bc

My Stupid CEO

book_age18+
601
FOLLOW
2.4K
READ
contract marriage
age gap
independent
confident
CEO
boss
comedy
bxg
office/work place
lies
like
intro-logo
Blurb

Janya tidak bisa menikah. Belum. Meski usianya kerap diolok-olok telah kadaluarsa. Namun, dengan karirnya yang tidak beranjak ke mana-mana, selalu menjadi orang yang terbalap di kantor, dan bahkan memiliki kemalangan yang rasanya tidak pernah ada habisnya, itu bukan berarti dia harus menyerah dengan mudah kan?

Easy-Peasy tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Sebuah aplikasi kencan virtual yang mempertemukannya dengan Kamga.

Seorang CEO, katanya. Tapi, anehnya semakian Janya mengenalnya, Kamga justru terkesan lebih cungpret darinya. Oh, iyalah. Andai Kamga tidak seperti robot, dia mungkin tidak harus membawa serta Janya pada serangkaian malapetaka-malapetaka yang membuat perempuan itu nyaris kehilangan segala miliknya, yang bahkan tak banyak tersisa.

Dan, hanya jika Janya bisa memilih maka, dia tentu tidak ingin ada nama Juankenas Pranaja dalam takdirnya. Orang yang dia pikir, haruslah bertanggung jawab terhadap apa yang Janya sebut sebagai sebuah 'penyesalan'.

chap-preview
Free preview
1. well, this is gonna get ugly.
"Welcome to Easy-Peasy!" Ponsel yang berada di sudut meja kerja Kamga berbunyi ringan. Sayangnya, efeknya sama sekali nggak seringan suaranya. Terbukti. Dari balik pintu seorang cewek tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruang kerja pribadi Kamga. Api seolah tengah ribut berkobar-kobar di mata dan wajahnya. Maka, tak heran sewaktu dia melamparkan sebentuk tudingan, rasanya panas langsung merambat di kedua telinga Kamga. "Oh, seriously, Kamga? Lagi?" Cewek itu nyaris menjerit. Dan, benar-benar sukses kehilangan seluruh kontrol intonasi begitu dia menyambung buas bagai singa lapar, "Kenapa sih lo selalu terlibat sama sampah?! Ya, program kencan sampah itu! Ya, cewek blasteran Jepang—" "Annelise bukan sampah," potong Kamga dingin. Dia bahkan tak tahu jika suaranya bisa sekaku itu, "dan ...." Pria itu menaikkan arah pandangannya demi dapat menemukan sesosok cewek berbalut black peplum top, black ruffle wrap pencil skirt, black stiletto—yang sekali geplak, keruncingan heels-nya mungkin mampu buat membocorkan batok kepala Kamga—juga, sejak kapan kiranya rambut aromanis Sana berganti menjadi hitam legam? Apakah itu sejak datangnya berduyun-duyun masalah di beberapa waktu belakangan sehingga cewek itu merasa berduka? Ah, tentulah sedikit-banyak dia harus merasa berduka sebab .... "bukannya lo yang waktu itu memohon-mohon, ngeyakinin buat gue gabung ke program 'sampah' itu?" Di luar dugaan, Sana nggak menampik. Cewek bergincu semerah darah itu justru mengangguk tegas—mengaku. "Sebelum gue tahu kalo program itu ternyata sanggup bikin kita anjlok ke dasar jurang," ujarnya yang entah mengapa membuat Kamga otomatis tergugu. "Direksi udah ngedesak terus," Sana kembali bicara meski nadanya tak lagi menggebu. "We are not out of option. Belum pernah. Tapi, sekarang ini pilihan lo cuma dua. Lo terima aja Hara-Hala ngeakuisisi Srivarani Wang sesuai rencana, atau ... tinggalin aja kursi lo!" "Oh, dan satu lagi. Jangan pernah lagi bergaul sama cewek sampah itu!" Sana bergeleng—memperingatkan. Menghela napasnya lelah, Kamga mendebat, "Annelise bukan sampah." "Bukan dia, tapi sampah yang satunya!" Kali ini, Kamga praktis mengernyit, nggak mengerti. Sedang, Sana yang menyaksikan timbulnya reaksi bebal itu pun akhirnya berdecak gemas sambil dengan jengkel menjelaskan, "Sampah yang gara-gara lo dipasangin bareng dia, kita jadi ketiban tumpukan kotoran dan digerumutin laler begini!" Oke. Kamga sepertinya tahu siapa yang coba Sana drag ke dalam masalah mereka. Hanya saja, perlukah selalu cuci tangan serta malah menyalah-nyalahkan orang lain—orang yang boleh jadi bahkan tak tahu apa-apa atas segala persoalan tersebut? "Dia ... juga bukan sampah," kontra Kamga di sela desah jengahnya. "Oh, masa? Bukannya lo yang waktu itu bilang sendiri?" tuduh Sana berani. "Lo paling suka black opal. Ingat? Karena, di dunia ini, itu cuma bisa ditemukan di kawasan pertambangan Lightning Ridge. Yang mana semakin gelap warna mereka dan semakin terang inklusinya, maka semakin berhargalah batu itu. Jelas, sama sekali nggak akan pernah mungkin bisa sebanding sama dia yang cuma batu kerikil. Yang keberadaanya, suka buat nambal lubang di jalanan. "So, itu sama aja kayak sampah kan? Dia dan kesampahannya yang bikin keterlibatan lo di Easy-Peasy ketularan busuknya!" Sana masih agak tersenggal ketika cepat-cepat meloloskan ultimatum, "Pokoknya, gue nggak mau tahu. Lo singkirin semua sampah-sampah itu, atau lo ... yang menyingkir dari sini. Paham?" Setelahnya, Sana kemudian berlalu—tak lupa sambil membanting daun pintu—meninggalkan Kamga seorang diri dibalik meja luasnya yang memajang papan kaca bertuliskan: Kamgamatra Jagawarna Chief Executive Officer of Srivarani Wang Apakah sungguh eranya sudah berakhir? Sesingkat ini? Kamga sedang mengerang sekaligus mengurut pangkal hidungnya saat ponselnya kembali berbunyi. "Welcome to Easy-Peasy!" Kamga hendak memeriksanya sebelum satu ponsel lainnya, yang lebih dekat jarak jangkaunya, malah ikut bergetar samar. Annelise: Pilihannya cuma dua, Kamga. Lepasin Easy-Peasy dan cewek itu, atau lepasin aku. Annelise: Buat selamanya. Pesan yang sama dengan apa yang dia terima kemarin. Tentunya dari orang yang sama. Hanya saja, nggak jauh berbeda seperti kemarin, Kamga cuma membiarkannya. Bukannya dia tak ingin membalas. Oh, come on! Sesibuk apa pun dirinya selama ini, Kamga selalu berusaha untuk nggak mengabaikan Annelise. Yah. Cuma .... "Welcome to Easy-Peasy!" Kali ini, tanpa banyak berpikir Kamga langsung menyambar ponsel di sudut mejanya demi kemudian memeriksa seluruh isinya. Janyashree: Ga? Janyashree: Sori. Tapi, gue udah ambil keputusan. Janyashree: Gue out. Itu ... nggak kah itu sebuah berita bagus? Namun, kok rasanya ada yang berjalan dengan nggak semestinya? Kamga tak tahu dia tengah didorong oleh motivasi bernama apa, tapi dia tetap mencoba menghubungi Janya melalui fitur panggilan di Easy-Peasy yang memang biasa mereka gunakan. Namun, nggak ada tanggapan berarti. Hingga tahu-tahu seseorang menerobos masuk ruang kerjanya tanpa repot mengetuk pintu. "Gaaaa, lo udah cek hape hari ini?" Aswa, Asisten Pribadinya—yang mungkin bakal segera kehilangan jabatan dan gajinya jika seandainya benar dia lengser—telah berdiri resah di mulut pintu. "Bukan buat SMS atau telepon! Juga bukan hape yang buat main Easy-Peasy!" imbuhnya sesaat setelah menyadari bahwa ada sebuah ponsel yang tergenggam dalam tangan Kamga. "Terus?" "Medsos?" "Sejak kapan gue punya medsos?" Di depannya, Aswa menggeplak kepalanya sendiri. Benar juga. Kamga kan manusia gua, kalau bukan karena faktor pekerjaannya sepertinya sih dia bakal tetap bertahan dengan hape Nokia 3310 andalannya. Yah. Harusnya Aswa ingat betapa ndeso-nya seorang Kamga. Oleh karena itu, Aswa lantas cepat-cepat mendekat sambil mengutak-atik ponsel miliknya sekilas untuk kemudian menyerahkannya pada Kamga. @lambepait Oh, jdi ini tukang ngerusaknya? Persis di atasnya, ada sebuah foto berisi gambar seorang cewek yang belakangan ini selalu terlibat bersamanya dalam Easy-Peasy. Lalu, di sana juga ada gambar sosoknya—tentu saja—dalam pose yang Kamga bahkan tak ingat kalau dia pernah melakoni gaya semacam itu. Naasnya, pas di bagian lebih ke bawah lagi. Tepatnya pada kolom komentar, sudah ada sekitar lima ribu ketikan yang masuk, padahal post tersebut baru saja tayang kurang dari lima belas menit lalu. Sial! Apakah begitu urgent-nya bagi orang-orang untuk mengomentari urusan hidup orang lain? Yang bahkan mereka tak kenal. Yang mereka mungkin juga sama sekali tak menangkap apa kira-kira duduk perkaranya. Apakah begitu menyenangkan rasanya saat kamu bisa menyumpah, menghujat dan mensyukuri masalah yang menimpa orang lain? Sampai-sampai dibela-belakan untuk begitu terburu dan gencar membanjirinya dengan kata-kata yang Kamga tak perlu membukanya, tapi dia tahu serupa apa kira-kira bunyi-bunyinya. "Anneliese udah hubungin lo?" "Hum?" Kamga refleks menyahut walau agak linglung. Bagaimana nggak? Masalahnya sudah bak lumpur hisap di mana makin dia banyak bergerak maka, makin tenggelam lah dia. "Kayaknya dia mau balik ke Jepang." "Maksud lo?" Aswa mengambil kembali ponselnya, lagi-lagi melakukan utak dan atik, pria berkemeja abu tersebut lantas menyerahkannya ulang pada Kamga. "Belum lama doi ada update foto boarding pass." Kamga menggeleng. Antara menolak percaya pun menolak gagasan tersebut. "Dia nggak boleh balik ke sana. Nggak. Kalau dia balik ...." 'Buat selamanya.' Sepotong pesan Annelise mendadak muncul dalam benaknya. "Dia nggak boleh balik ke Jepang! Ke mana pun ... asal itu bukan Jepang," Kamga sedikit meracau begitu bangkit dari kursi kebesarannya sambil mencoba melangkah pergi. Sayangnya, jarinya baru sampai di ujung handle ketika Aswa berkata dari balik punggungnya, "Mau ke mana lo? No! Kembali duduk di kursi lo, Kamga! Atau, lo bener-bener akan kehilangan segalanya." Itu ancaman. Tentu saja. Namun, bukannya toh dia memang sudah kehilangan segalanya? Cuma demi 5 episode Easy-Peasy—yang bahkan benefitnya tak seberapa—dia mungkin akan segera digulingkan dari kursinya saat ini. Dia bahkan udah kehilangan reputasi, muka juga ... orang yang berarti baginya. Oh, apakah ini yang namanya penyesalan? Kalau, iya, maka Kamga hanya ingin kembali. Kembali ke masa saat semuanya belum sekacau ini. Tapi, bisakah? ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook