Bab 1. Gara-gara Terlalu Mabuk

1500 Kata
"Aku nggak sanggup lagi," keluh Wina dengan napas tersengal. Ia mendorong gelas yang disodorkan oleh Meli, teman sekaligus tuan rumah pesta kelulusan SMA mereka. "Kepala aku pusing banget." "Kamu kalah, Win. Kamu harus minum soalnya kamu kalah," ujar Meli diikuti gelak tawa teman-temannya. Yah, mereka sedang memainkan game Truth or Dare. Sungguh sial, Wina terpaksa harus meneguk kembali cairan memabukkan itu meskipun ia sudah tidak kuat lagi. Ia terbatuk, sensasi panas menyerang tubuhnya hingga ia hanya bisa menggelengkan kepala. "Harusnya kamu pilih jujur aja," kata Lydia. Wina masih setengah sadar, ia tak mau menjawab pertanyaan yang menjebak dari teman-temannya. Bisa-bisa ia menceploskan hal yang tak ingin ia katakan. "Mel, aku mau muntah. Aku mau tiduran, aku ke kamar kamu boleh nggak?" tanya Wina yang sudah tak kuat lagi. "Baru segini udah nyerah dia," ledek Lydia. Wina menyeka keningnya dengan punggung tangan. Ia tak peduli, ia hanya ingin merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia memang berniat menginap di rumah Meli lantaran pesta ini pasti sampai larut malam. "Oke. Kamu naik aja. Nggak ada siapa-siapa di rumah," kata Meli seraya mengedikkan dagu ke anak tangga. "Jangan muntah sembarangan, nanti mama aku ngamuk." "Ehm, kamu tenang aja." Dengan langkah sempoyongan, Wina pun mendekati anak tangga. Ia menjangkau railing tangga lalu mulai mendaki satu per satu pijakannya. Ia pusing, dunianya berputar begitu cepat dan ia hampir tak sadar ketika akhirnya ia mencapai lantai dua. "Mana kamar Meli?" Wina menggumam. Ujung jarinya kembali menyeka kening. Ia mencoba melihat lebih jelas, tetapi semuanya seolah berbayang. Wina hampir ambruk di depan sebuah pintu ketika tiba-tiba ia merasa ditopang oleh sesuatu yang hangat dan padat. Ia menoleh kaget. "Pak Ian?" Ian mengangguk pelan. "Kamu mabuk?" Wina mencoba menegakkan tubuhnya agar bisa menjauh dari Ian. Sumpah, jantungnya kini bekerja secara tidak wajar. Ian adalah wali kelasnya yang baru ia kenal di semester akhir kemarin. Dan Ian adalah kakak dari Meli. Mereka memiliki yayasan pendidikan yang besar, bisa dibilang mereka adalah pemilik sekolah elit di mana Wina bersekolah kemarin. Dan ia dalam masalah, sebab ia diam-diam menyukai Ian. "Saya cuma ... main-main," kata Wina. Ia menggeleng untuk mendapatkan kesadarannya kembali. "Saya mau tidur, saya mau ke kamar Meli." Ian mengangguk. "Aku antar kamu ke kamar. Ayo." Tubuh Wina tertarik dengan pasrah. Pusing menguasainya. Sementara Ian merangkul bahunya rapat-rapat, jantung Wina semakin berdebar tak keruan. Ini sungguh efek yang luar biasa karena ia naksir berat dengan Ian dan ia tak menyangka Ian akan merangkulnya sedekat ini. "Ke sini," ujar Ian seraya membuka pintu kamar. "Oh, saya pusing dan panas, Pak," kata Wina. Ian memapah tubuh Wina dengan hati-hati. Lalu, dibaringkan tubuh lemas itu di atas ranjangnya. Yah, alih-alih membawa Wina ke kamar adiknya, ia nekat membawa Wina yang sedang mabuk di kamarnya sendiri. Ian membuang napas panjang melihat tubuh molek Wina yang bergerak mencari kenyamanan di atas ranjangnya. Ia meneguk saliva kuat. Entah bagaimana gaun Wina tersingkap di bagian bawah hingga ia bisa melihat paha putih yang begitu indah. Wina hanya mengenakan gaun kemben yang membuat lekuk tubuhnya begitu nikmat untuk dilihat—mungkin untuk disentuh juga. "Pak Ian ... saya ...." Wina membuka matanya, menatap wajah Ian yang begitu dekat. Tampaknya ia terlalu mabuk ketika ia melihat Ian ada di sebelahnya. Ian berbaring dan membelai wajahnya dengan lembut. "Kamu cantik," ujar pria berusia 28 tahun itu. "Kamu sangat cantik, Win." Wina tersipu akan pujian dari pria yang ia taksir itu. Ia menunduk dan menemukan tangan Ian di rahangnya. Dengan lembut, ia menjangkau tangan itu lalu menciumnya. Ia pasti sudah sangat mabuk, pikir Wina dalam hati. Tubuh Ian terasa begitu nyata untuk ia sentuh. "Wina ... kamu mau tidur denganku malam ini?" tanya Ian pada gadis yang sangat mabuk itu. Wina mengangguk. Ia memang ingin tidur dan barangkali tidur di dekapan Ian adalah hal terindah. Ia mengira itu yang akan terjadi, tetapi kemudian ia merasakan hal lain. Ian mencium bibirnya. Ia membelalak sedetik. Namun, lumatan bibir Ian membuat ia langsung memejamkan mata. Sentuhan demi sentuhan Ian sangat memabukkan bagi Wina. Hingga ia tak sadar, ia sudah dilucuti oleh pria itu. Ian juga membuka pakaiannya sendiri! Wina terpana, menatap tubuh atas Ian yang sangat menawan. Ini mungkin adalah mimpi terindah bagi Wina dan ia ingin menikmati itu. Ia membiarkan Ian menyentuh dirinya yang tak tertutup sehelai benang pun. "Ah! Sakit!" Wina memekik dan Ian langsung menekankan telapak tangannya di bibir Wina. "Sstt, nggak akan sakit lagi kalau kamu bisa menahannya. Tenang," bisik Ian. Wina mengangguk pasrah. Tatapan Ian seolah menyihir Wina. Ia menahan pedih di tubuh bawahnya ketika pria itu mendesak. Ia hampir menjerit, mimpi indahnya seolah berubah menjadi mimpi buruk. Rasa sakit membuat ia meneteskan air mata. Namun, Ian benar. Setelah ia bertahan, rasa sakit itu perlahan menghilang. "Uhh, Pak ... ini ... nikmat," desah Wina yang masih berada di bawah tubuh Ian. Wina tak tahu berapa lama Ian menguasai tubuhnya, yang jelas ia sangat lelah, ia berkeringat dan tubuhnya sangat lengket dengan cairan. Ia langsung terkulai dan tak sadar setelah Ian menyelesaikan permainan tersebut. *** Wina membuka matanya perlahan. Ia merasa sangat mual dan pusing. Dengan cepat, ia mengangkat tangannya untuk meremas kepala. Ia mengedarkan pandangan hingga ia melihat seseorang di sebelahnya. Ia terkesiap. "Aku di mana?" gumam Wina panik. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang ia lakukan tadi malam. Tidak! Ini masih gelap, mungkin ini masih malam atau dini hari, pikir Wina dalam hati. Wina lebih kaget lagi ketika ia mendapati tubuhnya tidak memakai apa pun. Hanya sehelai selimut yang menempel di tubuhnya. "Astaga. Apa yang udah aku lakukan?" Wina panik, ia menarik selimut itu lebih rapat, tetapi aksinya membuat si pria bergerak. Wina segera turun dari ranjang dengan ekspresi was-was. Pria di ranjang itu hanya mengenakan celana boxer dan tanpa atasan. "Hei, hei. Ini aku," kata Ian sambil menegakkan dirinya. Wajah Wina memerah sempurna. Ia pasti sudah sangat mabuk atau hanya bermimpi. Tak mungkin ia baru saja tidur dengan Alfian Widyatmoko! "Pak Ian, kenapa saya bisa di sini?" tanya Wina. "Kamu mabuk semalam. Aku juga," kata Ian yang memang tadi malam baru pulang dari kelab. "Saya harus pulang, ini jam berapa?" tanya Wina panik. Ia menoleh ke dinding dan melihat bahwa ini masih pagi buta. Namun, ia tak ingin ketahuan banyak orang bahwa ia telah tidur di kamar mantan wali kelasnya dengan kondisi telanjang. Ia pasti sudah tidak waras! "Masih pagi. Kamu bisa berpakaian dulu. Aku anter kamu ke luar. Aku carikan taksi," kata Ian yang kini mulai memunguti pakaiannya di lantai. Wina memalingkan wajahnya, meskipun masih gelap, ia bisa melihat Ian mengenakan pakaian. Itu adalah pemandangan yang indah, tetapi ia terlalu malu. "Kamu bisa ke toilet," kata Ian kemudian. Ia meletakkan pakaian Wina di ujung ranjang. Wina menjangkau gaun yang sangat kusut itu beserta pakaian dalam miliknya. "Di sana. Kamu bisa cuci muka dulu." Wina sangat malu. Ia ingin bertanya pada Ian apakah mereka sudah melakukan itu atau belum, tetapi ia tak ingin lebih malu lagi. Wina berjalan cepat dengan selimut membungkus dirinya menuju toilet. Ia menatap dirinya di cermin dengan sangat malu. "Aku udah gila," desis Wina seketika. Ia berantakan. Rambutnya mencuat ke sana kemari dan tubuhnya dipenuhi bercak kemerahan. "Apa ini ulah pak Ian?" Wina tak bisa berpikir jernih, ia tak ingat kejadian malam tadi. Namun, ia memilih untuk segera berpakaian saja karena ia tak ingin ketahuan Meli atau orang tuanya. Ia hanya ingin pulang. Wina hanya sempat membasuh wajah. Ia berpakaian dengan cepat lalu berjalan ke kamar Ian. Ia menelan keras ketika Ian sudah menyalakan lampu. "Aku udah pesen taksi buat kamu. Kita keluar lewat pintu belakang, ayo." Wina mengikuti Ian. Ia menjaga jarak, tetapi ia juga tak ingin jauh. Bibirnya terasa kelu, ada banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Apa yang telah ia lakukan? Mengapa ia bisa berakhir di kamar Ian? Dan bagaimana mereka bisa tidur tanpa pakaian lengkap? Astaga! Wina takut setengah mati. Ia tak mungkin telah bercinta dengan Ian. Namun, kenapa ia merasa sangat lelah dan pedih di tubuhnya semakin terasa ketika ia berjalan. Ia seharusnya memeriksa lebih detail apa yang terjadi. Ia seharusnya bertanya pada Ian. "Kamu bisa pulang sekarang," kata Ian. Wina mengangguk. Semua pertanyaan lenyap dari kepalanya. "Apa Meli tahu aku tidur di kamar Bapak?" "Nggak ada yang tahu. Kamu tenang aja." Ian membuka pintu gerbang belakang dengan sangat hati-hati. "Taksi kamu di sini. Kamu bisa pulang." Wina menatap Ian. Ia masih ingin bertanya, tetapi ia terlalu malu dan ia yakin ini bukan apa-apa. Lebih baik ia pulang dan melupakan apa yang terjadi. Ia hanya terlalu mabuk hingga berakhir di kamar Ian. "Tolong antarkan dia sampai rumah," kata Ian pada sopir taksi yang baru saja mengangguk. Ian tersenyum pada Wina. Gadis itu duduk dengan tegang di jok belakang. "Maaf, Win. Yang terjadi semalam ... tidak perlu kamu ingat-ingat. Oke?" Wina mengangguk dengan bodoh. Wajah tampan Ian seolah membuatnya terlalu terpukau. Ia melihat Ian melambaikan tangannya. Ia menoleh, tetapi Ian langsung masuk ke rumahnya dan taksi segera meluncur. Wina kini telah berpakaian, tetapi ia merasa tengah ditelanjangi. Sebab, seiring taksi itu melaju, ia mulai teringat apa yang telah terjadi. Wina meremang. Ia yakin, Ian telah merenggut kesuciannya yang berharga tadi malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN