bc

Pelangi Pagi

book_age12+
1.0K
FOLLOW
9.1K
READ
arranged marriage
scandal
aloof
police
student
drama
tragedy
no-couple
another world
teacher
like
intro-logo
Blurb

Polisi atau Tentara? Dua duanya sama sama abdi negara. Sama sama berjasa dalam melindungi negeri, so jika kalian jadi Silvia. Mau pilih yang mana sih? Mau jadi istri prajurit biar bisa pake baju persit yang hijau itu, atau mau jadi ibu bhayangkari yang berseragam pink? Ikuti kisah nya dengan menarik disini.

chap-preview
Free preview
BAGIAN 1
Takdir tidak akan salah mengukir . . . ❤LS❤ Pukul setengah tujuh pagi Silvia sudah rapi dengan pakaian dinasnya. Tidak lupa rambut yang ia gerai ditambah sepatu pantofel yang membalut kaki lenjangnya. Suara hak sepatunya beradu dengan lantai koridor sekolah yang masih sepi. Silvia sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia meruntuk pada dirinya sendir jika saja ia menyelesaikan tugasnya dengan benar kemarin, mungkin sekarang ia masih bisa berdandan manja di depan cerminnya. Dengan langkah yang tidak santai Silvia menerobos koridor yang masih sepi hanya ada hembusan angin pagi menelusuk kedalam kulitnya yang hanya terbalut pakaian dinas berwarna biru dongker tanpa balutan jaket. s**l mungkin seharusnya Silvia membalut tubuhnya dengan jaket atau perlu selimbut yang tebal. Berbanding terbalik dengan runtukannya dalam hati, justrul cuaca hari ini terlihat akan cerah pertanda baik mungkin untuk seorang gadis yang sedang mengumpat kedinginan. Dipersimpangan koridor kaki Silvia berbelok ke arah kanan memasuki sebuah ruangan dengan papan besar di atas pintu bertuliskan "ruang guru". Namun, ada yang unik pagi ini. Dandanan Silvia tak cukup menarik dari biasanya tidak ada lipstik merah muda yang teroles dibibir tipisnya, jika biasanya seorang Silvia tidak akan tampil percaya diri tanpa lipstik mungkin hari ini akan berbeda ceritanya. Saat gagang pintu dibuka Silvia mendapati sosok yang tidak asing lagi, sosok yang berjuang dengannya selama delapan semester dan berakhir dengan bekerja di sekolah yang sama. "Lah, kamu udah di sini rupanya." Celetuk Silvia pada Leni, Leni adalah sahabatnya semasa duduk di bangku sekolah menengah lalu kuliah dalam jurusan dan universitas yang sama dan hingga saat ini ia masih setia bersama dengan dirinya. "Iyah kemarin malem laptopku tiba tiba ngeblank all hasil semua data yang udah aku susun ikutan ngeblank." umpat Leni ucapannya terdengar seperti curhatan bukan jawaban lebih tepatnya. Namun sama seperti halnya Leni, wajah Silvia kini tak jauh berbeda dengan tampang sahabatnya itu. Wajah murung, dengan rambut tergerai asal dan segelas teh mengungkap bahwa mereka mereka tidak baik baik saja. "Banyakin elus d**a aja Len," balas Silvia di ikuti tawa renyahnya. Silvia duduk disebelah Leni, kemudian mengambil isi tasnya. Kini komputer itu telah bertengger manis di atas meja dan siap ia nyalakan. "Biar apa elus d**a?" Tanya Leni dengan wajah datarnya. Silvia menghela nafas berat, "Biar dingin." Jawab Silvia asal ceplos, ia sudah mulai terfokus pada data di layar monitor. "Oh kek kulkas." Balas Leni acuh, ah rasanya Silvia benar benar ingin mengupgrade otak sahabatnya ke versi yang lebih baru. Mungkin ia bisa mengganti otak sahabatnya dengan otak robot saja atau otak otak ikan yang sering dibelinya. Dengan u*****n saja Silvia lebih memilih tidak menjawab ucapan leni, tidak ingin semakin panjang menjelaskan hal yang menurutnya sepele. Dan malah membuat mood paginya makin hancur padahal pagi sedang begitu bersahabat dengan dirinya kecuali hawa dingin ini. Kemudian ada langkah yang terdengar mendekat, Shilvia enggan menolehnya bodo amat saja pikirnya siapa pun itu yang datang. "Eh rajin banget Ibu Via sama bu Leni," dengan terpaksa Shilvia menoleh mendapati pa Sigit, guru matematika yang menyapanya. Jangan heran mengapa Silvia dipanggil Via, itu adalah nama panggilan bersejarah bagi Silvia dahulu Alm neneknya yang telah tiada kini, mewariskan nama itu padanya jadi hingga saat ini Silvia selalu bangga ketika orang orang memanggil dirinya dengan sebutan Via. "Iyah pa ini masih banyak data yang belum beres," balas Silvia sambil kembali terfokus. "Bener pa." Timpal Leni kemudian tanpa sedikitpun ingin berpaling dari komputernya. "Iyah bagus kalau gitu cepat bereskan lalu kirim ke email saya, nanti saya tunggu sampai jam dua belas siang ini!" Ada nada suruhan disana yang jelas Silvia langsung mengumpat, baru saja ia dipuji sekarang merasa didzolimi. Bagaimana mungkin data seratus lima puluh anak harus ia kumpulkan jam dua belas siang ini dan jika dihitung menuju jam dua belas itu hanya lima jam lagi, rasanya jika bukan karena tanggung jawab dan sumpahnya mungkin Silvia akan memilih mundur dari tugasnya menjadi sorang guru. Memilih berimajinasi saja dengan tumpukan novel dan sajak dirumahnya. "Hehe oke siap pa." "Sip semangat ibu ibu muda," Pa Sigit berlalu menuju meja kerjanya, ucapan semangat dari pa Sigit hanya dibalas senyuman tipis oleh Silvia. Nyemangatin sih biar cepet beres datanya buat dia, umpat Silvia dalam hati. Eh bukanya tidak baik pagi pagi sudah mengumpat? Sudahlah lupakan saja. Tidakk terasa sudah satu jam berlalu, hingga suara bell berhasil membuyarkan pikiran Silvia, mengingat jika pagi ini ia ada jadwal mengajar di kelas dua. Memegang jabatan sebagai guru matematika dan wali kelas itu tidaklah mudah, ketika ada anak yang bermasalah pasti ia yang terdahulu akan di sidang oleh kepala sekolah. Tapi inilah cita citanya sejak dulu, menjadi seorang guru dan sekarang ia hanya tinggal ikhlas mengamalkan ilmunya. "Bu Via gak masuk kelas?" Tanya bu Ani yang sudah siap dengan setumpuk buku paket dalam dekapannya. " baru mau masuk bu, ini baru mau siap siap." Jawab Silvia sambil mengambil beberapa buku dari dalam laci mejanya. "Ya cepet bu, ntar anak anak pada berisik di kelas." tambah Pa Rizki, sosok guru terbaik di mata Silvia sudah ganteng mapan pula. Lumayan dapet moodboster sebelum menghadapi para generasi muda yang sedang berada dalam posisi manja. "Iyah pa." Balas Silvia, di sekolah ini guru memang memanggil yang seumuran, dibawah usianya atau di atasnya dengan panggilan ibu untuk guru perempuan dan bapa untuk guru laki laki. Makanya tidak heran jika Silvia guru paling muda dipanggil ibu oleh guru guru yang usianya lumayan terpaut cukup jauh, kecuali pada Leni Silvia masih sulit menyebutnya dengan sebutan ibu Leni. Keluar dari ruang guru cukuplah melegakan nafas, sejenak ia berhenti, mengamati pemandangan koridor yang sudah penuh di isi oleh ibu ibu sebagian anak anak di sini masih manja dari mulai pagi hingga pulang sekolah orang tua atau pengasuhnya harus siap siaga menunggu mereka. Silvia kembali berjalan, melewati koridor seperti biasa, menebar senyum manis sana sini pada ibu ibu yang dilewatinya, ia tidak ingin dicap sebagai guru yang pelit senyum atau judes. Seperti cerita dari pa Anhar jika bu Susi harus dikeluarkan karena ada laporan dari orang tua wali, mereka tidak suka pada bu Susi karena sikapnya yang jutek dan cuek. Selain itu sikapnya yang tidak disiplin sangat tidak pantas untuk ditiru muridnya. Sampai di kelas, benar saja muridnya tengah berlarian ke sana kemari tanpa aturan. Dengan teriakan, celotehan, dan tentunya lompat lompat ria ala anak seusia mereka. Jika boleh bertanya mengapa dirinya harus di tempatkan mengajar di sekolah dasar? Mengapa tidak sekalian mengajar anak anak SMA atau anak SMP yang sudah cukup agak dewasa, jadi di sana ia lebih hidup untuk tidak menahan sabar setiap harinya. Sudah cukup nikmati saja lalu syukuri pekerjaan ini dan lanjut bagian cerita selanjutnya. Namun bagi Silvia mengajar anak-anak seusia itu terkadang ada kebahagiaan tersendiri. Memang kebanyakan mereka membuat tensi darah Silvia tinggi, tapi tidak Silvia pungkiri bahwa mereka juga membawa kebahagiaan dalam hidup Silvia yang sudah mati rasa sekian lamanya. Bersambung....

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook