Chintya: bab 3

1538 Kata
Aku tak bertanya mengenai perempuan yang dijemput Arshaka di bandara tersebut. Dia bilang kemarin menjemput temannya, bukan? Berarti perempuan itu temannya. Alasan aku tak mau bertanya karena tak mau dianggap posesif. Aku juga tak ingin membatasi petemanan lelaki itu walau pun kami sudah bertunangan. Arshaka menghubungiku sebelum jam makan siang untuk makan bersama dengannya. Untuk pertama kalinya dia mengajakku makan siang bersama, tumben? Entah apa pun alasannya, aku mengiyakannya. Arshaka memintaku untuk mengatur tempatnya untuk besok hari. Karena hari ini dia bilang kerjaannya cukup padat. "Lo atur aja, gue ngikut." "Oke, Kak." "Besok kabarin gue mau di mana tempatnya." "Iya." Sebelum sambungan telepon kami berakhir, mulutku gatal juga hendak bertanya tentang perempuan bernama Nindya itu, namun kuurungkan. Aku takut Arshaka marah. Akhirnya, aku cuma bertanya, "Ada yang mau Kak Shaka sampein ke aku nggak?" "Nggak ada. Kenapa?" "Enggak kenapa-napa. Kirain ada yang mau disampein, mungkin kangen?" Aku kadang berusaha menggoda lelaki itu biar pembicaraan kami tidak datar-datar saja. Diam. Tak ada jawaban dari seberang sana. "Aku cuma bercanda, Kak." "Sampe ketemu besok," ucapnya, lalu mematikan sambungan telepon begitu saja. Aku terkekeh, lalu mengusap sudut mataku yang tiba-tiba saja berair sebelum rekan kerjaku melihat. Aku sepertinya harus lebih sabar lagi menghadapi Arshaka, tidak boleh sampai salah bicara. Jangan sampai dia memutuskan perjodohan kami karena kecewa dengan sikapku dan aku akan merasa tidak enak dengan keluarganya. Selain masih mengharapkan lelaki itu membuka pintu hatinya untukku, aku juga harus sadar diri bahwa tanpa bantuan keluarganya beberapa tahun yang lalu, entah bagaimana jadinya kehidupan keluargaku. Papa yang sakit parah dan waktu itu dirujuk ke rumah sakit di Singapura. Semua berkat bantuan dari papanya Arshaka. Aku tak bisa melupakan hal itu begitu saja. Tak terbayang olehku waktu itu jika nyawa papa tak tertolong karena terhalang biaya yang begitu besar. Sementara, tak ada sanak saudara yang membantu di saat aku meminta pertolongan. "Cintaaaa!!!" Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati rekan kerjaku yang baru saja kembali dari toilet. Para karyawan di sini rata-rata memanggilku Cinta, bukan Chintya. "Gimana? Legah habis ngeluarin isi perut?" "Iya, lumayan nih. Dari kemarin perut gue emang kebanyakan isi kayaknya." Kemudian rekan kerjaku yang bernama Rara itu duduk, lalu menatapku dengan mata menyipit. "Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?" "Are you okay?" Aku mengangguk sembari tersenyum. "Kenapa emangnya? "Arshaka, ya? Lo lagi ribut sama dia?” Aku mencibir. "Sok tahu banget! Gue lagi agak ngantuk aja, kucekin mata.” Rara adalah satu-satunya rekan kerjaku yang mengetahui jika aku telah bertunangan dengan seorang CEO. Namun, aku tidak terbuka juga kepadanya mengenai bagaimana hubungan sebenarnya yang kujalani dengan lelaki itu. "Lo beneran udah tunangan nggak, sih? Heran gue, kok enggak kayak orang-orang gitu." "Gue kan udah bilang, dia orangnya enggak suka gue posting foto atau apa pun tentang dia." Aku terdiam seketika menyadari ucapanku barusan. Arshaka pernah bilang tak suka jika aku mengunggah story yang ada dirinya di sana. Pernah sekali aku melakukannya dan lelaki itu menegurku. Tapi, semalam story perempuan bernama Nindya itu menandai akunnya. Apa Asrhaka marah juga kepada perempuan itu? Aku tersenyum, melanjutkan lagi ucapanku. "Dia itu bukannya cuek , enggak peduli gitu, enggak pernah jemput gue ke sini. Malu juga dianya kalau ketemu teman-teman gue. Tapi, gue sering jalan sama dia, kok. Kita berdua aja, lebih menikmati suasana romantis kalau berdua itu. Ah, kalau gue ceritain, nanti jiwa jomblo lo malah meronta-ronta." "Sialann! Iya deh, yang udah punya tunangan." Aku tertawa. "Eh, barusan pas balik dari toilet, gue papasan sama Pak Dewa loh!" Dia jalan ke arah lift gitu." Pak Dewa yang dimaksud Rara adalah CEO baru di kantor kami. Anaknya pemilik perusahaan. Usianya 28 tahun dan belum menikah. Dia menjadi incaran para karyawan perempuan walau sosoknya dingin. "Ya, terus kenapa emangnya kalau papasan sama dia?" Tatapanku kembali fokus pada layar di hadapanku. "Kata dia, salam sama lo!" Aku memutar bola mata. "Ngaco aja." Rara tertawa ngakak. "Tapi tadi dia senyum sama gue. Mungkin dia itu tahu kalau gue itu teman dekat lo." "Hmmm. Apa hubungannya coba?” "Andai aja lo belum ada tunangan ya, Cin? Oke juga tuh, Pak Dewa. Udah ganteng, lulusan luar negeri, mana anak tunggal lagi." "Mulai." "Kelihatan banget Pak Dewa itu suka sama lo. Dan kalau lagi meeting sama divisi kita, gue suka perhatiin gimana dia yang ngeliatin lo aja. Nyadar nggak, sih?" "Enggak. Biasa aja tuh!" Aku memang merasa biasa saja. Pak Dewa adalah lelaki dewasa, lulusan luar negeri dan kaya raya. Mana mungkin dia melirik karyawannya yang biasa saja. Dia itu cocoknya bersanding dengan model atau artis. Dibanding Arshaka, tentu saja lelaki ini jauh lebih kaya. Loh, kenapa aku jadi membandingkan mereka berdua? "Lo mah, enggak peka! Entar kapan-kepan gue videoin diam-diam deh, gimana dia yang suka perhatiin lo." "Kurang kerjaan banget." Aku geleng-geleng kepala. *** Hari ini aku begitu semangat berangkat kerja. Aku memilih baju yang paling bagus karena akan makan siang bersama Arshaka. Aku juga membuat rambutku sedikit bergelombang di bagian bawahnya." "Cakep banget lo hari ini, tumben make up-an enggak kaya biasa." Aku memamng memakai make up tidak seperti biasanya hari ini. Biasnaya, paling hanya menggunakan bedak dan lipstick saja. Aku juga tak mengukir alisku karena bentuk alaminya sudah bagus dan aku bersyukur tidak repot-repot membentuknya seperti kebanyak perempuan yang bisa berlama-lama di depan kaca, hanya untuk mengukir alis. "Mau makan siang bareng pacar dong!" "Tumbenan? Selama 2 tahunan tunangan, gue baru lihat lo makan siang bareng tunangan lo itu." "Kata siapa? Waktu lo enggak masuk kerja atau lagi ke bank, gue ada beberapa kali lunch sama dia, kok. Cuma emang jarang karena jarak kantornya dia sama gue kan lumayan jauh. Gue aja yang suka enggak mau kalau dia jauh-jauh ke area sini. Kan kita enggak bisa istirahat lama-lama juga, makanya gue enggak bisa jauh dari kantor." Padahal, kenyataannya baru kali lelaki itu mengajakku makan siang bersama. Aku mencari tempat makan siang yang kira-kira berada di tengah antara kantorku dengan Arshaka. Pada pukul 11:00 aku mengirimkan pesan kepada lelaki itu, memberitahunya tempat di mana kami akan makan siang. Setelahnya aku kembali menatap layar di depanku untuk mengangsur pekerjaan sebelum keluar jam istirahat. Setelah meraih ponselku dan melihat belum ada balasan pesan dari Arshaka. Mungkin lelaki itu sedang sibuk. Tak mungkin dia tidak menepati janji seperti waktu dulu kamu gagal makan malam, bukan? Dia mendadak harus keluar kota kala itu, bukan benar-benar lupa. Sedangkan hari ini, katanya tidak begitu sibuk. Semalam aku juga telah memastikan dan dia bilang agar aku mengabarinya di mana kami akan bertemu. Sama seperti yang dikatakannya pada siang hari, tak ada perubahan. Aku menuju toilet terlebih dahulu sbeelum berangkat pergi, untuk merapihkan penampilanku. Siapa tahu saat aku sudah di jakan nanti, Arshaka juga bergegas menuju ke sana. Ternyata hingga aku tiba di resto, Arshaka tak kunjung ada kabar. Aku sudah beberapa kali mengirim chat padanya, tak ada balasan. Telepon juga tidak diangkat. Hingga ketiga kalinya aku menelepon, langsung terputus begitu saja. Aku hubungi nomor teleponnya kembali, malah sekarang tidak tidak aktif. Aku berusaha berpikiran positif, apa Arshaka ada meeting dadakan? Atau sedang bersama client. Aku tertawa di mana Arshaka benar-benar tak datang. Chat-ku sampai saat ini tidak dibaca juga. Aku akhirnya kembali ke kantor karena jam makan siangku tidak lama. "Gimana makan siang bareng pacar?" tanya Rara setengah berbisik. Aku tentu saja tak menunjukkan raut sedih sedikit pun padanya. "Senang dong!" jawabku sumringah. "Gue jadinya juga pengen punya pacar," ujar Rara dengan mengerucutkan bibirnya. "Biar bia lunch bareng, dinner, nonton bioskop, jalan-jalan. Lo suka gitu juga kan sama Asrhaka?" Aku mengangguk. "Tapi kalau nonton, kami lebih sering di apartemennya. Intinya, dia mau mesra-mesraan tanpa ada gangguan. Terus, gue suka nyandar di bahunya dan dia usap-usap rambut gue? Kebayang nggak gimana romantisnya?" Aku sudah lama seperti ini—berkata kepada orang-orang segala hal baik dan mengagumkan tentang Arshaka, bahkan kepada orang tuaku sendiri. "Pengennnn! Ada satu lagi orang kayak dia nggak?" Andai Rara tahu bagaimana Arshaka yang sebenarnya, pasti dia akan menarik lagi ucapannya. Dia pasti akan mengeluarkan sumpah serapah kepada lelaki itu. "Nggak ada. Dia cuma satu-satunya dan milik gue seorang." "Bucin!!!" "Biarin!" Aku menjulurkan lidahku. Belum lama melanjutkan pekerjaanku tadi yang belum selesai, layar ponselku menyala dan tertera nama Arshaka di sana. "Gue teras depan bentar, Ra." Aku mengangkat ponselku dan memperlihatkan layarnya kepada Rara. "Kak Shaka nelepon. Nggak tahu, padahal kita baru aja ketemu, dia kayaknya masih kangen?" "Bikin iriiii! Hussh sana!" Aku tertawa. Kemudian, raut wajahku berubah begitu keluar dari ruangan menuju balkon di lantai tempatku bekerja. Aku tak langsung mengangkat teleponnya, hingga deringnya berhenti dan kembali berdering lagi. Aku menghela napas pelan sebelum mengangkatnya. Arshaka meminta maaf padaku, katanya lupa. Dia menanyakan apakah malam ini aku ada acara atau tidak dan aku menjawabnya akan pergi bersama rekan kerjaku. Pdahal, aku belum ada rencana apa pun. Hanya saja, aku sedang malas bertemu dengannya. Aku kecewa? Tentu saja. Ingin rasanya marah, meluapkan isi hatiku, namun tak berdaya. "Ya udah, lain hari kita atur lagi," ucapnya di seberang sana. "Iya, Kak." "Sekali lagi, maaf. Gue benaran lupa." Selalu dimaafkan, ujarku di dalam hati. Tak lama setelah menyudahi teleponan, Arshaka mengirimkanku pesan. Kak Shaka Orang tua lo lagi pergi kan? Entar pulang cepat aja, Gue jemput di rumah lo Nginep di rumah mama Aku terkekeh membaca pesan lelaki itu. Ini pasti disuruh oleh mamanya, bukan karena keinginannya sendiri. Mana mungkin dia tiba-tiba perhatian padaku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN