal, tapi untuk mendapatkan wanita yang benar-benar pas di hati tidak semudah mencari lahan kosong yang di jual dan ia beli untuk kemudian di tanami sawit. Semua butuh proses panjang untuk memantapkan hatinya, terlebih ada sesuatu yang masih saja mengganjal di hatinya, sesuatu yang selalu membuatnya sesak tiap kali memikirkan hal itu. Perasaan bersalah di masa lalu yang selalu menghantuinya, membuatnya tak bisa tidur dengan tenang. "Kamu itu loh, ya. umurmu udah berapa, nak. Nggak kepikiran buat nikah apa? perasaan ibu kamu itu asik aja sama pekerjaan kamu. Nggak pernah sekalipun kamu bawa perempuan main kerumah." Kasa menghela nafas pelan, ia kembali berdiri. Menutup berkasnya sebelum beranjak dan meraih jas yang sedari tadi tergeletak di sandaran kursi kerjanya. "Iya Bu, kasih waktu untuk Kasa. Cari pendamping nggak semudah cari baju Bu, Kasa butuh yang bener-bener cocok dan bisa nyurus ibu di kemudian hari." "Ibu nggak perlu diurus, ibu bisa urus diri sendiri, lagian ada ayah yang selalu siap ngurus ibu." Ada jeda di sana, Kasa tahu ibunya akan berkotabah panjang, maka yang Kasa lakukan adalah beranjak turun untuk segera pulang untuk menemui sang ibu dan beristirahat untuk hari ini. Semoga saja dia bisa beristirahat dengan tenang malam ini. "Yang Ibu butuh sekarang itu Cucu. Ibu mau cucu, banyak loh temen-temen ibu yang seumuran sama ibu udah gendong cucu dan bawa mantu tiap ke arisan. Terus ibu kapan coba? Ibu tuh pengen bisa pamerin cucu imut ibu ke mereka bukan cuma jadi penonton aja!" Ada dengusan kecil di sebrang sana membuat senyum kasa terangkat perlahan, kebiasaan sang ibu adalah saat berkata dia sering lupa menarik napas, dan berakhir dengan terengah di akhir kalimat. "Punya anak satu cowok tapi nggak pernah bawain ibu calon mantu!" "Iya Bu, iya. Insyaallah, secepatnya Kasa bawa calon buat ibu." Jawab kasa sedikit memelankan suaranya saat kakinya sudah menyusuri koridor kantornya dan menemukan beberapa karyawan yang masih sibuk mengerjakan tugas mereka. "Tapi nggak secepat bawa baju yang ibu laundry di depan gang!" Potong Kasa setelahnya. "Kenapa bawa-bawa laundry ibu, sih! ini kita masih ngomongin mantu buat kamu, kasa!" Kasa terkekeh mendengar nada frustasi dari sang ibu, mungkin dirinya akan berdosa karena membuat sang ibu seperti sekarang ini. "Apa perlu ibu Carikan jodoh buat kamu, Hem!" "No!" Teriak kasa di halaman lobi, pekikan yang membuat beberapa pasang mata tertuju kepadanya, jujur Kasa malu, dengan segera ia langsung masuk kedalam mobil yang sudah di persiapkan di depan lobi. "Ibu buat aku malu!" Sungut Kasa saat ia sudah duduk di kursi belakang. "Kasa pulang, masakan makanan kesukaan Kasa. Anakmu lapar." "Makanya cari istri biar ada yang masakin!" Dengus Hanum ibu dari angkasa, membuat pria itu terkekeh pelan, berbicara dengan seorang Hanum tidak pernah jauh dari permasalahan istri dan menikah, sedangkan Kasa belum sekalipun ada pikiran untuk menikah saat ini. "Iya Bu iya, nanti kasa segera cari istri biar ibu puas!" "Nah bagus! Segera bawa calon istrimu kerumah!" Sentak Hanum di ikuti panggilan telpon yang di tutup secara sepihak, Kasa merebahkan tubuhnya, mencoba memejamkan mata sejenak saat pak Anton, sopir pribadinya menjalankan kendaraan dengan tenang, "kita langsung kerumah ibu saja pak." Ucap Kasa masih dengan mata terpejam. °°°jingga di angkasa.... "Kamu selalu saja lahap tiap kali makan dengan lauk udang asam manis!" Suara itu menghentikan kegiatan seorang Angkasa yang tengah sibuk dengan makanannya, dia mengangkat wajahnya, menatap sang ibu yang tengah menikmati beberapa potongan buah di hadapannya, sedangkan di samping kanannya sang ayah tengah asih dengan koran dan secangkir kopi hitam favoritnya, buatan sang ibu yang juga menjadi favorit dirinya. Bagi kasa sesuatu yang di buat ibunya selalu saja nikmat dan tidak bisa di bandingkan dengan makanan mahal sekalipun. "Cari istri biar ibu ajari masak udang asam manis kesukaan mu, supaya ibu tidak repot lagi memasakkan makanan kesukaanmu ini, terlebih sekarang sudah jam berapa. Kamu tidak memikirkan kesehatanmu dengan makanan di jam seperti sekarang?" Kasa menghela napas pelan, dia enggan menjawab perkataan sang ibu. Lebih baik menikmati makanan yang ada di hadapannya kini, perutnya sudah terasa keroncongan tiap kali melihat masakan Hanum, tak peduli dengan waktu, intinya dia kenyang. "Papa, liat geh, tiap mama ngomong selalu di acuhkan sana anakmu ini, mama tuh kesel, pah. pengen kayak ibu-ibu di luaran sana yang bisa menimang cucu kandungnya, mengajak menantunya shoping, mengajari masak dan lain-lain lagi, mamah tuh pengen kayak mereka!" Kasa menghentikan kegiatannya. Dia berharap cemas jika papanya akan membelanya kali ini seperti sebelum-sebelumnya. Semoga saja. Pergerakan dari sang papa dengan melipat Korang dan meletakan di samping kanan, lalu meraih secangkir kopi dan menyeruputnya pelan, semua itu tak lepas dari perhatian Kasa. Dia benar-benar berharap kali ini, di hari sebelumnya mungkin saja Kasa bisa lolos, tapi untuk sekarang. "Kasa..." Suara berat khas Jadra seketika membuat Kasa menghentikan kegiatan makannya, dia meletakan sendok dengan pelan lalu menoleh kearah sang papa, menunggu dengan tenang apa yang akan di ucapkan sang papa. "Sekali-kali dengarkan kata ibu kamu, kamu bukan anak kecil lagi, usiamu bahkan sudah sangat siap untuk membina rumah tangga." Acap Jadra dengan tatapan tertuju pada Kasa membuat pria itu tertunduk. Mungkin memang sudah saatnya dia mencari seorang pendamping untuk dirinya. Tapi semua jelas tidak mudah, butuh waktu untuk benar-benar bisa mendapatkan wanita yang bukan hanya memandang kekayaannya. Dia bisa saja menunjuk beberapa wanita untuk di persunting olehnya, tapi sekali lagi apa mereka juga siap dengan segala sesuatunya, mencintai dirinya bukan hanya karena materi. Kasa tidak ingin rumah tangganya hancur di pertengahan jalan, dia ingin langgeng sama seperti hubungan kedua orang tuanya. Dia tak ingin menjadikan ikatan pernikahan sebagai sebuah permainan, mengadu masib misalnya. Kasa ingin wanita yang benar-benar tulus kepadanya, buka hanya memandang harta yang dia miliki. "Papa tidak memaksa kamu untuk segera menikah, tapi tidak ada salahnya kamu mencari pendamping dari sekarang, perk Balkan pada kami yang memang selalu menunggu waktu itu. Papa selama ini diam bukan berarti papa tidak peduli, tapi papa ingin kamu sadar, kami sudah semakin tua, papa dan mamamu juga ingin segera memiliki cucu." Kasa menunduk, dia tidak tau lagi harus berkata apa, dia terlalu nyaman dengan kesendiriannya dan tidak terlalu berpikir untuk segera menikah, menjalani hubungan dengan wanita saja bisa di hitung dengan jari, Kasa tergolong orang yang sulit untuk berurusan dengan wanita, tidak seperti teman-temannya yang selalu berganti pasangan tiap bulannya, dia hanya ingin fokus dengan pekerjaan dan perusahaan. "Mungkin papa akan meliburkan kamu untuk beberapa saat jika sampai lima bulan kedepan kamu tidak juga membawa pasangan ke rumah. Biarkan pekerjaan di urus teman papa dan kamu fokus mencari calon mantu untuk papamu ini!" Kasa mendengus, jika papanya sudah berkata demikian maka tidak ada lagi sebuah bantahan yang akan di terima dari dirinya. Yang kasa lakukan hanyalah mengangguk, dia tidak tau harus bagaimana kedepannya, hanya dalam waktu lima bulan, dimana dia bisa menemukan seorang istri di waktu sesingkat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD