• PROLOG •

1009 Words
"Saya, Louis Harrison, memilihmu menjadi istri untuk saling memiliki dan menjaga. Dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita. Sesuai dengan hukum Tuhan yang suci dan inilah janji setiaku yang tulus.” "Alexandra, AWAS!" Tubuh wanita itu akhirnya terpelanting jatuh menjauhi altar pernikahan mereka yang suci setelah sang kekasih mendorongnya hingga ia berguling melewati beberapa anak tangga di bawah altar dan berakhir pada lantai berbahan kayu yang dikelilingi lilin-lilin kecil menyala. Sebagian lilinnya telah padam dan berantakan karena tersapu oleh tubuh wanita itu ketika ia terjatuh tadi. Kini, wanita bernama Alexandra itu meringis menahan sakit karena merasakan nyeri pada seluruh tubuhnya. Butuh beberapa saat hingga wanita itu teringat kepada kekasihnya di atas altar. Ia kemudian segera mendongak ke atas, mengedarkan pandangannya ke pusat altar yang suci hingga akhirnya ia menemukan kekasihnya, Louis Harrison, sudah tergeletak bersimbah darah di atas sana. Louis tewas seketika. "Louis!" *** Alexandra's Mansion, Seattle. 05:00 am. "Louis!" Wanita muda berusia 25 tahun itu terbangun dari mimpinya yang mengerikan. Wajahnya yang mulus dan seputih porselen kini dipenuhi peluh dan pucat. Tubuhnya bergetar tatkala mengingat kembali darah segar yang membanjiri tubuh kekasihnya, Louis Harrison. Ia terisak dan merengkuh tubuhnya sendiri dengan selimut yang menutupi sebagian pakaian tidurnya ketika mengingat momen kekasihnya tewas di hadapannya sekali lagi. "Alexandra!" Alexandra terperanjat dan menoleh ke arah pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka. Memunculkan sosok pria bertubuh kurus dengan piyama berwarna merah mudanya. Ia masuk tanpa mengetuk, melupakan peraturan yang dibuat sang pemilik kamar untuk meminta izin sebelum menjajaki kakinya di dalam kamar tersebut dan buru-buru menghampirinya. Dari dekat, wajahnya tak kalah panik dan pucat. Ada ponsel dalam genggaman dengan berita yang akan ia sampaikan untuk wanita itu di layarnya. Menyadari Alexandra tampak tidak sehat, pria bernama Charlie itu mengamatinya lamat-lamat. "Alexandra, apa kau baik-baik saja? Kau tampak pucat. Apa kau sungguh baik-baik saja?" Wanita itu biasanya akan langsung marah jika seseorang menerobos masuk ke dalam kamarnya seperti tadi. Namun karena kondisinya yang sedang tidak stabil dan masih dirundung kecemasan karena mimpinya beberapa saat lalu, Alexandra hanya menganggukan kepala dan berkata, "Ya." Charlie mendesah. "Ada sesuatu yang harus kukatakan," katanya berhati-hati. "Kau sungguh baik-baik saja, 'kan?" Wanita dengan rambut cokelat bergelombangnya itu menghela napas jengah dan memutar kedua bola matanya malas. "Charlie, ada apa? Cepat katakan!" "Sebaiknya kau segera menyalakan televisi, sepertinya aku tidak sanggup mengatakannya." Alexandra menyeka kedua pipinya yang basah dan menatap Charlie serius. "Kau membuatku takut, Charlie." Charlie Root adalah manajer Alexandra. Ia dikenal sebagai pria flamboyan yang tekun tapi banyak bicara. Charlie sendiri adalah adik dari ibu kandung Alexandra atau bisa dibilang sebagai paman kandung Alexandra. Charlie kemudian menggelengkan kepala dan berdecak kesal sebelum akhirnya buru-buru meraih remote televisi dari atas nakas dengan tak sabar dan segera ditekannya tombol hijau di sudut kiri benda kecil itu hingga layar televisi di hadapan mereka menyala. Malam itu keduanya menyaksikan penampakkan dari sebuah siaran berita dari satu saluran televisi swasta secara langsung. Sebuah berita kecelakaan. Sang reporter wanita dengan blazer abu-abu dan celana panjang berwarna senada berdiri di depan terowongan Metro yang cukup terkenal di kota Seattle. Sama seperti yang biasa dilakukan reporter lainnya, wanita itu berada di sebuah TKP. Namun jika diperhatikan lagi, reporter itu ternyata sedang melakukan siaran langsung dengan latar mobil yang hangus terbakar dan garis polisi mengelilinginya. Beberapa polisi berbadan tegap juga tampak menghalangi awak media yang nekat mengambil gambar dengan jarak yang terlalu dekat. "Saat ini saya sudah berada di lokasi kecelakaan yang baru saja terjadi dan dapat kita lihat secara langsung di sini, kondisi mobil korban yang mengalami kerusakan berat dan hangus terbakar," kata reporter wanita itu di depan kamera. Amber, reporter yang namanya tertulis di layar televisi kemudian menggeser tubuhnya hingga pemirsa di rumah dapat melihat dengan jelas kondisi mobil bermerk Toyota Camry putih yang telah didominasi oleh warna hitam karena terkabar sebelum kembali melanjutkan laporannya, "Dan dalam insiden ini, polisi menyatakan bahwa korban yang diduga merupakan CEO dari sebuah perusahaan berlian terkenal di kota Seattle, Louis Harrison telah meninggal di tempat." Alexandra menatap layar penuh warna di hadapannya syok. Tubuhnya kembali bergetar dan lemas, bahkan hampir jatuh jika saja Charlie tidak segera melompat ke atas ranjang dan menahan tubuh wanita itu dengan sigap. Sekali lagi ia melihat wajah wanita itu cemas dan bertanya, "Alex, kau baik-baik saja?" dengan suara yang pelan dan berhati-hati. Alexandra kemudian melempar pandangan syok itu pada sang manajer yang masih berusaha menahan tubuhnya agar Alexandra tidak limbung ke belakang dan jatuh dari kasur. "Charlie? Ada apa ini? Bagaimana Louis ... bagaimana dia bisa tewas seperti ini?" Tangis Alexandra pecah seketika. Ia menangis sejadi-jadinya dan meronta tak terima dalam dekapan sang paman. "Tidak, Louis! Kau tidak boleh mati seperti ini," serunya dalam tangis. "Jangan mati. Dia tidak boleh mati, Charlie. Dia tidak bisa." Charlie pun menarik napasnya dalam-dalam dan menenggelamkan wajah sang keponakan ke dalam pelukannya. Membiarkan air mata Alexandra tumpah membasahi piyama kesayangannya.  "Dia seharusnya tidak meninggalkanku, Charlie," kata Alexandra sesegukan. "Besok, seharusnya besok--" "Sudah, Alexandra," potong Charlie. Ia membelai rambut panjang milik keponakannya dan mengembuskan napas berat. "Louis sudah meninggal dan kita tidak bisa mengubah takdirnya." Kata-kata Charlie justru membuat Alexandra semakin sedih. Wanita itu mencengkram piyama sang paman dan menjerit histeris. Kekasih yang seharusnya menjadi suaminya esok hari, justru meninggalkannya dalam duka yang dalam. Bagaimana Louis tewas dalam kecelakaan sehari sebelum hari pernikahan mereka? Ini terlalu berat untuk diterima oleh Alexandra dan Charlie sangat memahaminya. Pria itu hanya mengusap punggung Alexandra sampai tangisnya benar-benar berhenti tanpa ada niat menghakimi apalagi menginterupsi karena Charlie sangat menyayangi keponakannya meski terkadang mereka suka berdebat akan beberapa hal. Namun bagi Charlie, Alexandra adalah sumber kebahagiaannya. Charlie telah merawat Alexandra sejak usianya sepuluh tahun dan tentu Charlie lah yang paling mengerti perasaan wanita itu sekarang. Perlahan, tangisan Alexandra mereda. Meski masih terdengar sesegukan, wanita itu sudah bisa menunjukkan wajahnya kepada sang paman. Alexandra menatap Charlie sedih dan berujar, "Charlie, aku tidak bisa hidup tanpanya. Apakah boleh, jika aku menyusulnya saja?" "Alex!" "Aku ingin mati saja, Charlie. Aku benar-benar tidak bisa menerima kematiannya menjelang hari pernikahan kami," kata Alexa diselingi air matanya yang kembali jatuh. "Aku ... sangat mencintai Louis, Charlie." [] 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD