A Tiny Hidden Star

4536 Words
Pernahkah ketika kamu membaca sesuatu hingga berjam-jam lamanya, kemudian kamu bertanya ‘Kenapa aku baca ini?’ tetapi jauh di dalam hati kamu menyukainya. Dan, keesokan hari akan tetap kamu mencari dan menelan semua tentang gambar dan bacaan itu semata-mata karena sangat menyenangkan, bahkan menenangkan. Kenapa aku baca itu semalam?, sebuah gejolak batin tak berujung Bhanu di pagi hari saat Bhina, sang kakak, mengantarkannya di hari pertama Masa Orientasi Sekolah. Bhanu menyadari, bahwa selamanya orang akan menganggapnya berbeda sebabnya dia terus menerus sembunyi. Namun, hal yang paling tidak dia suka adalah bila dia keluar menunjukkan dirinya, orang bisa memandangnya semakin berbeda. Kenapa yang semalam itu bacaannya menarik banget, batinnya lagi sambil mengetuk-ngetuk jendela mobil, matanya menerawang ke kanopi pohon-pohon yang memanyungi sebagian jalanan. Kenapa ada orang yang berpikiran seperti itu?, pikirannya lagi-lagi berkecamuk teringat akan bagaimana penyihir itu begitu nyata, siklus bulan dan bintang, seorang starseed, crystal, ritual dan pemujaan. Susah payah dia membaca artikel-artikel itu dengan memindahkan tulisan lebih dulu ke Microsoft Word-setelah ia terjemahkan dulu sebelumnya- kemudian menggunakan font 20 pt supaya lebih mudah membaca, tak lupa dia tambahkan juga spasinya. Supaya lebih mudah membaca. Mata minus? Oh, bukan. Dia disleksia. Sulit baginya jika harus membaca tulisan kecil, rapat, dan banyak. Tulisan itu seperti semut yang tadinya bergerombol kemudian berhamburan berantakan kemana-mana. Tidak ingin diam dan sungguh itu sangat menghilangkan fokusnya. Namun, Bhanu tetap membaca. Menurutnya, sesuatu yang aneh dan asing itu menarik, Bhanu dengan prinsipnya yang berani sakit untuk hal yang bisa memenuhi dahaga kekepoannya tentang mengapa dunia bisa berjalan secara beragam dan dinamis. Begitu dinamis hingga orang-orang kerap menghardik hal-hal yang berbau klenik ini sebagai kaum musryik, di agamanya. Dia mengembuskan napas gusar dan mengetuk jendela kaca semakin cepat. Melamun, pikirannya tiba-tiba pergi dan berisikan tentang kenapa orang begitu mudah mengatakan hal buruk? Bagaimana jika … “Nu, kamu yakin mau sekolah aja? Bukannya homeschooling?” Bhina yang terganggu dengan suara ketukan yang Bhanu buat itu memulai pembicaraan. Sang adik, benar-benar yakin dengan keputusannya? “Iyalah. Emangnya mau bacain buku buat aku terus?” Bhina bergidik, “Enggak sih.” Katanya. “Dikira nggak sibuk nugas kuliah kali.” Bhanu membuang mukanya, sudah memang akan seperti itu. Belajarnya minta dibacakan. Jika bukan oleh guru les privat, pasti minta tolong ke Bhina. Kelakuan Bhanu sedari kecil yang tiba-tiba masuk kamar, mengeluh pusing dan lelah membaca tapi masih tertarik dengan isinya. Dia akan mendobrak pintu kamar Bhina, mengganggu sang kakak sampai ngesot-ngesot minta dibacakan buku-buku milik orang tua mereka seperti buku-buku filsafat, buku teori sains yang jelas bukan hidangan enak untuk anak kecil berumur 10 tahun pada saat itu. Bhina sampai sekarang heran dengan Bhanu, kenapa sih buang-buang waktu tertarik sama yang begituan ketimbang belajar baca sama nulis aja yang bener?, batin Bhina dari dulu sampai detik ini. Mau terapi baca dan nulis dari mau lulus SD sampai sekarang, kelemahan Bhanu itu ya di situ. “Aku percaya ada orang baik di luar sana.” “Bilang sama kakak, kalo kamu dibully lagi di sana.” Tegas Bhina. “Tenang aja, 2 tahun ini kan aku udah nggak dibully.” Jawab Bhanu mengedip-ngedip matanya, karena cahaya yang masuk terlalu banyak. “Kita baru di sini. Jadi, nggak ada yang kenal aku dong. Haha!” sahutnya tengil, menari-nari dengan menggoyangkan p****t yang masih menempel di tempat duduk. “Don’t worry, besok aku nambah jam terapi nulis sama baca.” Bohong, itu omong kosong. Paling-paling dia nambah durasi nonton NatGeo ketimbang belajar baca dan tulis. “Tapi kamu sambat migraine terus akhir-akhir ini.” “Iya sih, Jakarta panas banget. Enakan Bandung.” Sahutnya tanpa jeda. “Lagian AC baru diinstal kok bisa tiba-tiba nggak kena, lho?!” Bhina mendengus, “Sabar, mungkin hari ini teknisinya dateng.” Raut muka Bhanu berubah malas dan merengut, “Dari kemarin juga bilangnya besok dateng, besok dateng, besok dateng… pret!” omelnya. “Antri, Nu. Dikata customer kita doang.” Bhina ketawa saat Bhanu mulai memainkan anjing pajangan mobil dengan usilnya. “Di sekolah ikutan ekskul nggak?” “Nggak tau.” Bhanu acuh. “Enaknya ikut apa?” Kakaknya itu menyetir sambil mengerutkan bibirnya, gesture Bhina jika sedang berpikir. “Rohis aja. Biar rajin baca huruf arab.” Baakk… Suara kepala Bhanu saat mendarat dengan kerasnya di jok mobil. Mulutnya menganga, matanya membulat, wajahnya mendadak horor. Lidahnya ikut keluar seolah ia merasa akan mati setelah ini jika harus belajar membaca. Untuk mengenali huruf abjad saja dia masih kewalahan, harus dengan font agak besar. Apalagi, huruf arab. Eh, eh dosa nggak sih kalo mikir begini, gejolak batinnya lagi-lagi mendominasi. “Biar kamu bisa baca juga, nggak mendengarkan terus copy pelafalan orang.” Bhina sangat mengerti apa yang dirisaukan Bhanu itu. “Toh kalo ngaji dulu pas hafalan doa juga dituntun ustad, kan? Apa salahnya sih kalo mau dituntun, kak. Pusing tau.” Timpalnya lalu memundurkan punggung jok dan memejamkan mata, entah mengapa perjalanan menuju sekolah itu terasa sangat lama. Memang jauh atau Bhina yang menyetirnya benar-benar lelet? Sudah 11 12 sama persis dengan kura-kura. Bhanu sebal dan bosan. “Lagian, kenapa orang nggak bisa baca huruf hijaiyah dijadikan patokan keimanan dan ketaatan? Bukan memahami artinya sungguh-sungguh? Those people act like they are sinless, justify me as a foolish and a sinner because I cant read well and fluently like them. But genius when I’m talking and having a thought higher than theirs. Too genius until they call me a weirdo. Society so suck!” Pagi-pagi sudah garam. Bhina menebar garam. Bhanu yang keasinan. “Oh, I still remember how they were mocking at me because I cant NGAJI. I hope never find it here, my new school and our new home.” Omelannya sangat panjang dan cepat, hampir seperti rapper professional hingga Bhina melongo mendengarnya. Kalau cuma ngomong di depan Bhina, Bhanu bisa sefrontal itu. Kalau dengan teman sebayanya? Hm… Mungkin dia akan kembali dijauhi, seperti yang sudah-sudah. “Nu, bahasa inggris kamu makin lancar ya. Thank me later.” Menepuk d**a Bhanu sampai ia kesakitan. “Badak, sakit tau!” yang dihina cengengesan. “Belajar hampir mau mati rasanya. Untung UN lulus kemarin.” Sarkas untuk dirinya sendiri. “Jadi, progress terapi bertahun-tahun tuh apa dong?” cibir Bhina menagih latihan Bhanu selama ini. Sang adik malah tersenyum manis. “Kamu tuh males kalo disuruh baca sama nulis! Itu kan buat kamu sendiri!” kata kakak yang lebih tua 5 tahun itu. Bhanu membungkuk dan merekatkan 2 telapak tangannya. “Terima kasih untuk ceramah pagi, Kak Bhina Anugrah Sambada. Saya berangkat sekolah dulu yaa…” katanya tepat ketika mobil mereka berhenti di depan gerbang SMA Brawijaya. Lalu membuka tangan seperti mengemis uang. “Mama belom ngasih duit?” katanya menatap ngeri, mahasiswa dipalak duit jajan anak sekolahan. Mana lagi, Bhina juga masih memikirkan beli buku ini dan itu. Bhanu menggeleng, memalak sang kakak dengan tatapan mata gemas. “Ngibulin kakak, awas ya! Ini duit bulanan buat beli buku, anying!” “Ya elah, 10 rebu doang!” “Pala lo 10 rebu doang, 10 rebu bisa buat 5 kali parkir di indomaret kalo pakai motor!” “PERHITUNGAN AMAT SIH! 10 rebu!” masih keukeuh minta uang. Bhina mengalah. Ia membuka dompet dan memberikan 1 lembar 20 ribu setelah menggerutu tidak menemukan uang 10 ribu di sana. Udahlah, ikhlasin aja, batinnya. Bhanu senang sampai gelinjangan, bahkan cekikikan saat menerima uang. Melipat lalu memasukkan ke saku. Tanpa disangka-sangka. Bhina menarik kerah Bhanu lalu menengok ke dalam saku. Ada 1 lembar uang 50 ribu di sana. Bhanu nyengir lebar. Ketahuan deh… Seperti tikus kecepit, Bhanu ketawa polos dan berusaha melepaskan diri dari jeratan tangan Bhina sampai kepalanya kepentok pintu mobil. Asal bisa lolos, sakit pun tak dirasakannya. “Bhanu, kurang ajar lo, BUANGSAAAAAT!” Bhina teriak kesal.                                                                                              … Masa Orientasi, Bhanu bersyukur bahwa dia punya Mama, Papa, dan Bhina yang selalu menjaganya kapanpun. Tidak ada drama barang ketinggalan, salah atribut, tugas yang terlupakan-meskipun tulisannya dihina kayak ceker ayam karena hancur, susah dibaca, tapi yang penting tetap mengumpulkan ketimbang dihukum- pokoknya aman, damai, dan sentosa. Itu semua berkat keluarga, I love you mama, papa, dan si Bhinal, hahaha, dalam hatinya. Dia sadar kalau bukan karena mereka, sudah pasti dia ke sekolah cuma bawa badan dan bakal jadi bulan-bulanan kakak-kakak kelas. Duduk bersila dikelilingi orang-orang baru. Beberapa seperti sudah saling mengenal dari lama, teman lama. Terlihat akrab bercengkrama menghabiskan jam istirahat dan menunggu intruksi dan materi berikutnya. Beberapa mengajak Bhanu berkenalan, masih kelompok satu gugusnya. Pembicaraannya? Seperti biasa, basa-basi dulu. Namanya siapa, asal sekolah mana, rumahnya di mana, standar untuk Bhanu. Dia jawab sesantainya, ikut turut ke dalam topik pembicaraan lain seputar sekolah, ekskul, terus merembet ke kakak tingkat. Ketika di dalam kelompok itu mengatakan ‘Lo tau Kak Clarissa itu, dia kakel gue pas SMP’, nah barulah Bhanu diam mendengarkan saja. Siapa sih?, batinnya sambil tersenyum manis ketika semua orang dengan raut kagum mendengar cerita siswa yang kenal dengan Clarissa, Clarissa ini. Pura-pura paham, pura-pura tertarik, pura-pura aja. Biar masih dianggap di dalam kelompok ini. Sesekali melempari hal-hal receh seperti ‘Udah ada cowok? Nanti bisa dihajar kalo ketahuan cowoknya.’ Padahal Bhanu sama sekali tidak tertarik. Si Clarissa-Clarissa yang dibicarakan ini ternyata Sekretaris OSIS yang sangat cantik. Wajar jadi omongan. Cewek cantik, cowok ganteng, cewek cupu, cowok aneh, itu adalah hal paling enak untuk dibicarakan. Si anak kelas atas dan kelas bawah dalam strata anak sekolahan. Bhanu masih mengangguk-angguk saja ketika teman-temannya satu persatu mengeluarkan segala informasi tentang cewek-cewek yang sedang mereka coba untuk bidik. “Ah, itu tuh mantan temen gue. Cakep sih. Nanti gue kenalin deh.” Sahut salah satunya. “Lo target nggak, Nu?” tanya siswa bernama Januar. Masalahnya, tidak berurusan dengan cinta saja masalah hidup Bhanu itu sudah di depan mata yaitu sekolah, belajar, membaca, dan menulis. “Siapa ya?” “Alah, jangan-jangan lo naksir kakak OSISnya, ya? Makanya malu nih mau ngaku, haha!” ledek Rifki. Siapapun, tolongin aku dari manusia-manusia bau feromon yang ngira kalo nggak ada cewek hidupnya bakalan gelap gurita eh gulita, cicitnya dalam hati. Oke, simpan dan telan sendiri opini busuk nan hina ini. Saatnya menjadi Bhanu yang easy-going dan terlihat bau feromon juga. Ayo, mandi feromon, Bhanu!!!! “Belum ada sih, lagian baru hari pertama, kan. Masih ada besok-besok. Nentuin target nggak harus di hari ini, loh. Santai.” Semua lantas bersorak mendengar jawaban Bhanu yang begitu keren sampai mengundang u*****n yang lain karena saking kerennya. “Pelan-pelan dong nyari target, haha.” Katanya tapi dalam hati dia misuh-misuh jijik dengan dirinya sendiri. Target apanya? Targetnya sekarang itu adalah menulis esai yang ada di kepalanya sebanyak minimal 1 halaman saja sebagai terapi. Target cewek itu adalah target paling buang-buang waktu buat dia. Jauh dari lubuk hati Bhanu, dia juga punya gadis impian. Ceweknya yang pinter dan betah sama aneh-anehnya Bhanu. Nyambung kalau diajak ngobrolin dinosaurus, diajak ngobrolin manusia purba, sudut pandangnya yang tak biasa tapi cantik, dan satu lagi yang paliiiiiiing penting, mau disuruh membacakan buku untuk Bhanu dan mencari jawaban bersama jika dia punya pertanyaan aneh-aneh. Punya pacar jangan dirusak, jangan dirubah-rubah, jangan diatur-atur, tapi disayang dan dimanfaatkan dengan baik juga, prinsipnya. “Pada mau ikutan ekskul apa nih?” tanya Satya, si cowok tampan berkacamata yang duduk di sebelah Bhanu. “Gue kayaknya basket, gue masuk ke sini karna tim basketnya.” Jawab Januar. Sudah Bhanu duga, perawakannya yang tinggi bongsor dan telapak tangan besar itu terlihat seperti pemain basket. “Gue Olimpiade, ngelanjutin pas SMP aja.” Sahut Radit, cowok yang juga banyak bicara tapi tidak terlalu menanggapi bagian topik cewek-cewek tadi. “Fotografi di sini juga bagus, ada yang mau ikut gue nggak? Biar bareng pas ambil formulir.” Ajak Rifki. “Yuk sama gue aja, tapi kamera gue udah jadul banget sih.” Jawab Hanan. “Kamera jadul jadi bagus kalo lo skillfull. Chill, Nan.” Timpal Rifki. Bhanu masih diam. Bingung mau ikut ekskul apa. Lalu melamun. “Gue radio atau jurnalistik, kayaknya.” Tara tiba-tiba bersuara. “Gue futsal aja dah, paling enak sekalian buat hiburan.” Dimas menimpali. Bhanu hanya menghela napas dan berkedip-kedip. Kosong, dan tetap melamun. Ia membatin, Olahraga? Haha, didepak di minggu awal pasti. Gambar? Kayaknya nggak ada deh. Masa sih Ro- Pletak… Sebuah botol minuman tupperware menghantam keras kepala Bhanu dan mendarat tepat di tengah-tengah lingkaran cowok-cowok itu. Semuanya menatap Bhanu ngeri karena ia masih diam dan melamun dengan kepalanya yang miring untuk sepersekian detik. Dia berkedip saat melihat botol minuman itu memantul dan menegakkan punggung, membalas semua orang yang menatapnya dengan mata bulat sempurna. Dia memegang kepalanya yang agak terasa sakit dan melihat ke belakang. “Sorry…Sorry…Sorry, lo nggak apa-apa?” Seorang cewek menghampirinya dengan panik. Ah, sial. Ini alasannya nggak mau ikutan ekskul olahraga, batinnya. “Oh iya, nggak apa-apa kok. Santai aja.” Katanya ke cewek itu. “Tadi kena kayaknya kenceng banget, maaf ya temen gue pada iseng.” Sahutnya sampai memeriksa keadaan Bhanu. Si korban masih plonga-plongo. Ia benar-benar tidak apa-apa saat ini. Namun, gadis itu makin lebay. “Gue nggak apa-apa, kok. Nggak marah juga. It’s ok.” Tak lupa mengacungkan jempolnya, supaya menghentikan gelagat kekhawatiran cewek seangkatannya itu. Mukanya memelas, “Beneran? Gue minta maaf ya?” Bhanu hanya mengangguk dan setelahnya gadis itu berlalu. “Reflek lo jelek amat, Nu.” Ujar Januar. “Botol tupperware tuh tebel tau!” Bhanu tersenyum kikuk, bingung menjelaskannya. “Sejelek-jeleknya reflek, kalo stimulusnya benda sekeras itu dan apalagi bagian kepala yang juga sensitif, lo harusnya otomatis pegang kepala dan balik badan, dong.” Jelas Radit. Ugh, I hate this, keluhnya dalam hati namun senyumnya mengembang dengan lebar. “Reflek gue emang jelek, haha. Tapi, nggak apa-apa kok.” Bhanu terusik ketika orang-orang bertanya-tanya tentang dirinya. Meskipun kemampuan refleknya itu sejauh ini sudah lebih baik seiring bertambahnya usia. Tapi tetap saja, masih agak lambat. Seperti tadi pagi yang kepalanya kepentok pintu mobil tetapi dia terus berlari terbirit-b***t supaya tidak dikejar Bhina. Dan, satunya itu adalah ketimpuk botol. Dulu, lebih parah. Bhanu sering tersandung ketika berjalan, sewaktu berkemah pun dia sering terjungkal saat pendakian -itu sebabnya kegiatan pramuka dan olahraga permainan itu diblacklist oleh dirinya sendiri, demi keselamatannya, cowok itu belum mau mati muda gara-gara jatuh masuk ke jurang atau gegar otak gara-gara tersungkur di lapangan, selama ada senjata alasan sakit, acara keluarga, dan kendala ijin itu masih aman terkendali- sekadar terbentur itu masih jauh lebih baik daripada terjungkal. Bukan hanya sakit, tapi juga malu mendarah daging, dikenang sepanjang masa, jadi bulan-bulanan seangkatan. Semua tertawa ketika Bhanu terjungkal, ia juga ikut tertawa karena tertular suara tawa yang lain, meskipun tetap merasa kecil setelahnya. Orang mengira Bhanu itu ceroboh dan bodoh, padahal itu penderitaan Bhanu. I hate my life, keluh Bhanu ketika teringat masa-masa itu. Bukan sedih, hanya geli. Hidupnya terasa menggelikan.                                                                                                … Masa Orientasi hari pertama sudah dilewati dengan penuh kedamaian. Hampir tertangkap gara-gara masalah refleknya waktu itu, tetapi hari ini semoga tidak ada apapun hal buruk yang terjadi. Masih aman dengan atribut lengkap dan barang bawaan lengkap. Lagi-lagi Bhanu tersenyum sambil berterima kasih kepada Mama, Papa, dan Bhina yang cerewet dari A sampai Z, sekadar mengingatkan daripada kena hukuman. Di hari kedua itu agak membosankan, tugasnya adalah mengejar kakak-kakak kelas agar mau membubuhkan tanda tangan di kertas milik siswa-siswi baru. Kalau saja tidak ada Januar dan kawan-kawannya kemarin bisa dipastikan kertas itu akan bersih. Entahlah, Bhanu jadi penasaran. Apa maksud tugas-tugas itu? Mengemis dan menunjukkan sisi superioritas penuh kuasa menyuruh yang lebih muda melakukan hal-hal konyol sampai membuat permainan yang menyebalkan. Ah, memang sebuah permainan itu pasti menyenangkan. Tidak ada permainan yang tidak menyenangkan, meskipun objek mainannya adalah manusia. Logika yang ironis, batinnya masih mengikuti intruksi usil kakak kelasnya itu. Sial, kalo bukan diajakin anak-anak, aku mana mau disuruh gini, padahal duduk di bawah pohon mangga lebih enak, gerutunya dalam hati. Hampir saja ia kembali melamun tetapi teguran kakak kelas itu begitu menyakiti telinganya. Setelah lelah mengejar-ngejar kakak kelas dari pagi sampai siang, akhirnya waktu istirahat tiba. Semuanya istirahat dan yang islam diperkenankan untuk segera beribadah agar tidak mengulur waktu kegiatan selanjutnya. Bhanu shalat bersama yang lain. Kebetulan teman-temannya yang bergerombol dengannya sejak kemarin itu islam semua. Tak disangka-sangka ternyata mereka semua sangat taat. Bukannya kembali ke kelas, mereka semua masih berdiam diri di masjid dan menyempatkan untuk membaca Al Qur’an sejenak. Bhanu terenyak. Kikuk dan tidak tahu harus berbuat apa. Otaknya menyuruh untuk berdiri dan menunggu di luar namun dicegah oleh Radit yang memberi tatapan seperti ‘lo nggak ngaji juga sekalian?’ Kalau saja habis ini pulang, Bhanu masih mau untuk mengaji sejenak. Tapi, tidak ada salahnya. Pusing ketika melihat dan membaca huruf hijaiyah tersambung dengan beban 1 kegiatan lagi, sepertinya dia masih bisa menahan rasa pusingnya nanti. Oke, Bhanu, baca saja seperti biasa di rumah, di sini agak ramai, semoga nggak ada yang dengar suaraku, katanya memotivasi diri untuk berani. Bhanu mengambil kitab dan mulai membacanya. Perlahan namun pasti. Matanya berusaha fokus ketika huruf hijaiyah yang tersambung dan ukuran agak kecil itu meliuk-liuk seperti ular. Bhanu sesekali menarik napasnya dan mendekatkan kitab sampai menutupi wajahnya saking ingin fokusnya ia membaca. Ia bertahan membaca hingga 15 ayat panjang dengan ratusan kedipan mata agar semua huruf itu bisa ditangkap, dibaca dengan suaranya yang tidak selantang teman-temannya. Tak lama kemudian dia menyudahi kegiatannya. Dan, matanya terasa berkunang-kunang ketika melihat orang-orang dihadapannya masih asyik membaca Al Qur’an. Kadangkala ia merasa bersyukur, tidak mendapat tatapan aneh atau komentar dengan caranya membaca kitab. “Nu, lo bacanya kurang lancar ya?” Ya Allah, mau mati sekarang boleh nggak?, batin Bhanu yang ‘kepergok’ menatap Satya yang tepat di sebelahnya dengan kaku. Eh, jangan ya Allah, nggak jadi, aku masih mau kasih mama berlian segede ginjal, tambahnya memohon ampunan karena kata-katanya yang celometan itu. “Hah?” dari banyak kosa kata yang dia tampung dan tabung sejauh ini malah yang keluar adalah ucapan yang biasanya dibuat membangunkan kelomang yang dijual abang-abang di pinggiran pagar Sekolah Dasar. Satya berdecak, “Nggak apa-apa, lo mending ikut rohis aja. Kan, lumayan tuh bisa ngaji bareng nanti. Biar makin lancar.” Cowok itu tersenyum, tulus. “Semangat terus belajar ngajinya nanti.” Alis Bhanu terangkat sebelah. Dia mendapat support dari orang lain yang sama sekali tidak tahu jika dia disleksia. Rasanya aneh tetapi hangat. Dan, sepertinya cuma Satya yang mengetahui ini. “Sat, emang Rohis di sini ngadain belajar ngaji juga?” Dia bergidik, “Nggak tau, tapi kalo lo gabung sama mereka siapa tahu lo jadi terbiasa aja bacanya. Dan, makin lancar.” Bhanu mengusap dagu, termenung. Masalahnya bukan biar lancar nggak lancar, tapi betah atau tidaknya. Kalau dia mengutarakan bahwa betapa pusingnya dan perasaan ingin lari jika harus membaca huruf hijaiyah di tengah kerumunan, orang akan menganggap Bhanu itu turunan setan yang anti dengan kitab. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia lebih tidak mau jika disleksianya itu diketahui banyak orang. Kelemahan, yang sering kali menjadi bahan olok-olok karena dia terbata-bata sampai salah mengeja ketika membaca lantang pelajaran bahasa Indonesia, salah menyebut nama latin saat pelajaran biologi karena sangat-sangat asing. Berapa kali Bhina menyarankan kepada orang tuanya agar Bhanu itu homeschooling saja sejak SMP, namun adiknya itu keras kepala. Bhanu akan selalu menjawab bahwa dia tidak akan apa-apa, dia bisa belajar normal sama seperti yang lain, dia akan lebih rajin agar bisa naik kelas meskipun nilainya sangat mepet dengan standar lulus. Meskipun menyendiri itu hal paling menyenangkan untuknya, namun menyendiri sambil melihat orang-orang bergerak di sekitarnya sudah membuatnya terasa hidup. Ia bersekolah karena ingin melihat bagaimana kehidupan orang lain bergerak dan dirinya sebagai pengintai, perekam, bahkan pengamat mereka. Belajar hidup dari kehidupan orang lain. Kalau homeschooling, Bhanu takut jika dia akan melewatkan pengalaman itu. “Lo nggak mau gabung juga?” Bhanu mencari teman. “Temen gue ada kok yang mau gabung Rohis, nanti gue kenalin. Tenang aja.” Ia menepuk bahu lebar Bhanu. Dan, dari senyum Satya yang merekah bahkan tak mampu menyingkirkan perasaan skeptis Bhanu. Gimana kalo yang baik Satya aja, temannya enggak? Yah, diledekin lagi dong nanti, lagi-lagi mengeluh dalam hati. “Lo jarang ngaji ya?” telisik cowok itu, Bhanu berusaha untuk santai. “Enggak kok.” “Kok bisa nggak lancar? Lo udah khatam belum?” Bhanu melempar senyum manis dan lebar, tertawa sumbang dan mengangguk-angguk, Satya ikut mengangguk-angguk dan tersenyum meskipun tak paham. Anggukan yang bukan untuk mengiyakan pertanyaan Satya, tapi memahami betapa ironi pertanyaan orang-orang yang selalu dilempar untuk Bhanu. Jangankan khatam, hafal huruf dan membunyikan dengan benar saja sudah untung. Masih bersyukur sewaktu menulis huruf alphabet tidak salah tulis bebek jadi dedek atau mawas jadi wamas dan serangkaian drama salah eja lainnya. “Oh, belom, ya?” Satya mengambil kesimpulan. “Nggak apa-apa, baca tulis huruf arab itu menyenangkan, kok. Terlebih lagi lo dapet pahala, lebih dekat sama Allah sambil mendalami ilmu agama biar iman lebih tebel, Nu.” Bhanu tersenyum lebar sambil manggut-manggut. “Hehe, menyenangkan, ya? Hehe.” Tawanya kikuk, Satya turut senang mendengar Bhanu seperti itu karena dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mau pulang sekarang, pulang ke rumah, gerutunya, merengut saat dia beranjak pamit pergi lebih dulu. Bhanu berjalan sendiri menuju ruang kelas gugus kelompoknya. Sebelum masuk, dia sempatkan untuk melihat dan menerawang jauh di halaman sekolah. Dan, duduk di sebelah pot tanaman kecil yang diletakkan di sepanjang koridor kelas. Matanya perlu direhatkan dan kembali melamun. Dalam diamnya dia bertanya-tanya, kenapa dia merasa berdosa karena ketidakmampuannya itu? Siapa atau apa yang membuatnya merasa seperti ini? Dirinya sendiri yang tidak bersyukur atau orang-orang yang memegang hukum dan nilai agama hingga membuatnya semakin kecil? Semakin hari semakin merasa kecil. Meringkuk di sudut gelap, paling gelap, saat sayup-sayup suara orang yang mengingatkannya pada hal yang sudah sangat ia tahu di sepanjang hidupnya. “Heh, lo gundulin taneman bisa kena guru BP!” tegur seseorang. Lantas membuat Bhanu kembali ke realita bahwa tanaman di sebelahnya itu sudah hampir gundul karena tangannya yang usil tanpa sadar selama dia melamun. Bhanu panik, mengumpat dalam hati, “Maaf, kak, maaf.” Ia mengakui kesalahannya lalu melipir masuk ke dalam kelas. “Sial, baru 2 hari sekolah, loh.” Gerutunya perlahan masih memegang bunga kamboja berwarna merah jambu itu. Dia menengok kemana pergi kakak kelas itu sembari memainkan bunga dengan menggulung di antara kedua telapak tangannya, mencium-cium untuk mengetahui wanginya namun tak ada sedikitpun bau yang bisa dia tangkap, dan akhirnya dia meremas lalu membuangnya asal. “Bhanu, mau brownis nggak?” kata salah satu cewek yang sedang bergerombol. Menikmati waktu istirahat dengan bergosip manja. Tanpa malu-malu, Bhanu mengambil brownis dan ikut nimbrung mengobrol. “Wah, brownis. Makasih ya.” Sahutnya. “Bhanu pindahan dari Bandung ya?” kata Laras. “Nggak ada temen sama sekali dong di sini.” Bhanu manggut-manggut dan duduk di samping Dena. “Tapi banyak temen baru habis ini.” Ajeng tertawa. “Iya bener, tapi nggak kangen sama temen-temen lo di sana?” Bhanu tertawa geli, sepanjang hidupnya itu merindukan teman adalah hal yang tidak pernah dirasakannya. Mereka hanya teman, teman biasa, yang sekadar mengatakan halo dan dadah ketika Bhanu melalui mereka. “Biasa aja sih,” jawabnya. “Eh ini brownis dark chocolate, ya? Pahit banget.” Komentarnya sambil mengernyit, “Tapi, enak kok. Gue suka.” Dia terkekeh manis. Kok makin pahit ya? Dark chocolate emang sepahit ini?, batinnya. “Minum dulu, Nu, biar nggak seret.” Tawar Laras menyodorkan minuman karena sadar Bhanu sudah memercingkan mukanya. Cowok itu meneguk sampai habis dan berlari mengambil minumannya sendiri. Sial, kok masih pahit sih!, umpatnya. “Bhanu,” panggil Satya, “Kenapa lo?” Muka Bhanu saat ini sudah kusut dan tangannya sibuk mengelap mulutnya sendiri. Pahitnya malah semakin terasa kencang di lidah. “Apaan?” “Gue tadi ketemu sama temen, gue cerita lo ke dia. Katanya lo disuruh dateng aja besok mumpung mereka ada kegiatan ngaji bareng sama guru Pembina Rohisnya. Mereka welcome, kok. Santai aja.” Bhanu lemas, “Apa?” “Lo udah terdaftar di sana. So, kesana aja besok. Semangat, Nu.” Tambah Satya. Bibir Bhanu membulat, matanya kosong menatap Satya yang nampak ceria seolah dia sudah menuntun dan membuka jalan hidayah paling benar untuk Bhanu. “E… Oh… yaa makasih ya, Sat. Haha.” Tawanya kikuk. Hidup emang sepahit ini?, gerutunya dan masih terus menerus mengelap bibirnya yang SEMAKIN pahit.                                                                                              … Sepulang kegiatan Masa Orientasi hari terakhir, Bhanu merasa bahwa dirinya dilabrak oleh beberapa anak-anak Rohis yang dengan baik hati-tentunya-mengajak Bhanu untuk pergi ke Masjid bersama. Ini semua gara-gara Satya. Niatnya baik, tapi malah jadi jebakan untuk Bhanu. Inner conflict. Pufff…. Bhanu versi peri kecil bersayap dan berjubah putih itu muncul dan menatapnya. “Ngapain bengong? Masuk aja! Lumayan kan, kita bisa belajar baca. Kalo lancar nanti bisa sombong ke orang-orang. Biar nggak diolok-olokin!” Bhanu asli hanya mengangguk. Pufff…. Bhanu versi gelap dengan jubbah hitam muncul menghardik Bhanu versi bersayap. “Eh, manusia itu nggak ada yang bisa dipercaya. Satu atau dua dari mereka pasti ngetawain kita. Tau lah Bhanu itu payah!” Bhanu asli merengut. “Dasar perusak suasana, dunia ini penuh orang baik. Jangan kasih perngaruh buruk!” “Daripada lo, baik-baik mulu padahal di luar sono yang baik tuh bisa dihitung jari, dasar naif!” “Kalo kita baik, nanti narik orang baik juga!” “Halah, nemu 1 orang baik tapi kita bakal dijahati sama 20 orang dulu, CAPEK WOY! Mundur aja, Nu. Ngaji di rumah aja sama Mama, Papa, dan si Bhinal!” Bhanu mengangguk setuju, lalu berbalik. “Eh, lo nggak kasihan sama Satya? Dia tuh perhatian sama kita?” Bhanu kemudian berbalik menghadap ke masjid. “Ayolah, dia bahkan nggak tau kondisi yang sebenarnya! Balik, Nu. Daripada lo misuh-misuh sambat pusing. Spiritualitas seseorang nggak perlu ditunjukkan dengan seberapa religiusnya kita di mata yang lain!” “NGAWUR!!!! Salah lo, b**o! Ini tuh perlu. Biar dianggap anak baik.” “This is why I hate my life.” Bhanu menengahi perdebatan 2 mahluk imajiner di depannya. “I hate you, guys.” 2 Bhanu imajiner nampak acuh lalu menghilang dari hadapan Bhanu. Cowok itu mendesah keras dan mengambil langkah maju. Berharap tidak terjadi hal buruk setelahnya. Setengah jam pertama, masih aman. Semuanya berkenalan seperti biasa. Bersenda gurau, basa-basi, melempar lelucon. Bhanu masih menikmati itu. Cowok itu berkenalan dengan anak-anak yang lain, dengan kakak-kakak kelas tak luput dari jabatan tangannya. Ia bersikap biasa saja meskipun dalam hati sudah sangat gugup. Semua orang sampai mengomentari tangannya yang dingin saat berjabat tangan. Bahkan ketika semuanya memulai memanjatkan surat-surat secara bersama sebelum memulai pengajian itu, Bhanu masih baik-baik saja. Ini berkat guru ngaji dan Bhina dari dulu yang selalu sabar menuntunnya dalam mengucap dan menghapal dengan benar. Cowok itu masih menikmati, karena sudah mendengarkan bacaan surat-surat itu berkali-kali dan melatih pelafalannya sendiri dulu-meskipun sampai mau pingsan rasanya-. Dan, setelah itu ada sesi ceramah singkat lalu pulang. “Udahan nih? Begini doang?” gumamnya pelan tak didengar siapapun. Hari itu selesai sampai di situ. Tidak ada drama, Bhanu juga masih baik-baik saja. Ah, dateng terus saja, kayaknya biasa-biasa aja tuh, batinnya.                                                                       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD