bc

On Eternal Patrol

book_age16+
216
FOLLOW
1.9K
READ
fated
brave
drama
sweet
captain
sentinel and guide
lonely
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

“Tolong tanda tangan surat ini!” pinta Ayu dengan dingin.

“Surat apa?” tanya Satya tak mengerti.

“Perceraian!”

Batin Satya terpukul, ketika istrinya mengajukan gugatan cerai atas dirinya. Meskipun ia adalah seorang prajurit, yang bertubuh kekar dan gagah, hatinya tetap rapuh jika harus menerima kenyataan bahwa sebentar lagi biduk rumah tangganya akan tenggelam.

Di awal-awal, Ayu dengan emosional memang berikrar untuk ikhlas menjalani sisa hidupnya menjadi istri seorang prajurit. Namun seiring berjalannya waktu, logika mengalahkan emosi, kenyatan terasa berat dibandingkan lisan yang terucap. Apalagi ketika Satya harus memilih antara menemani anaknya yang tengah sakit keras di rumah sakit atau menjalankan tugasnya sebagai anggota Kopaska yang siap mati di medan pertempuran.

Satya bersikeras mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Ayu, seperti ia mempertahankan kedaulatan negara. Hingga takdir berkata lain, ketika sebuah kapal selam militer naas harus membawanya ke tengah lautan lepas, demi tugas. Menyisakan asa yang mendalam untuk kembali pulang pada istri dan keluarganya.

Akankah Ayu menarik gugatan cerai kepada Satya? Atau ia tetap pada pendiriannya untuk mengakhiri rumah tangga? Dan apakah Satya bisa kembali pulang? Atau malah berpulang keharibaan Ilahi?

(Cover: Orisinal |

Pembuat: Annisaa T.K

Gambar:

h****://www.paxels.com/ |

Font:

Lucidity Condensed by Canva

Odibee Sans by Canva

Open Sans by Canva)

chap-preview
Free preview
Prolog
“Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung luas samudra Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Angin bertiup layar terkembang Ombak berdebur di tepi pantai Pemuda b'rani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai,” “Wah... hebat!” “Adik kamu pinter banget sih, Ay!” kataku lagi, sambil bertepuk tangan. Terkagum-kagum melihat seorang anak kelas 4 SD begitu fasih menyanyikan lagu yang diajarkan turun temurun itu. “Eh, kamu, Sat, kok gak bilang mau ke sini?” Sambut Ayu. Ia berjalan dengan mimik gembira, menghampiriku. Dia itu, dia itu bisa dibilang Ayu, maksudku teman. Teman dengan kedekatan khusus. Kami satu sekolah, hanya beda kelas. Tahun ini adalah tahun terakhir kami menempuh jenjang sekolah menengah atas. Waktu memang berjalan sangat cepat, tak terasa tiga tahun di SMA sudah akan berakhir. Kemarin aku dipanggil ke ruang BK. Bukan, bukan karena aku brutal atau terlibat tawuran, justru Bu Lisa ingin memberikan informasi tentang rekruitmen Taruna AAL. Ia memberikan sebuah leaflet yang berisi syarat-syartnya, agar aku bisa mulai bersiap-siap. Ia memang niat sekali membantuku, supaya aku bisa ikut saringan, syukur-syukur lolos, demi nama baik sekolah juga, itu yang aku tangkap dari pertemuan kami kemarin. Sepertinya satu sekolah sudah tahu kalau aku memang sangat terobsesi menjadi anggota Kopaska. Bukan hanya cita-cita saja, aku juga fans berat pasukan elit TNI yang satu itu. Jika kamu masuk ke kamarku, jangan kaget, menemukan semua poster Kopaska tertempel di dinding, alih-alih poster binaragawan atau pemain band. Bukan apa-apa, Kopaska, menurutku mereka itu keren. Ada beberapa souvenir Kopaska yang juga aku koleksi, ada pin, mug, emblem, topi, kaos, entah dari mana aku punya semua itu, lupa. Yang pasti, sebagian ada yang aku beli sendiri di Blok III Pasar Senen, dan sisanya, orang memberikannya sebagai cendera mata, karena mereka tahu aku sangat tergila-gila dengan Kopaska. “Iya, tadi lewat sini, mampir aja sekalian,” jawabku. “Ayo, masuk, Sat!” Ayu membukakan pintu rumhanya lebar-lebar. “Makasih, kok sepi, Ay? Ibu dan Bapak ke mana?” tanyaku heran, biasanya akhir pekan anggota keluarga Ayu semua ada di rumah. “Ibu ada di dapur, kalau Bapak lagi cari kostum buat penampilan Sandi lusa,” “Oh begitu ya, ngomong-ngomong aku menggangu gak nih?” perasaanku sedikit tidak enak, sepertinya tadi Ayu memang sedang berkonsentrasi mendampingi adiknya latihan menyanyi. “Nggak, lah, aku seneng kok digangu sama kamu,” canda Ayu. “Ah, kamu bisa aja,” “Sandi, ayo kasih salam sama Bang Satya!” perintah Ayu pada adiknya yang bulan kemarin baru genap berumur 10 tahun. “Halo, Bang Satya!” katanya sambil mencium punggung tanganku, agak geli sih, bahkan setelahnya ia meninggalkan sedikit air liur, atau entah ingus, yang menempel di tanganku. “Bentar,” kataku. Aku jadi teringat ada sebatang coklat di tasku, tadinya mau aku berikan pada Ayu, tapi sepertinya coklat ini memang rezeki adiknya. Aku pura-pura mencari coklat itu di dalam tas ransel, sambil sekalian mengelap lendir yang menempel di punggung tanganku dengan lapisan berbahan parasut yang terjahit rapi di dalam tas. Agak sulit, karena ternyata secepat itu lendirnya mengerak. “Nah ini dia!” sebatang coklat nan lezat sudah aku keluarkan dari tas dan kutunjukan di depan mata mereka. “Lha, kok cuma satu sih, Sat?” tanya Ayu dengan mimik muka agak kecewa, ternyata dia sudah punya firasat kalau coklat itu tidak akan menjadi miliknya. “Iya, itu tadi kembalian mini market,” jawabku sekenanya saja. “Huh… mana ada kembalian mini market coklat 20 ribuan,” gerutu Ayu. “Iya… iya… nanti aku beli lagi deh buat kamu!” hiburku. Aku paling tak suka melihatnya cemberut begitu. “Jadi ini buat aku, Bang?” tanya Sandi. “Nggak mau? Kalau gitu Abang kasih Kakakmu ya?” canda Satya. “Ya elah, lama amat, udah sini ah!” Ayu mengambil coklat dari tanganku. Dan dalam hitungan tiga sudah kupastikan akan ada tangisan pecah. 1… 2… 3… “Kak Ayuuuu!!!” teriak Sandi sambil menangis kencang. “Ya udah, ini nih…” Ayu panik buru-buru menyerahkan coklat yang ia rebut ke tangan Sandi. Seketika tangisan berhenti, bukan karena coklatnya sudah di tangan Sandi, tapi tiba-tiba Ibunya Ayu muncul dari dapur. “Wah...wah… seru sekali sepertinya?!” katanya. “Eh, ada Nak Satya, sehat, Nak?” dia baru menyadari kehadiranku. “Sehat, Tante,” aku memberi salam hormat dengan mencium tangannya, tanpa membubuhkan ingus tentu saja. “Aduh makin ganteng aja,” katanya lagi padaku. Tante paling pintar membuat hidungku seperti terbang. “Ehem…” Ayu tiba-tiba berdeham. “Eh udah ada yang punya, ya?” komentar ibunya nakal. Aku bisa melihat wajah Ayu seketika memerah, bagai udang rebus. “Kita ngobrol di teras, yuk!” ajak Ayu, sambil menarik lenganku. Sesaat kemudian kami sudah berada di teras depan rumah Ayu, yang dipenuhi pot kembang dan tumbuhan hias milik Ibunya, kebanyakan adalah tanaman Lidah Mertua dan Bonsai. Entah mengapa kami begitu canggung, tidak biasanya. Ayu yang ceriwis, hanya diam mematung. Apalagi aku yang pada dasarnya memang tidak begitu suka bicara. Sesekali angin sepoi-sepoi menyapu wajahku, terasa sejuk di tengah matahari terik Kota Jakarta. Dan menyapu wajahnya juga, aku bisa melihat poninya bergerak-gerak seperti terbang. “Aku mau bicara!” ucap kami berbarengan. “Ya sudah kamu dulu,” kataku. Aku terbiasa dengan pepatah lady first. “Hmm…” dia berpikir begitu lama. “Ya sudah aku dulu kalau gitu,” kataku tak sabar, aku menawarkan opsi yang lain. “Ya sudah kamu dulu,” jawabnya. “Ay, kamu tahu perasaan aku ke kamu gimana?” ucapku lirih. Sebetulnya percakapan ini adalah percakapan paling canggung yang pernah aku lakukan dengan seseorang. Ayu hanya mengangguk, kemudian terdiam lagi. “Hmm… kamu sudah siap menghadapi ujian akhir sekolah?” aku membelokan pembicaraan, karena sejatinya aku tak bisa mengatakan ini, ketika aku sudah nyaman bersamanya dengan kondisi seperti apa pun. “Sudah, kamu sendiri?” dia balik bertanya. 2 bulan lagi kami akan UN. “Sedikit, maksudku sedikit-sedikit aku belajar, biar nanti saatnya tiba, semua materi sudah masuk ke otakku,” aku tak tahu harus jawab apa. Ayu hanya tersenyum, mungkin pikirnya ini lucu. “Hmm… rencananya kamu setelah lulus mau apa?” tanyaku. “Belum tahu, kayaknya pilih Universitas yang cocok,” “Di Jakarta?” “Iya... kamu?” “Aku? kalau lulus saringan Taruna AAL aku harus berangkat ke Surabaya. Ini baru ‘kalau’, belum tentu juga aku lolos seleksi,” jawabku. Aku bisa merasakan hatinya yang galau. “Kamu serius mau jadi tentara?” tanyanya tiba-tiba. “Ya, kemarin aku sudah mulai mengumpulkan dokumen-dokumen untuk persyaratannya,” “Aku gak bisa jauh dari kamu!” ucap kami berbarengan lagi. Seketika aku merasa pipiku memerah bagai tomat, dia juga. “Masa depan kita masih panjang, Ay, ortu kita pasti berharap banyak pada kita,” entah mengapa aku bisa-bisanya berkata seserius ini. “Aku tahu,” responnya. “Ya, aku ingin kita fokus sama masa depan kita,” aku bingung harus mulai dari mana, tapi demi kami, aku harus mengatakannya. “Kita putus!” Aku bagai tersambar petir mendengar Ayu akhirnya mengatakan itu. Tapi sekaligus lega, satu beban berkurang. Ternyata, dalam kondisi apa pun kami memang sehati. Kata “putus" yang ingin aku katakan dari tadi, meski tak tega. “Ya, kita putus!” responku. Mengiyakan. Aku dapat merasakan perasaannya yang terluka dan kecewa, matanya mulai berkaca-kaca. Dan sedetik kemudian kepalanya sudah berada di pundaku, air matanya mengalir. Ia menangis. Aku tak tahu harus berbuat apa, yang bisa kulakukan hanya diam, dan menepuk-nepuk pangkal tangannya. Semoga itu bisa membuatnya lebih baik. “Kalau kita jodoh, aku yakin kita pasti akan dipertemukan lagi dalam kondisi yang lebih baik,” janjiku, dengan suara yang tertahan. “Janji?!” katanya sambil terisak. Aku cukup mengangguk.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook