Wangsit Bapak

1173 Words
Kepulangan Genta kali ini bersama Dayu, istrinya. Setelah dua tahun menikah dan belum memiliki keturunan, keduanya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman Genta di desa Bedono, Semarang. Sambutan keluarganya cukup hangat terutama buleknya, Trining. Ibunya sendiri lebih bersikap datar dan menghindari terlalu lama bicara dengan mereka. Dayu paham, pernikahannya dengan Genta sempat ditentang oleh ibunya, Padmi. Mertuanya tersebut terlihat tidak begitu menyukai Dayu sebagai calon menantu. Namun Dayu tidak keberatan dan berusaha untuk menarik simpati, walau ia tahu usahanya sia-sia. Entah apa yang mendasari sikap ibu Genta tersebut, tetapi Dayu memilih untuk tidak menyimpan dalam hati dan tidak ambil pusing. “Jadi kamu benaran pindah ke sini selamanya tho, Le?” tanya buleknya, Trining, dengan senyum sumringah. “Iya, Bulek. Aku kan wes ngasih kabar kalo sekarang dapat tugas di RSUD Ambarawa. Sekalian Dayu juga bisa lebih tenang merampungkan novelnya,” sahut Genta sambil menyeruput kopi tubruk hasil kebun sendiri. Trining tampak bahagia dan senang. “Nanti bulek panggilkan Mbah Puji, dukun beranak yang bisa benerin kandungannya Dayu,” janji Trining makin bersemangat. “Wah, Bulek! Mau banget aku,” sambut Dayu yang muncul dengan dahi berkeringat karena baru selesai membereskan bawaan mereka. “Sini … sini, Cah Ayu! Besok mungkin ndak bisa, karena Mbah Puji masih mantu. Yang penting kamu sekarang udah di sini, nanti bulek buatin jamu penyubur kandungan juga,” timpal Trining. Dayu mengangguk antusias. Trining mampu mengobati rasa rindunya pada seorang ibu yang sebetulnya Dayu harapkan dari Padmi, mertuanya. Dayu sendiri besar tanpa seorang ibu. Sejak kecil ia tumbuh hanya dengan ayah dan neneknya. Hingga saat ini, Dayu masih berharap mertuanya akan luluh. Ayah Genta telah meninggal enam tahun yang lalu. Saat Genta menempuh pendidikan kedokteran dengan mengambil spesialis pulmonogist atau paru-paru. Ia bertemu dengan Dayu ketika keduanya bertemu dalam suatu acara amal di kampus, tempat Genta kuliah. Dayu saat itu berprofesi sebagai wartawan lepas, kemudian memutuskan mundur dan memilih menjadi novelis sejak menikah. Karir keduanya menanjak dengan mudah. Karya Dayu bahkan mendapatkan penghargaan sebagai novel terlaris dua tahun belakangan. Namun sayangnya, keberhasilan mereka dalam hidup tidak seiring dengan harapan untuk segera menimang bayi. Kepulangan mereka bermaksud untuk menempuh cara tradisional demi mewujudkan keinginan memiliki keturunan. “Enak ya, di sini tenang dan udaranya dingin,” ucap Dayu sambil menatap sekeliling teras. Kabut tipis mulai turun. Harum bunga kopi tercium dengan aroma menyengat. Dayu merasakan damai. Rumah mertuanya bergaya joglo dengan material bangunan didominasi kayu. Kejayaan Cokro, ayah Genta, masih tampak dalam bentuk ukiran kayu tiap sudut dan kualitas tinggi mebel di rumah. “Ibu mau bicara!” ucap Padmi muncul tiba-tiba dari dalam rumah. Trining seketika menunduk. Dayu melihat bahwa Trining sangat takut dan sungkan pada Padmi, kakak iparnya. Trining sendiri tidak pernah menikah lagi sejak suaminya pergi entah ke mana. “Ya, Bu. Monggo. Sekalian kita ngobrol-ngobrol,” sambut Genta masih santai sembari mengambil jadah atau uli ketan goreng. Padmi melangkah dan turut duduk bersama mereka. Kursi teras yang berbentuk setengah bulat itu menyanggah dengan sempurna tubuh ibunya yang selalu memakai kebaya dan masih terlihat singset. “Ibu bukan mau ngobrol iseng yang ndak ada gunanya!” cetus Padmi sedikit sinis. Trining melirik diam-diam dan kembali menunduk. Dayu menghela napas dengan halus. Suasana mulai tidak menyenangkan. Genta menyadari perubahan tersebut. “Kamu tahu wangsit bapak, tho?” tanya Padmi tanpa menoleh sedikit pun pada Dayu. “Ayolah, Bu. Kita mau bahas tentang hal itu lagi?” balas Genta menunjukkan wajah malas. Dayu tahu yang dimaksud Padmi adalah pesan Cokro mengenai perjodohannya dengan Sayekti, putri dari Ki Sukmo. “Jangan lancang kamu, Gen! Ini sama saja kamu ndak menghormati bapakmu!” bentak Padmi mulai naik darah. Genta membuang muka dengan hati kecut. Ibunya paling pandai menyudutkan dan Genta bisa menduga intimidasi seperti apa yang Dayu terima selama ini. “Genta bukan bermaksud untuk tidak menghormati mendiang bapak, Bu. Tapi Dayu sudah menjadi pilihan Genta yang terakhir, seharusnya Ibu juga menghargai itu,” tukas pria tersebut dengan muram. “Ya! Tadinya ibu pikir pilihanmu bener! Tapi setelah tahu dia mandul, apa kamu masih ingin bertahan?” cecar ibunya tanpa perasaan. Genta merasakan wajahnya memanas sementara Dayu membeku dengan wajah tertunduk. “Ibu!” seru Genta tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. Padmi memalingkan wajah pada Dayu. “Kamu juga harusnya tahu diri! Kalo memang ndak bisa kasih keturunan, ya ijinkan suamimu menikah lagi!” kecam Padmi tanpa ampun. Dayu membiarkan matanya merebak. Trining tidak berani bergerak sedikit pun, tapi tatapan matanya menyiratkan dia sangat prihatin. “Cukup, Bu! Dayu tidak mandul dan tidak ada pernikahan lain!” bentak Genta mulai menunjukkan sikapnya. Padmi berpaling pada putranya kembali. “Kamu memang tidak bisa diandalkan, Genta! Anak ndak tahu diri!” pekik ibunya makin menjadi. Genta bangkit dan mengajak Dayu berlalu dari tempat tersebut. Wanita cantik yang terlihat lunglai itu, mengikuti tuntunan suaminya dengan langkah tertatih. Begitu tiba di kamar, Dayu rebah dan menangis sejadinya. Genta memeluk Dayu dengan penuh cinta. “Yu, jangan diambil hati ya?” pinta Genta lembut. Dayu tidak menjawab. Hanya isak tangis yang tertahan oleh bantal mengisi ruang kamar mereka. Genta menjadi bimbang. Apakah pilihannya pindah kembali ke rumah adalah bijak dan tepat? Dayu membutuhkan tempat yang jauh dari stress dan kampung halamannya adalah lokasi yang tepat. Tapi kini mereka justru menerima tekanan yang lain. “Mas,” panggil Dayu menyudahi tangisnya. “Ya, Dayu?” jawab Genta mulai lega. “Kenapa ibu begitu gigih meminta Mas Genta menikah lagi? Apakah karena wangsit bapak atau ada perjodohan yang memang sudah mereka sepakati? Mas Genta harus mencari tahu. Mungkin ibu menanggung malu juga,” ucap Dayu penuh pengertian. Genta menghela napas berat. “Bapak udah menjodohkan aku dengan Sayekti, putri Ki Sukmo. Tapi ini kan bukan jaman siti nurbaya, Yu. Masak mau menikah aja harus dijodohkan,” jawab Genta. Dayu menyusut air mata dan berbalik menghadap suaminya. “Mas, pergilah dan temui keluarga Sayekti untuk meminta maaf. Anggap kamu mewakili bapak yang belum sempat mengutarakan pembatalan perjodohan kalian. Semoga dengan ini, ibu akan lega,” pinta Dayu dengan amat sangat. Genta memandang istrinya yang tampak tersiksa dengan situasi saat ini. “Ya sudahlah. Besok aku sowan ke rumah Ki Sukmo. Demi kamu,” janji Genta. Dayu mulai tersenyum kembali. Genta mendekap tubuh istrinya dengan erat. *** Dayu tampak sibuk di dapur membantu buleknya menyiapkan makan malam dengan Sri, asisten rumah tangga mereka. Genta mengintip ke ruang tengah. Pakleknya, Pram, terlihat duduk tenang melihat televisi. Sejak bapaknya meninggal, Pram berubah menjadi hilang akal tanpa diketahui sebabnya. Pria itu adalah adik kandung ayahnya yang paling bungsu dan belum juga menikah. “Paklek, nonton apa?” tanya Genta ramah. Pram tidak menoleh, namun mulai bergumam tidak jelas. Genta mengecilkan suara televisi. “Paklek, suka tayangan berita, ya?” tanya Genta lagi dan mulai mencari acara yang cocok untuk pamannya. Gumaman Pram makin keras. Genta menoleh dan mencoba mendengar dengan sebaiknya. “Mau ngomong apa, Paklek?” Pram berpaling dan melontarkan kalimat yang membuat Genta merinding. “Nikahi Sayekti atau kita semua mati, nikahi Sayekti atau kita semua mati!” Pram mengulang kalimat itu terus menerus. Tubuh Genta seperti tersiram air dingin!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD