bc

KASEPUHAN KARANG, SETEGAR KARANG

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
adventure
others
lighthearted
realistic earth
like
intro-logo
Blurb

“Moal di duduka ku batur mun urang teu ngaduduka batur, Moal di cabok batur, mun urang teu nyabok batur, Moal di kadek batur, mun urang teu ngadek batur”. Indonesia memiliki beragam komunitas adat yang tersebar di seluruh Nusantara, setiap masyarakat adat memiliki ciri dan identitas tersendiri yang membedakan antara masyarakat adat satu dengan masyarakat yang lainya. Masyrakat hukum adat juga memiliki beragam pengertian, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefinisikan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan sistem sosial yang khas. Sementara dalam program pemerintah yang digunakan sejak tahun 1970 – 1999 masyarakat hukum adat juga dikenal dengan istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang memiliki pengertian sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Masyarakat adat sering juga disebut ‘masyarakat tradisional’ atau dalam istilah lain disebut indigeneous people, secara garis besar masyarakat adat adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan keseragaman pola hidup yang kemudian dijadikan pedoman, baik itu pedoman lisan maupun tulisan. Perbedaan masyarakat adat dengan masyarakat non adat adalah cara hidup masyarakat adat dengan pola yang berulang dan bahkan tetap, sehingga terkesan statis dan menutup diri dari kehidupan modern yang dinamis.

chap-preview
Free preview
Henriana Hatra #3
KASEPUHAN KARANG,    SETEGAR KARANG NILAI NILAI TRADISI MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN KARANG, MUNCANG, LEBAK, BANTEN ABSTRACT “Moal di duduka ku batur mun urang teu ngaduduka batur, Moal di cabok batur, mun urang teu nyabok batur, Moal di kadek batur, mun urang teu ngadek batur” HENRIANA HATRA WIJAYA  Bab 1 Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal Pengertian Masyarakat Hukum Adat Indonesia memiliki beragam komunitas adat yang tersebar di seluruh Nusantara, setiap masyarakat adat memiliki ciri dan identitas tersendiri yang membedakan antara masyarakat adat satu dengan masyarakat yang lainya. Masyrakat hukum adat juga memiliki beragam pengertian, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefinisikan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan sistem sosial yang khas. Sementara dalam program pemerintah yang digunakan sejak tahun 1970 – 1999 masyarakat hukum adat juga dikenal dengan istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang memiliki pengertian sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Masyarakat adat sering juga disebut ‘masyarakat tradisional’ atau dalam istilah lain disebut indigeneous people, secara garis besar masyarakat adat adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan keseragaman pola hidup yang kemudian dijadikan pedoman, baik itu pedoman lisan maupun tulisan. Perbedaan masyarakat adat dengan masyarakat non adat adalah cara hidup masyarakat adat  dengan pola yang berulang dan bahkan tetap, sehingga terkesan statis dan menutup diri dari kehidupan modern yang dinamis.  Sementara itu menurut UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air menyebutkan bahwa : Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau dasar keturunan Selain itu dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa : Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim diwilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Dalam UU NO 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dijelaskan kriteria Masyarakat Hukum Adat, yaitu : (1) Masyarakat yang masih hidup dalam paguyuban; (2)  Memiliki kelembagaan dalam bentuk perangkat adat; (3) Memiliki wilayah hukum adat yang jelas; (4) memiliki pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; (5) adanya pengukuhan dengan peraturan daerah. Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang masih menjaga aturan-aturan adat dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya sesuai amanat leluhur. Pengertian Kearifan Lokal Kearifan lokal secara etimologis merupakan serapan dari bahasa Inggris, yaitu local wisdom. Dalam definisi Quartich Wales, local wisdom diartikan sebagai kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan saling berhubungan. Local wisdom sebenarnya memiliki arti yang sendiri-sendiri. Local atau lokal adalah kondisi sebuah tempat atau setempat, sementara wisdom atau kearifan adalah sifat yang melekat pada karakter seseorang, yang berarti arif dan bijaksana. Ketika digabuungkan menjadi local wisdom maka mempunyai definisi atau makna yang sangat luas, terutama hal-hal yang menyangkut tatanan nilai, kebiasaan, tradisi, baik budaya maupun agama, yang menjadi aturan dan kesepakatan tempatan (lokalitas). Sehingga kearifan lokal dapat dimaknai sebagai suatu gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan tertanam serta diikuti oleh anggota masyarakatnya.  Kearifan lokal juga diartikan sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Keraifan lokal merupakan cara masyarakat hidup dan mepertahankan kehidupannya dengan berpegang teguh pada keyakinan yang bersumber dari para leluhur atau nenek moyang. Kearifan lokal mengandung nilai-nilai suci firman Tuhan yang berkaitan dengan tata cara atau pedoman hidup. Kearifan lokal juga merupakan bentuk warisan nilai-nilai yang sudah sepatutnya untuk dijaga dan dilestarikan, tidak hanya sebagai cara mempertahankan hidup namun juga menjadi bagian atau identitas dari kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal dapat dijumapai dalam berbagai bentuk, seperti dalam tarian, nyanyian, pepatah, kitab-kitab atau benda pusaka peninggalan para leluhur.  Bab 2 Masyarakat Adat Kasepuhan Karang Masyarakat Adat Kasepuhan  Masyarakat Kasepuhan berdasarkan cerita para baris kolot (tetua adat) bermula dari runtuhnya Kerjaan Padjadjaran,  masyarakat adat percaya bahwa asal muasal Kasepuhan didirikan oleh keturunan Prabu Siliwangi yang melakukan perjalanan ke daerah sekitar gunung Halimun dan mendiami wilayah-wilayah baru yang kemudian berkembang menjadi perkampungan adat yang kini dikenal dengan istilah Kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan ‘ka’ dan akhiran ‘an’. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, munculah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Penyebaran masyrakat Kasepuhan mengakibatkan banyaknya jumlah Kasepuhan yang tersebar di Kabupaten Lebak, masyarakat Kasepuahan mendiami lereng-lereng di pegunungan, hal itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Kasepuhan menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian (huma dan sawah), dengan padi sebagai komoditas utama, padi yang ditanam oleh masyarakat kasepuhan berbeda dengan padi pada umunya, masyarakat adat mengenalnya dengan nama pare Geude (padi besar). berbeda dengan padi biasa, pare Geude mempunyai masa tanam selama enam bulan, sehingga dalam setahun masyarakat adat hanya menanam padi sebanyak satu kali.  Meskipun sekarang ada beberapa Kasepuhan yang menanam padi dua kali dalam setahun, namun padi musim kedua bukan merupakan pare Geude yang biasa ditanam, tapi padi kecil yang merupakan hasil kolaborasi dengan pemerintah dalam upaya pengembangan sektor pangan. Masyarakat Kasepuahan bersifat nomaden atau berpindah-pindah, hal ini yang kemudian menjadi salah satu alasan kenapa rumah adat di Kasepuhan adalah rumah panggung atau semi permanen bergaya tradisional,  dengan memanfaatkan bahan-bahan yang diperoleh dari alam sekitar, rumah panggung beralaskan palupuh atau lantai bambu atau papan kayu, dinding dari bilik bambu serta atap dari  hateup (daun kiray/sagu) berlapiskan ijuk pohon aren. Perpindahan dari satu daerah ke daerah lain tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan harus melalui wangsit dari para leluhur, sehingga tidak peduli berapa lama sudah menempati daerah tertentu, jika wangsit mengharuskan untuk pindah, maka tidak ada tawar menawar lagi, memang sudah seharusnya untuk ngalalakon (berkelana/pindah). Perpindahan ini hanya berlaku untuk pusat kasepuhan, bukan perkampungan yang dihuni masyarakat adat keseluruhan, itulah sebabnya masyarakat adat diluar area pusat Kasepuhan diizinkan membangun rumah permanen dan mengadopsi arsitektur modern. Kehidupan sosial masyarakat adat tidak terlepas dari aturan atau norma-norma adat, ada tiga sistem aturan yang dianut masyarakat adat Kasepuhan dan digunakan sebagai pedoman hidup, yaitu sistem adat, agama dan pemerintahan. Ketiganya digunakan secara beriringan tanpa ada benturan. Proses kehidupan bermasyrakat di Kasepuhan memiliki keunikan tersendiri, rutinitas masyarakat adat adalah bercocok tanam (tani), ada pula yang berdagang, gurandil (penambang emas tradisional), pengrajin dan tukang. bahasa kesehariannya adalah bahasa Sunda yang terbagi menjadi Sunda Alus dan Sunda kasar. Pakaian masyarakat adat serba hitam (khususnya saat ritual-ritual adat), ada pula pakaian adat yang berwaran putih, ciri masyarakat adat Kasepuhan adalah selalu menggunakan iket (ikat kepala) bagi kaum laki-laki. Namun  jika dalam keseharian, masyarakat Kasepuhan juga bergaya santai seperti masyarakat modern pada umumnya. Warna hitam yang digunakan sebagai warna pakaian adat bermakna paham atau mengerti, hal ini karena dalam bahasa Sunda, hitam artinya hideung, sedangkan kata hideung merupkan bentuk lain dari hideng, sementara hideng itu sendiri bermakna paham atau mengerti. Sedangkan warna pakaian putih melambangkan kesucian dan kebersihan hati, sehingga cara berpakain melambangkan bahwa hanya dengan kebersihan atau kesucian hati dan pikiran dapat memahami berbagai fenomena atau teka-teki dalam kehidupan. Aturan adat Kasepuhan biasanya berbentuk kalimat siloka atau teka-teki, bukan dalam bentuk kalimat sederhana, maka dari itu perlu penafsiran mendalam tentang istilah yang dikemukakan oleh para karuhun.  Masyarakat hukum adat menggunakan adat istiadat sebagai pedoman hidup dalam sosial kemasyarakatan, aturan tersebut kemudian diwariskan secara turun menurun. Masyarakat adat kasepuhan berpegang pada filosofi tatali paranti karuhun, secara harfiah tatali paranti karuhun bermakana mengikuti, mentaati serta mematuhi tuntutan rahasia seperi yang dilakukan para karuhun (leluhur) yang merupakan landasan moral dan etik. Nilai-nilai kearifan lokal tatali paranti karuhun tidak hanya tercrmin dalam tataran religius tapi juga termnifestasikan dalam kehidupan sosial, sistem kepemimpinan, dan tata cara berinteraksi dengan alam.  Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat ditemukan melalui berbagai aspek kehidupan manusia, salah sataunya tercermin dalam tata cara bersosialisasi masyarakat adat, yaitu "Hiji ucap, dua lampah, tilu tekad". Artinya yaitu : (1) 'ucap' yang berarti perkataan, perkataan seseorang dapat mencerminkan seperti apa orang tersebut, jadi setiap perkataan mendeskripsikan identitas seseorang itu tadi. pada konteks ucapan atau perkataan, masyarakat adat mempunyai aturan atau norma-norma yang bersifat lisan, walaupun tidak tertulis, tapi aturan itu berlaku dan dipatuhi oleh anggota masyarakat adat. Sebagai contoh, masyarakat adat mengenal istilah pamali, yaitu sebuah larangan untuk tidak melakukan sesuatu yang karena sifatnya dapat merugikan. Sebagai sebuah larangan, pamali mempunyai konsekuensi bagi pelanggarnya yaitu kabendon (bencana). Percaya atau tidak, ketika anggota masyarakat adat melakukan sebuah kesalahan atau melanggar aturan adat yang telah ditentukan, maka hal buruk akan terjadi kepada pelanggarnya, baik itu penyakit yang tak kunjung sembuh, usaha yang selalu merugi atau bahkan pada tingkatan paling fatal akan mengakibatkan pelanggarnya mati mendadak.  Contoh kongkrit larangan atau pamali di masyarakat adat Kasepuhan adalah teu meunang ngajual beas, beas mah nyawa (tidak boleh menjual beras, beras adalah nyawa).  Sehingga hasil panen padi selama satu tahun hanya akan dikonsumsi sendiri dan sisanya disimpan di Leuit sebagai cadangan pangan untuk dua sampai tiga tahun kedepan. Analogi beras disejajarkan dengan nyawa, artinya padi atau beras mempunyai kedudukan begitu luhur dalam pandangan masyarakat adat Kasepuhan. Masyrakat Kasepuhan percaya bahwa padi merupakan jelmaan dari Nyai Sri (Nyai Pohaci) atau Dewi Padi. Sebagai jelmaan sosok seorang Dewi, padi begitu diistimewakan, maka dari itu ada ritual Ngamumule Pare atau merawat dan memanjakan padi. Ngamumule pare dilakukan selama siklus musim panen, yang setiap proses dalam menanam padi selalu disertai dengan berbagai ritual, mulai dari nibakeun sri ka bumi (proses awal menanam benih padi), teubar (proses menebarkan benih padi), tandur (menanam padi di sawah), salamet pare nyiram (syukuran saat padi mulai akan berbuah), mipit (ritual tanda akan dimulainya proses memanen padi), dibuat (proses panen padi tradisional dengan Etem), Mocong (proses membersihkan dan merapikan padi), Ngunjal yaitu membawa padi dari lantaian (penjemuran) menuju lumbung atau leuit, Ngadiukeun (ritual memasukan padi hasil panen ke dalam lumbung padi) atau juga istilah lainnya ngamitkeun sri ti bumi (ritual merapikan atau memasukan padi yang tadinya di tebar di sawah “bumi” ke dalam leuit), nganyaran (ritual pertama kali memasak pare anyar atau padi baru yang selesai dipanen) Seren taun (ritual puncak ‘syukuran’ sebagai penutup dan awal akan dimulainya proses menanam padi kembali). (2), 'lampah' atau perbuatan, sejatinya antara apa yang diucapkan harus sesuai dengan apa yang dilakukan, perbuatan juga mendeskripsikan pribadi seseorang. Bagi masyarakat adat, setiap tindakan yang akan dilakukan harus sesuai dengan ketentuan adat. Bentuk-bentuk karifan lokal tercermin dalam tindakan berupa ritual-ritual warisan nenek moyang yang hingga kini masih tetap dilestarikan. Ritual yang dilakukan tidak hanya bersifat seremonial semata, namun juga memiliki nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan identitas masyarakat adat yang hidup tertata sesuai aturan adat. Salah satu fiosofi masyarakat adat yang mengatur konsep bagaimana seharusnya bersikap tertuang dalam pepatah atau wasiat para karuhun (leluhur) “nyucrug galur mapay wahangan nete taraje nincak hambalan,” yang artinya dalam kehidupan sehari-hari kita harus jujur mengikuti apa yang telah digariskan, tidak boleh menentang apa yang bukan haknya. (3) tekad yaitu berkaitan dengan keteguhan dan keyakinan masyarakat adat dalam melestarikan apa yang menjadi keyakinannya. Tekad ini tercermin dalam kuatnya aturan-aturan adat atau kebiasaan masyarakat adat yang masih terjaga yang bahkan tidak lekang oleh waktu, walaupun zaman sudah berganti.  Masyarakat Kasepuhan bersifat adaptif  bukan primitif, sehingga teknologi atau inovasi modern sangat diterima, meskipun beberapa penggunaan teknologi masih belum diizinkan atau istilahnya can nepi ka zaman artinya belum waktunya. Masyarakat Kasepuhan menganut filosofi 'hirup kudu ngigeulan zaman' atau dalam istilah lain 'ngindung ka waktu, ngabapak ka zaman', filosofi itu mencerminkan bahwa, masyarakat Kasepuhan begitu terbuka mengenai perubahan zaman, mereka menyadari bahwa dunia terus berputar dan zaman pun ikut berganti, sehingga diperlukan adanya penyesuaian agar terjadi keseimbangan antara aturan adat dan kondisi zaman saat ini. Kendati demikian, dengan adanya keterbukaan itu maka tidak secara otomatis menghilangkan tradisi lama dan menggantinya dengan cara baru, ada pakem atau patokan yang tetap dijaga, sehingga keaslian atau hakekat dari tradisi tersebut tidak mengalami perubahan. Penyesuaian terhadap kemajuan zaman terlihat dalam berbagai aspek, dalam teknologi pertanian misalanya, dahulu masyarakat Kasepuhan menggunakan kerbau untuk membantu membajak sawah, namun sekarang sudah menggunakan traktor yang dirasa lebih cepat dan efesien dari segi waktu dalam membajak sawah. Meski demikian tidak semua Kasepuhan melakukan hal yang sama, terdapat beberapa Kasepuhan yang masih menahan diri dari penggunaan teknologi tersebut dengan alasan can nepi ka wanci, can datang ka jaman (belum saatnya). Pada dasarnya masyarakat Kasepuhan hampir sama dengan masyarakat modern, hanya saja mereka memadukan sikap taat pada aturan adat namun juga tetap menyambut baik modernisasi selama tidak bertentangan dengan aturan adat. Dari ketiga aturan adat (ucap, lampah, dan tekad) semuanya merunut pada bagaimana pola masyarakat hidup dengan tetap mempertahankan nilai-nilai warisan leluhur di tengah-tengah kehidupan yang modern. Disisi lain ucap, lampah dan tekad juga merupakan konsep hidup yang begitu luhur, yaitu konsep hidup yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah keselarasan, keseimbangan dan kedewasaan dalam bertindak dalam menyikapi setiap persoalan. Aturan  adat bersifat mengikat sehingga pengikutnya dituntut untuk taat dan patuh guna terciptanya kehidupan yang sesuai tatali paranti karuhun.  Bab 3 Kondisi Geografis, Alam dan Lingkungan Masyarakat Adat Letak Geografis, Alam dan Lingkungan Masyarakat Adat Kasepuhan Masyarakat adat Kasepuhan tersebar di daerah kabupaten Lebak bagian selatan, masyarakat Kasepuhan adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan pola perilaku sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik Sunda pada abad ke 18. Masyarakat Kasepuhan tersebar di beberapa Kecamatan di Kabupaten Lebak-Banten. Jumlah Kasepuhan terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan Cibeber-Lebak, yaitu Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek. Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cibadak, dan Kasepuhan Ciherang. Sedangkan Kasepuahan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih berada di Kecamatan Sobang-Lebak serta Kasepuhan Karang yang terletak di Kecamatan Muncang-Lebak. Kasepuhan juga terbagi menjadi Kasepuhan induk, yaitu Kasepuhan besar dan ada juga Kasepuhan kecil atau Kaolotan yang tersebar di berbagai wilayah. Wilayah Kasepuahn berada di sekitar lahan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dengan kondisi wilayah pegunungan dan perbukitan. Wilayah yang berbukit-bukit mempengaruhi sistem pemukiman dan pertanian yang semuanya sangat tergantung dengan alam. Masyarakat Kasepuhan mengandalkan sistem pertanian lahan kering yaitu huma dan juga pertanian lahan basah atau sawah.  Lokasi Kasepuhan yang berdampingan dengan wilayah Konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadikan wilayah tersebut merupakan representasi  terlengkap yang menggambarkan hutan hujan pegunungan yang ada di Jawa. Terdata (diyakini dapat beertambah, karena belum seluruh kawasan diinventarisasi) kawasan ini merupkan habitat bagi lebih daroi 500 spesies tumbuhan, 156 anggrek, 244 spesies burung (27 diantaranya endemik Jawa dengan sebarab terbatas), 16 spesies kodok, 12 spesies kadal, 9 spesies ular dan 61 jenis mamalia khas. Kawasan Ekosistem Halimun adalah kawasan pegunungan yang selalu diselimuti kabut,  masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan itu awalnya lebih mengenal tempat tersebut sebagai Kawasan Gunung Sangga Buana atau Tutugan Sangga Buana atau Leuweung Pangabuan Sangga Buan yang bermakna gunung penyangga bumi, salah satu gunung yang di dalamnya terdapat gunung Halimun. Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul percaya bahwa Gunung Halimun merupakan satu kesatuan urat Gunung Kendeng yang tidak putus dari ujung timur sampai ujung barat dan sebagai penciri dalam pengelolaan wilayah. Pada sebagaian wilayah masih dilarang menggarap (membuka hutan) atau menebang pohon. Kegiatan yang diperbolehkan hanya sebatas pemanfaatan hutan non kayu berupa rotan, madu, jamur dan tanaman obat. Lahan pertanian masyarakat adat Kasepuhan terbilang subur, ditambah dengan metode bercocok tanam sistem tumpang sari. Selain itu dikarenakan masyarakat Kasepuhan rata-rata hanya menanam padi sekali dalam setahun yang kurang lebih dalam kurun waktu enam bulan, artinya ada tenggat waktu sekitar enam bulan antara musim tanam dan musim rumpakjami (musim istirahat). Disadari atau tidak sistem pertanian seperti ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah, mengingat lahan pertanian juga perlu diistirahatkan, perlu waktu untuk kembali memulai kembali proses penyuburan lahan secara alami. Disamping bertani yang merupakan mata pencaharian utama, masyarakat Kasepuhan juga berternak, namun hal ini terkesan ala kadarnya, karena memang bukan merupakan prioritas layaikanya komoditas padi.  Hewan-hewan ternak yang umum dipelihara oleh masyarakat adat diantaranya ayam kampung, bebek, kambing, dan kerbau. Terkesan asal-asalan dalam berternak karena diakibatkan dari salah satu filosofi hidup masyarakat adat yaitu hirup sacukpna (hidup secukupnya) sehingga pada konteks berternak, masyarakat tidak berpikir untuk menjadikannya sebagai komoditi usaha, hanya sebatas keperluan semata, mengingat ayam kampung selalu dipakai untuk acara-acara selametan atau ritual tertentu dan memang tidak boleh menggunakan jenis ayam lain, kecuali untuk konsumsi sehari-hari. Masih terkait dengan hewan ternak, ada hewan ternak yang wajib dikenai pajak, atau masyarakat adat menyebutnya ngajiwa (sensus pada konsep tradisional), hewan tersebut adalah kerbau, setiap kepemilikan kerbau diwajibkan membayar ngajiwa sebesar kurang lebih 5000 ribu rupiah per ekor (tiap Kasepuhan bisa berbeda-beda). Konsep ngajiwa pada hewan ternak merupakan bentuk lain dari sensus ekonomi yang bahkan itu sudah dilakukan sebelum konsep sensus ekonomi modern dilakukan. Hewan kerbau juga merupakan hewan yang diperlakukan dengan baik, mengingat jasa kerbau yang amat besar dalam proses penggarapan sawah (membajak sawah), selain itu dari segi ekonomi harga kerbau terbilang memiliki harga jual yang bagus. Lokasi pemukiman masyarakat adat yang bersinggungan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadikan masyarakat hidup berdampingan dengan hutan, terkait hal ini, masyrakat adat punya pandangan tersendiri tentang konsep hutan. Setidaknya ada empat jenis hutan yaitu : (1) Leuweung tutupan yaitu leuweung kolot/geledegan (hutan tuaimba), hutan ini tidak boleh dijamah; (2) Leuweung Titipan yaitu hutan yang dititipkan oleh karuhun dan boleh digunakan jika mendapat izin dari leluhur melalui wangsit; (3) Leuweung awisan (hutan cadangan) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk lahan pertanian maupun permunikamn pada waktu yang akan datang; (4) leuweung garapan atau sampalan yaitu hutan atau lahan yang boleh dipergunakan untuk keperluan menunjang kehidupan. Pembagian wilayah hutan dalam pandangan adat menjelaskan bahwa konsep kesimbangan antara hidup makmur tanpa mengorbankan alam sudah tertanam dalam tatali paranti karuhun. Masyarakat adat mengakui bahwa hidup harus saling berdampingan dengan alam. pamali bukan sesuatu yang dapat diabaikan atau bahkan dilanggar. Hutan bagi masyrakat adat juga merupakan sirah cai atau sumber air. Sehingga jika merusak ekosistem hutan sama artinya dengan merusak sumber air, sedangkan air merupakan sumber kehidupan, sehingga merusak hutan artinya merusak kehidupan manusia itu sendiri karena masyarakat adat memanfaatkan sumber air murni untuk kebutuhan minum, mandi dan lain sebagainya. Bab 4  Prosedur Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data 4.1.1 Teknik Observasi  Basrowi dan Suwandi menjelaskan bahwa observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data dimana peneliti melihat, mengamati secara visual sehingga validitas data sangat tergantung pada kemampuan observer. Nasution mengatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Dengan kata lain pada proses pengumpulan data peneliti dituntut untuk  mengumpulkan data penelitian seakurat mungkin dan mengesampingkan subjektivitas peneliti dengan hanya fokus pada apa yang diteliti. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi terfokus, yakni salah satu jenis pengamatan yang secara spesifik mempunyai rujukan pada rumusan masalah atau tema penelitian. Teknik Wawancara Wawancara terarah dilaksanakan secara bebas dan juga mendalam (in-depth), tetapi kebebasan ini tetap tidak akan terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada responden dan telah dipersiapkan sebelumnya oleh pewawancara. Pengumpulan data melalui wawancara memiliki kelebihan tersendiri karena data yang diperoleh dapat dikonfirmasi saat itu juga saat wawancara berlangsung, teknik wawancara dapat meminimalisir kesalahan informasi karena peneliti dapat menentukan sendiri siapa narasumber yang dianggap kompeten sebagai sumber informasi. Wawancara dapat dilakukan secara langsung face to face (tatap muka) maupun secara tidak langsung, seperti via telefon atau alat komunikasi lain yang memungkinkan untuk terjadinya kontak pertukaran informasi.  Dokumentasi Metode dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penulisan sosial. Dokumentasi dalam hal ini merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumentasi dapat berupa dokumen yang dipublikasikan seperti buku, jurnal, artikel, surat kabar, berita online, catatan harian dan sebagainya. Dokumentasi juga dapat berupa foto, vidio, rekaman suara, maupun cerita rakyat. Pengumpulan data dokumentsi tidak terpaku pada satu sumber tapi kolaboratif. Sumber Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya langsung. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data yang memiliki sifat kebaruan, hal ini karena langsung diperoleh saat melakukan pengumpulan data. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya secara langsung dengan menggunakan teknik pengumpulan data seperti : wawancara, observasi, diskusi terfokus (focus grup discussion – FGD) dan penyebaran kuesioner. Sumber Data Sekunder Data Sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, Biro Pusat Statistik (BPS), dan lain-lain. Data sekunder dibutuhkan untuk menunjang hasil penelitian dari berbagai perspektif, sehingga hasil penelitian yang disajikan tidak bersifat subjektif. Bab 5 Masyarakat Adat Kasepuhan Karang Profil Masyarakat Adat Kasepuhan Karang Berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Lebak no 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan masyarakat Hukum Adat, terdapat 522 masyarakat Adat Kasepuhan yang tersebar di wilayah Kabupaten Lebak. Kasepuhan adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang terdapat di Kabupaten Lebak. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada  asal  usul  leluhur,  adanya  hubungan  yang kuat  dengan  lingkungan  hidup,  serta  adanya sistem  nilai  yang  menentukan  pranata  ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum. Masyarakat Kasepuhan mempunyai Hak atau kewenangan yang disebut Hak ulayat atau kewenangan masyarakat hukum adat Kasepuhan untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di dalam wilayah adat yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. Salah satu kewenangan masyarakat adat adalah megelola daerah yang menjadi bagian dari Wewengkonnya, Wewengkon adalah wilayah adat yang terdiri dari tanah, air dan sumber daya alam yang terdapat di atasnya, yang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatannya dilakukan menurut hukum adat. Letak Geografis Secara administratif  Kasepuhan Karang masuk ke dalam Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak. Kasepuhan Karang  berada di jalur lintas antara  Kecamatan Sobang  - Kecamatan Sajira – Kota Rangkasbitung.  Kondisi jalan aspal dan sebagian berbatu. Letak Kasepuhan Karang ini dapat dibilang agak jauh, sekitar 35 km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Lebak di Rangkasbitung. Batas Wilayah Batas Utara : Kampung Pondok Raksa Desa Cikarang Batas selatan : Kampung Cilunglum-Cibinglum  Desa Jagaraksa Batas Timur : Desa Kumpay Batas Barat : Kampung Pasir Nangka Desa Pasir Nangka Sejarah Kasepuhan Karang berasal dari turunan Bongbang. Bongbang memiliki arti pasukan kerajaan yang bertugas membuka atau membuat kampung. Sedangkan kata Bobojong adalah fase atau proses cikal bakal  terbentuknya kampung. Oleh sebab itu Kampung Karang disebut juga sebagai Bobojong Bongbang.  Orang karang  berasal dari Kampung  Kosala (Lebak Sangka sekarang), komunitas ini diberikan tugas oleh leluhur mereka untuk menjaga serta memelihara situs kosala sehingga dalam satu tahun sekali situs kosala (karamat) masih di pelihara (jiarah/pangjarahan) oleh Kokolot Karang. Situs Kosala dianggap sebagai titipan (anu dititipkeun). Versi lain menyebutkan arti Bongbang adalah anu Ngaratuan (Ratu)  sedangkan  kelompok lain adalah sajira diartikan sebagai  Panglima.  Kasepuhan Karang  mengalami  fase perpindahan dari  Kosala  pindah ke kampung  Lebuh saat ini  secara administratif  masuk di kecamatan Cimarga.  Dari Lebuh kemudian berpindah lagi ke Sindangwangi  Muncang. Dari Sindangwangi kemudian  pindah ke Kampung Bagu Ciminyak. Dari  Bagu Ciminyak kemudian ke Kampung karang  hingga saat ini. Proses perpindahan kemudian akan terjadi lagi dari Karang akan berpindah ke lahan cawisan yaitu Lebakpatat  kemudian ke Kosala dan berakhir di wilayah jasinga. Proses perpindahan didasarkan pada wangsit yang diterima oleh kokolot. Perpindahan pun sangat dipengaruhi oleh masuknya ajaran agama. Sehingga proses pindah hanya diikuti oleh kokolot dan baris kolot (pemangku adat)  sedangkan incu putu diberikan keleluasaan untuk menetap tinggal dikampung yang telah didiami dengan filosofi “ngaula karatu tumut kajaman” yang memiliki arti mengikuti dinamika perubahan jaman yang berlangsung artinya kaolotan karang memberikan kebebasan bagi warganya untuk menentukan pilihan. Sedangkan wilayah-wilayah yang dijadikan perpindahan adalah wilayah adat keturunan Bongbang atau dikenal oleh masyarakat kasepuhan karang adalah tanah bongbang. Diperkirakan dari mulai jaman Belanda-Jepang sudah sampai di Kampung Karang dan telah mengalami pergantian empat kokolot yaitu Kolot Asmir, Kolot Narsim, Kolot Sadin, Kolot Icong. Konsep Hutan Masyarakat Hukum Adat Masyarakat Adat Kasepuhan hidup bergantung pada alam, mereka memanfaatkan apa yang alam sediakan tanpa mengambilnya scara berlebihan. Pemahaman tentang menjaga alam sudah tertuang sejak Kasepuhan itu ada, hal ini terbukti melalui beberapa tatali paranti karuhun yang isinya mengacu pada bagaiamna seharusnya hidup menyelaraskan dengan alam, seperti pemahaman konsep tentang hutan misalnya. Konsep hutan, masyarakat punya pandangan tersendiri. Jika pemerintah mempunyai program zonasi hutan lindung, maka masyarakat adat Kasepuhan mengenal adanya leuweung tutupan, leuweung titipan, leuweung awisan dan leuweung garapan/sampalan yang merupakan bagian dari tatali paranti karuhun. Leuweung Tutupan, disebut juga leuweung kolot/leuweung geledegan (rimba), merupakan sebuah lahan hutan yang masih terjaga keasliannya. Habitat dan vegetasinya masih tidak tersentuh. Masyarakat adat mengkategorikan hutan ke dalam hutan larangan yang sama sekali tidak boleh diganggu gugat, bahkan masyarakat adat meyakini bahwa hutan ini dijaga oleh makhluk gaib, dan siapapun yang mencoba memasuki dan mengganggu keaslian hutan ini akan tertimpa kabendon (kuwalat). Ketika sudah berhubungan dengan kabendon atau sesuatu yang melanggar aturan adat maka tidak ada tawar menawar lagi bagi masyarakat hukum adat.  Leuweung Titipan, lahan hutan ini merupakan titipan dari karuhun. Mengenai penggunaannya masyarakat adat belum diizinkan sebelum ada wangsit dari karuhun untuk membuka atau menggarapnya. Aturan pada hutan ini tidak seketat leuweung tutupan, jika memang ada kebutuhan mendesak yang harus diambil dari hutan ini, maka masih bisa dimasuki namun harus celuk (meminta izin kepada karuhun). Leuweung Awisan, yaitu hutan atau lahan cadangan yang akan digunakan untuk lahan pemukiman atau lahan garapan pada masa yang akan datang, setelah ada perintah atau wangsit yang mengharuskan untuk berpindah atau ngalalakon (berkelana). Pusat kasepuhan memang selalu berpindah-pindah sesuai perintah karuhun. sehingga bukan tidak mungkin jika kepindahannya bukan semakin ke tempat yang ramai, tapi justru semakin menjauh dan terpencil memasuki lahan atau hutan baru. Leuweung sampalan, lahan hutan ini merupakan hutan garapan yang digunkan untuk pemukiman dan lahan pertanian.  Pemahaman tentang konsep hutan ini merupakan sebuah kearifan lokal yang bahkan sudah ada sebelum gaung pembagian zonasi hutan lindung oleh pemerintah, artinya masyarakat adat Kasepuhan sejak dahulu sudah memahami betapa pentingnya hutan untuk kehidupan, hutan adalah sirah cai (sumber mata air) sehingga jika merusak hutan maka artinya merusak sumber air, dan merusak sumber air bearti merusak keberlangsungan hidup masyarkat adat.  Pemanfaatan hasil hutan seperti kayu untuk membangun rumah juga dibatasi. beberpa pohon yang diperbolehkan untuk digunakan untuk membangun rumah yaitu, pohon puspa, kisereh dan pasang.  Dibeberpa kasepuhan akan sedikit berbeda, tapi satu hal yang pasti bahwa  penggunaan hasil hutan dibatasi hanya sekedar untuk kebutuhan mendesak saja, hasil hutan lain yang boleh dimanfaatkan adalah tanaman obat yang terdapat dihutan, pohon gaharu dan pohon kemenyan yang digunakan juga sebagai alat ritual adat, selain itu ada pula rotan yang digunakan untuk bahan pembuatan berbagai perkakas dapur dan perkakas lain yang memang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk membuat kaneron (tas tradisional dari rotan). Pemnafaatan yang serba dibatasi, artinya sangat mempertimbangkan kelangsungan atau kelestarian hutan itu sendiri, hal ini sangat bertolak belakang dan para oknum yang mengekplorasi hutan tanpa tnaggung jawab. Mereka melakukan penebangan hutan untuk kepentingan pribadi.  Sementara itu konsep hutan adat diatur dalam Peraturan Daerah no 8 tahun 2015 tentang, Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. Disitu dijelaskan bahwa : Leuweung Kolot atau disebut dengan Leuweung Tutupan adalah wilayah adat yang berdasarkan hukum adat dipertahankan sebagai wilayah konservasi lingkungan. Leuweung Titipan atau Cawisan adalah wilayah adat yang berdasarkan hukum adat dipertahankan sebagai wilayah cadangan untuk kegiatan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. Leuweung Sampalan atau Garapan adalah wilayah adat yang berdasarkan hukum adat dipergunakan untuk kepentingan mata pencaharian atau pemukiman masyarakat hukum adat. Leuweung Kolot atau Titipan adalah hutan adat yang berada di dalam wilayah adat. Dari sekian banyak Kasepuhan yang ada di Kabupaten Lebak, baru Kasepuhann Karang yang sudah secara resmi mempunyai hutan adat sendiri dan sudah disahkan langsung oleh Presiden. Mengutip pemberitaan yang di muat di halaman RMI Bogor “Masyarakat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten, kini bisa bernafas lega. Pasalnya, perjuangan selama tiga tahun untuk mendapatkan pengakuan hak hutan adat dari pemerintah dapat diwujudkan. Setelah melewati dua kali tahap verifikasi dan validasi sejak pengajuan penetapan hutan adat 5 Oktober 2015, hari ini (30/120), Presiden Jokowi menetapkan status hutan seluas 486 hektar yang dikelola turun-temurun oleh masyarakat adat Kasepuhan Karang. Luas hutan adat Kasepuhan Karang yang ditetapkan adalah 485,366 hektar yang terdiri dari 389,207 hektar hutan tutupan dan hutan titipan dan 96 hektar di wilayah Gunung Haruman  masyarakat adat Kasepuhan Karang. Luas tersebut dalam SK Penetapan Hutan Adat menjadi 486 hektar, dengan keterangan 462 hektar berada dalam wilayah TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak) dan 24 hektar berada di wilayah APL (Areal Penggunaan Lain). “Alhamdulillah hutan adat kami sekarang sudah diakui pemerintah, ibu menteri sangat memahami apa yg dibutuhkan oleh masyarakat adat. Ini tentu menjadi penguat semangat kami untuk memperkuat pengelolaannya, termasuk keterlibatan anak muda adat,” ujar Kepala Desa Jagaraksa, Jaro Wahid, sebagai perwakilan Kasepuhan Karang.” Selain PERDA, penegakan hak ulayat masyarakat adat juga tertuang dalam Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang isi putusannya mengacu pada “Hutan adat adalah hutan hak dan bukan merupakan hutan negara”. Sehingga jika ada hutan adat yang masih masuk claim sebagai hutan negara, maka negara wajib mengeluarkannya dan mengembalikannya kepada masyarakat adat, karena itu merupakan perintah undang-undang. Putusan tersebut merupakan legal standing bagi masyarakat adat sebagai penjaga dan pelestari hutan. Disinilah pemerintah harus bersama-sama dengan masyarakat adat untuk segera merealisasikan putusan tersebut, guna melestarikan alam dan lingkungan tempat manusia hidup dan mempertahankan kehidupannya.   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Scandal Para Ipar

read
692.7K
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.4K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
622.7K
bc

Marriage Aggreement

read
80.1K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
859.4K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook