bc

Die Karte

book_age16+
121
FOLLOW
1K
READ
adventure
warrior
mystery
magical world
supernature earth
special ability
like
intro-logo
Blurb

Aaric adalah seorang dokter ahli bedah di sebuah rumah sakit besar di Kota München, Jerman. Ia terkejut ketika tiba-tiba ia memilki kekuatan untuk mampu membaca takdir orang-orang disekitarnya, bahkan ia dapat membaca dengan sangat jelas rentetan peristiwa-pristiwa yang akan terjadi pada satu rentang masa.

Banyak pertanyaan tentang dirinya yang berkecamuk, hingga suatu ketika ia menemukan jawaban, bahwa sejatinya dirinya yang sebenarnya adalah seorang Rein. Satu populasi masyarakat yang memiliki insting supranatural yang sangat kuat.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

---------------

Cover: Orisinal

Pembuat: Annisaa T.K

Gambar:

h****://www.paxels.com/

font:

Playlist Script by Canva

Open Sans by Canva

Cardo by Canva

chap-preview
Free preview
Prolog
Edinburgh, 1661.   Teriakan, tangis, lengkingan itu terdengar sangat mengerikan dari setiap sudut tempat. Tak ada yang luput dari amukan kelompok-kelompok tak berbelas kasihan itu. Suasana mencekam mengisi seluruh kota, semua ketakutan, tak terkecuali bayi yang belum tahu apa-apa dan seharusnya masih terlelap dalam buaian Sang Ibu, mereka menangis sekencang-kencangnya melihat Ibu-ibu mereka digerek dengan rantai yang terikat di pergelangan kaki dan tangannya, tanpa tahu apa dosa mereka. Tubuh penuh lebam, bahkan sebagian pakaiannya sudah terlepas dari tubuh, habis dimakan hotmik jalanan saat mereka diseret dengan paksa. Ada sekitar lima wanita muda berjalan sempoyongan, dengan kaki saling terikat satu sama lain, dan digiring layaknya hewan ternak yang sudah saatnya masuk rumah jagal. Pemandangan mencekam, tatapan nanar penduduk-penduduk kota yang melihat dengan mata kepalanya sendiri kengerian itu, sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sebagian menangis, sebagian lagi menatap dengan pandangan sinis dan jijik, menjadi sangat lazim ditemui di setiap sudut Kota Edinburgh, jantung Skotlandia. Nyala api berkobar-kabar dari tungku-tungku pembakaran, menjadi hal yang lumrah. Tak ada yang aneh dengan tungku-tungku itu, sebagian besar rumah tangga memilikinya di setiap dapur-dapur mereka, yang biasanya mereka gunakan untuk memasak dan membuat babi guling. Tapi kini menjadi ketakutan yang luar biasa ketika tungku-tungku itu diubah menjadi tungku-tungku raksasa, untuk membakar daging manusia, yang mereka sebut: Penyihir.  “Srek... srek... srek... “ suara rantai menggores jalan. Sungguh memilukan. Akhir abad pertengahan memang periode waktu yang paling mengerikan sepanjang sejarah Eropa. Terutama ketika Gereja Katolik Roma resmi mengeluarkan surat kepausan yang mengutuk berbagai bentuk tindakan penyimpangan agama dan praktik-praktik ilmu hitam. Sejak saat itu dimulai masa perburuan penyihir besar-besaran di daratan Eropa oleh para witch hunter, yang bengis dan bar-bar. “srek... srek... srek...” suara rantai diseret. Rantai yang mengikat dengan erat kaki Eleanor Lloyd. Ibu satu orang bayi berusia enam bulan. Ia dituduh menyebarkan sihir, dengan memasukkan paku ke dalam gelas minuman majikannya.  *** Salju turun. Padahal seharusnya cuaca sudah menghangat di bulan maret, matahari nyaris tak muncul hari ini, mungkin ini adalah musim dingin terpanjang dalam hidup Eleanor. Bahkan mungkin dia tak akan pernah sempat lagi merasakan hangatnya matahari di musim semi.  Penjara sempit di bawah tanah yang dingin dan lembab menjadi rumah terakhirnya, ia meratap sambil menanti keputusan pengadilan atas dirinya, yang sebetulnya tidak ingin ia dengar. Hewan pengerat dan hewan melata yang masuk lewat lubang-lubang, bukan lagi hal yang menggelikan untuknya. Hanya ada satu ventilasi udara di ruang pengap itu, sebuah jendela bergerigi berukuran 20 cm x 30 cm, yang jika beruntung ia bisa melihat semburat cahaya matahari masuk menerobos lewat sela-selanya. Jadi sangat mustahil untuk melarikan diri. Hawa dingin terasa menusuk tulangnya, tubuhnya yang dulu molek dan segar, sekarang terlihat tak lebih seperti mayat hidup. Pipinya tirus dan matanya cekung, hanya hidungnya saja yang terlihat semakin lancip menjulang karena wajahnya yang berubah menjadi lebih oval. Wajahnya sekarang benar-benar memang mirip seperti seorang penyihir yang digambarkan kebanyakan orang. “Hei, jelek! Cepat keluar, atau kau lebih suka membusuk di sana, hah?” teriak Sipir Penjara dengan raut wajah sinis dan bengis. Laki-laki tinggi besar itu adalah sipir penjara khusus yang langsung di rekrut oleh Gereja untuk memburu para penyihir atau siapa pun yang memiliki kaitannya dengan praktik ilmu hitam. Beruntung Eleanor hidup di pertengahan abad ke-16, jika ia lahir lebih cepat, takdirnya mungkin tidak akan sebaik ini. Walaupun sejatinya tidak ada satu pun orang yang ingin berada di posisinya, entah dulu, sekarang, atau pun nanti. Sebelum ada prosedur peradilan untuk para penyihir, setiap orang yang dituduh, baik karena fakta maupun fitnah, akan langsung di eksekusi tanpa diadili lebih dulu. Sehingga hal ini menjadi celah manis untuk orang-orang jahat yang memiliki kepentingan tertentu maupun muatan politik. Mereka bisa seenaknya menuduh siapa pun yang mereka mau, lawan politik, saingan bisnis, atau orang yang tidak mereka sukai sebagai penyihir. Dan serta merta tanpa pembelaan dan penyelidikan, para tertuduh diarak dan dihakimi. Seolah-olah mereka adalah benar-benar sesuai apa yang dituduhkan kepadanya. Kejam. “Cepat!!!” teriak Sipir itu. “Srek... srek... srek... “ suara langkah kaki Eleanor yang lemah terasa begitu sulit, akibat ikatan rantai besar yang beratnya mungkin lebih dari berat tubuhnya. “Kau bisa cepat tidak, Penyihir?!” bentaknya lagi pada Eleanor. Tapi Eleanor tidak menjawab apa pun, apa lagi melawan. Tiba-tiba terlintas di benak Eleanor wajah bayinya, pasti kini ia sudah berusia lima tahun. Tak terasa sudah lima musim dingin ia berada di penjara ini. Tapi, baginya terasa seperti seribu musim dingin, karena musim apa pun di luar sana, rasa dingin dan sepi selalu menyelimutinya. “Kau bisa Cepat tidak? Kau takut ya menemui ajalmu... ha... ha... ha,” tawa Sipir Penjara itu mengejek. Hari ini adalah hari persidangan Eleanor, hari di mana tidak ada dan tidak akan pernah ada keadilan baginya. Ruang sidang begitu ramai, penuh orang berjejal, hingga ruangan kecil itu seperti hendak memuntahkan isinya. Dari lima orang yang dijemput paksa malam itu, tiga lain sudah lebih dulu berakhir di perapian, mungkin lebih baik begitu daripada menunggu bertahun-tahun di penjara, seperti hidup segan mati tak mau. Ah ya, ada seorang lagi, musim dingin tahun lalu ia sudah membusuk di penjara, sisa daging dan tulang belulangnya diberikan kepada anjing liar. “Hadirin yang terhormat, dimohon tenang,” suara Hakim Ketua membuka sidang, lalu mengetuk palu beberapa kali. Berangsur-angsur ruangan sidang menjadi lebih tenang dari sebelumnya. “Kita hadirkan terdakwa ke ruang sidang,” keriuhan kembali pecah, sumpah serapah terdengar begitu lantang dari setiap sudut ruang sidang. “Eleanor Lloyd, usia 30 tahun, tertuduh penyebar sihir di keluarga Sir Rudolf Edward Lawton lima tahun lalu, dipersilahkan berdiri di podium!” narasi seorang petugas ruang sidang. Kaki Eleanor yang kaku menaiki podium, disambut teriakan dan komentar para penonton sidang yang riuh. Ia memandang ke arah pojok, ada empat orang yang sedang duduk tertunduk, hanya mereka yang tidak ikut menghardik. Eleanor hampir lupa wajah ibu, kedua adiknya, dan seorang anak perempuan mengenakan gaun lusuh, yang sudah dapat dipastikan itu pasti bayinya yang kini sudah tumbuh menjadi balita yang cantik.  “Eleanor Lloyd, Anda merupakan terdakwa atas penyebaran sihir di keluarga Sir Rudolf Edward Lawton majikan Anda lima tahun silam, dan hari ini akan kami bacakan keputusan nasib Anda. Setelah menerima laporan dari yang bersangkutan Sir Rudolf Edward Lawton sebagai korban, kami menyatakan Anda terbukti melakukan sihir kepadanya dengan ditemukannya sebatang paku di dalam gelas minuman yang hendak diminum oleh majikan Anda, Sir Rudolf Edward Lawton. Dengan ini pengadilan memutuskan Anda dihukum sesuai peraturan yang berlaku terhadap Anda!” ucap Hakim Ketua lantang, diikuti ketukan palu tiga kali yang mengatakan sidang telah mencapai titik final.  Tanpa kesempatan untuk membacakan Pledoi pembelaan diri, tanpa ditemani juga pembela hukum, Eleanor harus menelan mentah-mentah keputusan sidang secara sepihak. Yang sejatinya hanya lah formalitas belaka. Tepuk tangan terdengar ramai dari dalam ruang sidang, diikuti hardik dan sumpah serapah orang-orang yang hadir tanpa tahu etika praduga tak bersalah, tanpa tahu sopan santun. Memang seperti itu lah pemandangan yang selalu berulang setiap kali pengumuman keputusan pengadilan bagi para tertuduh penyihir. Keempat orang tadi, yang duduk di pojok ruangan menangis. Karena tak tahan dengan kenyataan ini, mereka pun akhirnya ke luar dari ruang persidangan dengan wajah penuh air mata, tanpa berani menatap wajah kerabatnya yang sedang berdiri di podium untuk terakhir kalinya, tanpa bisa mengucapkan kata perpisahan. Kemudian Eleanor diarak ke sebuah lapangan, yang di tengahnya sudah mengepul asap dari sebuah tungku pembakaran dengan nyala api yang berkobar-kobar, siap menjilat apa pun yang masuk ke dalamnya. Dan setelah itu tak pernah ada kabar lagi tentangnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.7K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

Time Travel Wedding

read
5.2K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.1K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook